NovelToon NovelToon

Obsesi Sang CEO

Satu

"Paman sudah jual kamu seharga satu miliar kepada pria konglomerat! Jadi, ikut Paman sekarang juga!"

Firda Humaira diseret dengan kasar oleh pamannya masuk ke dalam sebuah gudang yang gelap dan lembab. Cengkeraman kuat di lengannya terasa menyakitkan, seolah membakar kulitnya. Tubuh mungilnya nyaris tak mampu melawan. Air matanya mengalir tanpa henti, matanya yang basah memandang pamannya dengan penuh permohonan.

“Paman, aku… aku nggak mau dijual,” katanya terisak dengan suara parau.

Namun, Bambang tak menggubrisnya. Ia terus menyeret keponakannya itu tanpa belas kasihan, wajahnya menyiratkan keserakahan. “Bisa diam nggak kamu? Jangan bikin masalah!” bentaknya, suara beratnya menggema di antara dinding-dinding beton gudang tua itu.

Ruangan tersebut dipenuhi aroma debu dan besi karat. Cahaya redup dari lampu neon yang berkerlap-kerlip hanya membuat suasana semakin mencekam. Dua pria berbadan kekar berdiri di dekat pintu besar, wajah mereka kaku tanpa ekspresi. Salah satu dari mereka memberi isyarat saat melihat Bambang mendekat.

“Mereka sudah sampai, Tuan,” ucap salah satu pria itu dengan nada formal.

Dari sudut ruangan yang gelap, terdengar suara langkah sepatu yang mantap. Sesosok pria tinggi tegap perlahan muncul ke dalam cahaya. Jas hitam yang dikenakannya begitu rapi, wajahnya dingin tanpa emosi, namun aura kekuasaannya membuat siapa pun merasa kecil. Dialah Abraham Handoko, pria yang dikenal sebagai raja tanpa mahkota di negeri ini.

Bambang langsung menundukkan kepala dengan penuh rasa hormat, tubuhnya sedikit gemetar. “Tuan Abraham, saya telah membawakan gadis yang Anda inginkan,” ujarnya dengan nada penuh ketundukan.

Abraham hanya menatapnya sebentar, kemudian bibirnya yang tipis melengkungkan senyum miring. “Kerja bagus,” ucapnya singkat, namun cukup untuk membuat Bambang tersenyum lebar, seperti anjing yang baru saja menerima pujian.

Seorang pria lain, Arkan—asisten pribadi Abraham—muncul dari belakang. Ia membawa map hitam dan secarik kertas perjanjian. Tanpa basa-basi, ia menyerahkan dokumen itu kepada Bambang.

“Tanda tangani,” perintahnya tegas.

Bambang mengambil pena yang diberikan Arkan. Dengan tergesa-gesa dan tanpa membaca isinya, ia langsung menandatangani dokumen tersebut.

Setelah itu, Arkan menyerahkan pena kepada Firda, namun gadis itu hanya memandangi pena itu dengan pupil mata yang gemetar, air matanya semakin deras.

“Aku eng-nggak mau…” Firda berbisik pelan, suaranya hampir tak terdengar.

“Firda!” bentak Bambang dengan suara dingin, matanya menatap Firda tajam. Tangannya mencengkeram bahu gadis itu dengan kasar, memaksa tubuh mungilnya mendekat. “Sekarang saatnya kamu balas budi padaku! Bertahun-tahun aku kasih kamu makan, kasih tempat tinggal! Kamu pikir itu semua gratis, hah? Tanda tangani, sekarang juga!” suaranya penuh kejahatan, tak memberi ruang untuk penolakan.

Tubuh Firda gemetar hebat, matanya yang basah menatap pamannya dengan nanar. Kalimat itu menancap di hatinya, seperti belati yang menusuk tanpa ampun.

Sejak kecil, hidup Firda adalah serangkaian kesulitan yang tak pernah berakhir. Kedua orang tuanya meninggal ketika usianya masih sangat kecil, terlalu muda untuk mengenal wajah mereka dengan jelas. Sebagai anak tunggal, ia tidak memiliki siapa pun untuk melindunginya selain Bambang, satu-satunya keluarga yang tersisa. Namun, pria itu tidak pernah menjadi pelindung baginya—justru sebaliknya, ia adalah bayangan gelap yang terus menghantui kehidupan Firda.

Bambang dan istrinya memperlakukan Firda seperti pembantu. Setiap hari, ia dipaksa mengerjakan semua pekerjaan rumah—memasak, mencuci, membersihkan rumah—tanpa ada jeda. Bahkan, ia tidak pernah merasakan kenyamanan sebuah kamar tidur. Firda harus tidur di sebuah gudang pengap di belakang rumah, hanya beralaskan kasur tipis dengan cahaya lampu redup yang nyaris tak mampu mengusir kegelapan.

Namun, itu hanyalah sebagian dari penderitaannya. Kekerasan fisik dan mental adalah hal yang kerap ia alami. Bambang tidak segan-segan memukul atau menampar Firda jika ia merasa tidak puas—entah karena makanannya kurang sesuai selera, atau karena Firda lupa membersihkan sesuatu. Sementara itu, bibinya tak henti-hentinya mencemooh dan merendahkannya. “Dasar beban! Kalau bukan karena belas kasihan kami, kau pasti sudah mati kelaparan di jalanan!” adalah kalimat yang sering keluar dari mulut bibinya, menghancurkan rasa percaya diri Firda sedikit demi sedikit.

Kini, di hadapan sosok pria yang dikenal sebagai Abraham Handoko—konglomerat kejam yang disegani banyak orang—Firda merasa dunianya runtuh. Tangannya yang kecil dan gemetar memegang pena yang diberikan oleh asisten Abraham. Ia tahu bahwa tanda tangan itu akan mengubah segalanya, membawanya ke dalam kegelapan yang lebih dalam dari apa yang pernah ia bayangkan.

Kini dengan napas tersengal, air matanya jatuh tak tertahankan. Pena di tangannya itu bergerak perlahan di atas kertas. Setelah selesai, ia menunduk, tubuhnya lemas seperti kehilangan seluruh energinya.

Arkan mengamankan dokumen tersebut, lalu memberikan sebuah koper hitam kepada Bambang.

Bambang segera membuka koper itu, matanya berbinar melihat tumpukan uang di dalamnya. Senyumnya semakin lebar, dan ia membungkuk berkali-kali. “Terima kasih, Tuan… terima kasih banyak!” ucapnya kesenangan.

Abraham tak menjawab. Hanya dengan satu gerakan tangannya, ia mengusir Bambang pergi. Pria itu segera melangkah menuju pintu keluar dengan koper di tangannya, namun langkahnya terhenti saat Firda tiba-tiba berlari memeluk kakinya.

“Paman, tolong… bawa aku pulang… aku nggak mau di sini…” Firda memohon dengan terisak, memeluk kaki Bambang erat-erat.

Bambang mendengus kesal. Dengan kasar ia melepaskan kakinya dari cengkeraman Firda, hingga gadis itu merangkak ke lantai yang dingin dan lembap. “Kamu itu sudah aku jual ke Tuan Abraham! Jadi, berhenti menyusahkan aku dan ikuti Tuanmu itu!” katanya dengan kasar, tanpa sedikit pun rasa iba.

Firda mengangkat wajahnya, matanya yang basah penuh air mata menatap Bambang dengan putus asa. “Paman, aku janji! Aku akan kerja lebih keras lagi! Aku akan cari uang lebih banyak! Aku akan lakukan apa pun, asalkan aku bisa pulang ke rumah… Paman, aku mohon…” suaranya bergetar, dipenuhi harap, meski ia tahu pengharapannya itu bagai debu yang dihempas angin.

Namun, Bambang hanya tertawa sinis mendengar janji Firda. Ia menundukkan tubuhnya, menatap Firda dengan pandangan yang menghina. “Mau kamu kerja seumur hidup pun kamu nggak akan mampu menghasilkan uang satu miliar bodoh!” katanya, penuh ejekan. “Kamu itu itu nggak berguna sama sekali buatku. Kalau bukan karena aku, kamu mungkin sudah mati di jalanan! Mana ada orang yang mau memungutmu! Jadi, ini waktunya kamu balas budi atas semua kebaikanku selama ini!”

Firda membeku. Tubuhnya lemas seketika, tak lagi memiliki tenaga untuk melawan. Ia hanya bisa menatap punggung pamannya yang berjalan pergi, meninggalkannya. Napasnya terasa sesak, seolah udara di sekitarnya tiba-tiba menghilang. Hatinya hancur berkeping-keping, tenggelam dalam rasa tak berdaya.

Pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab: Mengapa? Mengapa aku? Mengapa hidupku harus seperti ini? Namun, tak ada satu pun jawaban yang datang. Yang tersisa hanyalah kehampaan yang menelan dirinya.

Firda terisak di lantai. Hatinya terasa hancur berkeping-keping, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ketika ia mencoba berdiri, dua pengawal Abraham segera menariknya.

“Akh! A-aku nggak mau... lepaskan aku! Tolong!” jerit Firda, namun suara itu hanya bergema di dalam gudang yang sepi.

Abraham menatapnya dari jauh, ekspresinya tetap dingin. Hanya dengan satu lirikan matanya, pengawalnya menyeret tubuh Firda keluar dari gudang.

Malam ini, dunia Firda runtuh.

Dua

Bambang duduk di sofa empuk yang baru saja ia beli, kakinya disilangkan dengan santai. Cincin batu akik yang mengkilap melingkar di jari tengahnya, sementara di meja di depannya ada setumpuk tas dan pakaian baru yang masih berlabel harga. Wajahnya memancarkan kepuasan yang tak terbantahkan. Di sampingnya, Wati, istrinya, sedang sibuk memeriksa gelang emas baru yang ia kenakan di tangannya. Laras, putri semata wayangnya, duduk di lantai dengan gembira membuka kardus ponsel terbaru.

"Bapak, ponselnya keren banget! Ini edisi terbaru, teman-temanku pasti iri," kata Laras sambil tersenyum lebar, memamerkan layarnya kepada ibunya.

"Iya, Laras. Pokoknya sekarang kita nggak boleh kalah sama siapa pun," sahut Wati, nadanya penuh kebanggaan. Ia melirik suaminya dan menambahkan, "Bener kan, Pak, keputusan kita ini yang terbaik?"

Bambang terkekeh. "Tentu saja. Uang satu miliar itu bukan jumlah yang kecil. Dan Firda? Hah, dia akhirnya berguna juga."

Bambang menyandarkan punggungnya ke sofa dengan santai. Ia menatap Laras yang sedang asyik memotret tas-tas barunya dengan ponsel. "Oh ya, Laras. Mulai sekarang, Bapak nggak mau kamu panggil kami dengan sebutan Ibu dan Bapak lagi."

Laras menghentikan kegiatannya sejenak, lalu menatap Bambang dengan bingung. "Kenapa, Pak?"

"Karena itu panggilan kampungan," jawab Bambang tegas. "Kita ini sudah jadi orang kaya sekarang. Masa panggilannya masih kayak orang-orang miskin? Mulai sekarang, kamu panggil kami Mama dan Papa, ya. Supaya lebih berkelas."

Wati langsung mengangguk setuju. "Papa benar, Laras. Kita ini sudah berubah. Panggilan pun harus mencerminkan status kita sekarang."

Laras tersenyum lebar dan mengangguk. "Oke, Ma, Pa. Mulai sekarang, aku bakal panggil Mama dan Papa."

Bambang tersenyum puas. "Nah, begitu dong. Orang kaya itu harus beda, nggak cuma penampilan, tapi juga cara bicara."

Wati ikut terkekeh, lalu berkata dengan nada merendahkan, "Aku selalu bilang kan, Pa. Firda itu nggak ada gunanya. Sekarang, lihat hasilnya? Kita bisa hidup nyaman setelah jual dia. Lagian, mau dia mati di sana pun nggak bakal ada yang nyari dia."

Laras tertawa kecil. "Kasihan sih, tapi lebih kasihan lagi kalau kita terus hidup miskin kayak dulu, kan?"

"Benar," Bambang mengangguk setuju. "Kita ini pantas hidup seperti ini. Lagipula, Firda itu selama ini cuma jadi beban kita saja."

Percakapan mereka penuh dengan tawa puas, tanpa sedikit pun rasa penyesalan.

Hari mulai beranjak sore. Sinar matahari yang redup menerobos masuk melalui tirai tipis di ruang tamu. Rumah itu, yang sebelumnya sederhana, kini penuh dengan dekorasi baru, perhiasan, dan barang elektronik bertebaran di mana-mana, memberikan kesan mencolok akan kehidupan enak yang baru mereka rasakan.

Wati berdiri dan melirik ke arah jam dinding. "Sebentar lagi tetangga-tetangga bakal datang. Aku sudah kirim undangan di grup WhatsApp RT. Ini saatnya kita pamer sedikit."

Di meja makan, Wati telah menyiapkan berbagai makanan lezat yang membuat siapa pun yang melihatnya akan tergiur. Daging sapi panggang, aneka kue impor, jus buah segar, dan banyak lagi. Setiap detail telah diatur dengan sempurna, mencerminkan kesombongan yang baru mereka miliki.

Tak lama kemudian, tetangga-tetangga mulai berdatangan. Mereka tampak terkejut sekaligus kagum melihat perubahan besar di rumah Bambang.

"Astaga, Bu Wati, rumah ini berubah banget! Sekarang penuh dengan barang-barang baru dan bagus," kata Bu Siti, salah satu tetangga yang pertama datang.

Wati tersenyum bangga. "Ah, biasa aja, Bu Siti."

"Kerja apa, Bu? Kok bisa tiba-tiba berubah begini? Aku juga mau dong!" tanya Pak Hadi penasaran.

Bambang yang mendengar pertanyaan itu hanya tersenyum dingin. "Rahasia keluarga, Pak Hadi. Yang penting, sekarang kami bisa hidup seperti orang kaya."

Para tetangga mulai menyantap hidangan yang disediakan. Suasana riuh dengan percakapan mereka yang membahas kelezatan makanan di meja. Namun, perhatian kembali beralih saat salah satu tetangga melihat Laras sibuk dengan ponselnya.

"Itu ponsel baru, ya, Laras?" tanya Bu Mirna.

"Iya, Bu. Ini model terbaru. Kameranya aja sampai 200 megapiksel," jawab Laras dengan bangga.

"Eh, dengar-dengar mobil baru juga mau datang, ya?" tanya Pak Hadi sambil menyendok nasi ke piringnya.

Bambang mengangguk penuh percaya diri. "Iya, SUV hitam. Sama motor sport buat Laras. Dua-duanya lagi dalam perjalanan dari dealer. Sebentar lagi sampai."

"Wah, keren banget, Pak Bambang. Motor sport itu pasti mahal banget, ya?"

"Tentu saja," jawab Bambang sambil tertawa kecil. "Pokoknya, semua ini berkat kerja kerasku."

Tetangga-tetangga saling bertukar pandang. Beberapa tampak iri, tapi tidak ada yang berani berkata apa-apa. Di tengah kekaguman mereka, Bu Mirna tiba-tiba bertanya, "Eh, Firda ke mana, Bu Wati? Kok nggak kelihatan? Biasanya dia sibuk bantuin kalau ada acara begini."

"Oh, Firda? Dia sudah pergi merantau untuk bekerja," jawab Wati santai. "Katanya mau cari pengalaman baru di luar kota."

"Wah, hebat ya Firda. Anak yang mandiri," sahut Bu Mirna tulus.

Wati hanya tersenyum tipis. Para tetangga berdecak kagum kepada mereka sekarang, membuat Bambang, Wati, dan Laras semakin merasa puas dan bangga.

Namun, di balik segala kemewahan dan tawa itu, sosok Firda yang hilang seolah tak pernah ada. Kehidupan mereka yang baru berdiri di atas kesedihan gadis itu, tanpa sedikit pun rasa bersalah.

***

Firda berdiri dengan gemetar di dalam mansion megah milik Abraham. Bangunan itu begitu besar dan mewah, dengan lampu kristal bergelantungan di langit-langit tinggi, dinding berlapis marmer putih, dan karpet tebal berwarna merah darah yang membentang dari pintu masuk hingga ke seluruh sudut ruangan. Namun, keindahan ini tidak membuat Firda merasa nyaman. Sebaliknya, ia merasa seperti seekor burung kecil yang terjebak di dalam sangkar emas yang tak berujung.

Arkan, pria berbadan tegap yang sejak awal mengawalnya ke mansion ini, berujar dengan nada tegas. "Tugasmu di sini adalah menyenangkan Tuan Abraham."

"Kamu hanya akan diberi sedikit kebebasan jika menunjukkan ketaatan yang sempurna. Tapi jika kamu membangkang, saya pastikan kamu akan menerima hukuman yang tidak akan pernah kamu lupakan seumur hidup," katanya lagi menambahkan sambil menyerahkan sebuah map tebal berwarna hitam.

Firda memandang map itu dengan ragu, tetapi tangannya tetap menerima. Ia memeluknya erat di dada, ketakutan menyelimutinya karena intimidasi yang begitu nyata.

"Ella akan mengantarmu ke kamar. Seluruh aturan yang harus kamu patuhi tertulis dengan jelas dalam map itu. Hidupmu sekarang tergantung pada bagaimana kamu mematuhi aturan itu."

Setelah berkata demikian, Arkan melangkah pergi, meninggalkan Firda yang masih berdiri terpaku di tempat. Ella, seorang wanita paruh baya yang merupakan kepala pelayan, datang menghampirinya. "Mari ikuti saya, Non," katanya singkat.

Firda mengikuti langkah Ella yang mantap, melewati lorong-lorong panjang yang penuh dengan lukisan-lukisan mahal dan vas porselen yang tampak berharga. Akhirnya, mereka sampai di sebuah pintu besar berwarna putih gading. Ella membuka pintu itu, memperlihatkan sebuah kamar besar yang mewah. Tempat tidur berkanopi dengan seprai sutra putih berdiri di tengah ruangan, sementara perabotan kayu jati berukir menghiasi setiap sudutnya. Ada balkon dengan pemandangan taman luas, dan kamar mandi pribadi yang lebih besar dari ruang tamu rumah paman Firda.

"Ini kamarmu, Non," ujar Ella dengan sopan. "Tuan Abraham menginginkan kamu tetap di sini kecuali diperintahkan untuk keluar. Jangan lupa membaca aturan di dalam map itu. Tuan Abraham akan sangat marah kalau ada yang melanggar aturannya."

Firda hanya mengangguk tanpa kata. Setelah Ella keluar dan menutup pintu di belakangnya, Firda akhirnya membiarkan tubuhnya jatuh ke lantai. Kamar itu memang mewah, tapi rasanya seperti penjara baginya.

Dengan tangan gemetar, ia membuka map hitam itu. Firda mulai membaca, dan setiap kata yang ia baca seperti menusuk jantungnya.

Harus mematuhi semua perintah Tuan Abraham.

Dilarang meninggalkan mansion dan berinteraksi dengan orang lain tanpa izin dari Tuan Abraham.

Selalu berada di bawah pengawasan ketat. Setiap gerakan akan dipantau oleh pengawal dan sistem keamanan.

Hanya boleh mengenakan pakaian yang disetujui oleh Tuan Abraham.

Hanya diperbolehkan menunjukkan perhatian dan kasih sayang kepada Tuan Abraham.

Tidak diperkenankan memiliki waktu atau ruang pribadi.

Semua aspek kehidupan harus berpusat pada Tuan Abraham.

Firda meremas map itu dengan kedua tangannya. Dadanya terasa sesak, air mata mulai mengalir di pipinya. Marah, sedih, takut, dan putus asa bercampur menjadi satu.

"Aturan macam apa ini? A-aku nggak mau hidup seperti ini selamanya," gumamnya dengan suara bergetar.

Matanya yang sembab mulai menatap sekeliling kamar, mencoba mencari jalan keluar. Ia tidak mau menjadi boneka dan tawanan di tempat ini.

Dengan tangan gemetar, Firda berjalan ke jendela besar di kamar itu. Ia membuka tirai dan menatap ke luar. Taman yang indah terlihat begitu luas, namun pagar tinggi yang mengelilinginya tampak seperti dinding penjara.

"Enggak! Aku harus keluar dari sini. Gimana pun caranya, aku harus kabur," bisiknya penuh tekad.

Tiga

Meskipun tak punya tujuan yang jelas akan pergi kemana. Namun, Firda tak punya pilihan lain dalam keputusasaannya. Dia tidak mau terperangkap selamanya di tempat ini.

Firda berjalan cepat ke balkon kamarnya, menatap ke bawah. Tidak ada pengawal yang terlihat oleh pandangan matanya, tapi sebenarnya tanpa Firda ketahui ada puluhan pengawal yang bekerja malam ini.

Firda menarik napas panjang dan mengambil sprei yang terlipat rapi di atas tempat tidur. Ia mengikat salah satu ujung sprei pada pegangan balkon dan menurunkannya. Tali darurat yang dibuat dengan cepat itu tampak rapuh, tetapi Firda tak punya waktu untuk berpikir panjang. Ia harus keluar.

"Ini satu-satunya jalan," bisiknya pada diri sendiri. Firda sering membayangkan dirinya berdiri di depan kelas, mengajar anak-anak kecil dengan senyum tulus mereka yang penuh semangat.

Menjadi guru TK adalah cita-citanya sejak kecil. Dia sangat menyukai anak-anak, mendengar tawa mereka yang polos... Membuatnya merasakan kehangatan yang tak ia miliki dalam kehidupan yang gelap.

Untuk menggapai impian itu, Firda harus menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Jika dia terkurung di mansion ini, maka impian itu hanya tinggal debu yang tersapu angin. Lenyap tak berbekas.

Dengan gemetar, Firda mulai menuruni tali. Tangannya terasa kaku, tetapi ia terus menuruni sprei itu. Setiap inci yang dilaluinya semakin membuat jantungnya berdegup lebih kencang.

Saat ia hampir mencapai tanah, kaki Firda terpelintir, tubuhnya jatuh ke tanah dengan keras.

"Akhh...." Ia merintih, merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

Sekejap, beberapa pengawal muncul menghampirinya, wajah mereka tidak menunjukkan ekspresi lain selain keseriusan.

"Non Firda?" gumam mereka terkejut kala menyadari seseorang yang awalnya mereka kira penyusup, ternyata adalah Firda, gadis milik Tuan Abraham.

Wajah Firda sontak memucat karena tidak menyangka akan ketahuan secepat ini, keringat dingin membasahi dahinya. Ketakutan dan frustrasi bercampur aduk dalam dirinya. Ada rasa sakit fisik yang nyata, namun jauh lebih kuat adalah rasa frustrasi karena harus terperangkap dan terpenjara bak seorang tawanan.

Para pengawal itu dengan tenang menuntun Firda kembali masuk ke kamarnya. Kabar mengenai kaburnya Firda tersebar dengan sangat cepat ke seluruh penghuni mansion.

Ella selaku kepala pelayan datang tergopoh-gopoh dengan tatapan khawatir.

"Non Firda, kamu nggak apa-apa kan?" tanya Ella lembut, mencoba menenangkan Firda, namun belum sempat Firda menjawab, tiba-tiba pintu kembali terbuka.

Abraham masuk. Langkahnya berat, matanya tajam menatap Firda yang kini duduk di ranjang dengan tubuh yang masih gemetar.

Abraham memandang Firda dengan dingin, tidak ada sedikit pun rasa kasihan di wajahnya. "Kamu mau kebebasan, tapi kamu bahkan tidak punya arah yang jelas. Kamu pikir hidup bebas di luar sana akan mudah hm?"

Abraham menghela nafas berat. Ucapannya terdengar begitu sinis. "Aku sudah memberi yang terbaik untukmu. Ini takdirmu, Firda! Tempat ini adalah yang terbaik yang bisa kamu dapatkan. Dunia luar sana tidak akan memberi lebih dari yang aku berikan padamu. Paham?"

Firda menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gemetar yang tak kunjung reda. Matanya menatap lantai, tapi hatinya bergejolak. Abraham berdiri tegak di depannya, seolah mengurungnya dalam ruang yang semakin sempit.

Firda merasakan dadanya sesak. Kata-kata Abraham terasa berat, menindih dirinya lebih dalam.

"A-Apa gunanya aku tinggal di sini kalau aku tidak punya kebebasan?" Firda berbicara pelan, suaranya bergetar. "Lebih baik aku terluka daripada terus hidup sebagai boneka!"

Matanya yang basah menatap ke bawah, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang. Firda ingin berani, tetapi tak bisa mengelak aura dominan Abraham dan intimidasinya yang begitu kental. Firda merasa begitu marah dengan dirinya sendiri karena tidak mampu mengubah keadaan, tapi semua kemarahan itu tercekat di tenggorokannya.

Abraham menatap Firda dengan tajam, matanya penuh tekad dan dingin. Tanpa mengucapkan kata-kata lagi, ia berbalik dan memberi instruksi kepada salah satu pengawal yang berdiri di pintu. “Kunci akses balkon dan pintu kamar Firda. Jangan biarkan dia keluar tanpa izin.”

Firda mendengar suara perintah itu dengan jelas, membuatnya merasa seolah-olah belenggu itu semakin mengikatnya. Tidak ada jalan keluar, hanya ada dinding-dinding tinggi yang menambah keputus asaannya. Seolah-olah ia tak punya tempat untuk bernafas, tak punya pilihan lain selain menurut pada aturan Abraham.

Abraham, di sisi lain, menganggap tindakannya sebagai perlindungan. Ia khawatir akan keselamatan Firda, takut gadis itu akan terluka atau terjerumus ke dalam bahaya di luar sana. Sementara matanya tetap tajam menatap Firda yang kini terdiam di tempat tidurnya.

Tanpa ragu, dia menoleh pada Ella yang berdiri di dekat pintu. “Panggil dokter. Periksa luka gadis ini,” katanya dengan suara datar.

Abraham tidak menunjukkan kekhawatiran langsung. Tidak ada kata-kata lembut atau pelukan hangat. Hanya tindakan yang semakin mempertegas kontrolnya terhadap hidup Firda.

Beberapa saat kemudian dokter yang dipanggil sampai dengan cepat. Ia masuk dengan segera menyiapkan alat perawatan.

Dokter menatap kaki Firda dengan cermat setelah selesai memeriksa luka-lukanya. "Kaki kanannya terkilir cukup parah, Tuan," katanya kepada Abraham. "Tidak ada patah tulang yang terlihat. Hanya keseleo dan sedikit bengkak di sekitar pergelangan. Tapi ada kemungkinan otot-otot di punggungnya terkilir sedikit. Jadi, saya menyarankan agar Non Firda jangan dibiarkan bergerak terlalu banyak."

Abraham mengangguk paham dengan wajah yang masih tetap mengeras. Dia lalu memberi instruksi singkat kepada seluruh pelayan dan pengawalnya, “Pastikan Firda tidak keluar dari kamar. Kunci pintu dan balkon, dan pastikan dia tidak bisa kabur lagi.”

Perintahnya lugas, tanpa penyesalan. Setelahnya dia keluar diikuti oleh dokter dan para pelayan, meninggalkan Firda sendirian di dalam sana. Para pengawal yang dikerahkan untuk berjaga di setiap sudut mansion ini menjadi bertambah banyak.

Abraham punya caranya sendiri. Baginya, ini adalah cara untuk menjaga Firda tetap aman. Semua yang dilakukan Abraham memperlihatkan ketakutannya akan kehilangan Firda. Ia terlalu terobsesi untuk menguasai setiap aspek hidup Firda, agar gadis itu hanya terpaku padanya, agar semua perhatian dan kasih sayang Firda hanya tertuju padanya, seperti yang selalu ia idam-idamkan sejak dulu.

Namun bagi Firda, ini adalah penjara yang semakin mengekang kebebasannya.

Firda menatap punggung lebar Abraham yang menjauh dengan tatapan kosong. Setiap perintah Abraham, setiap langkah yang diambilnya, hanya semakin menegaskan bahwa tak ada jalan keluar. Firda semakin merasakan betapa kejamnya dunia yang diciptakan oleh Abraham untuknya.

"Aku bahkan nggak bisa menyentuh dunia luar lagi. Apa aku benar-benar enggak akan pernah bisa bebas selamanya?"

Firda mulai menangis, tak mampu lagi membendung cairan bening yang menggenang di matanya.

Firda bertanya-tanya, mengapa harus dirinya yang menjadi korban obsesi gila dari CEO perusahaan Astra Sugarda itu? Apakah ada suatu kejadian yang tak ia ingat pernah terjadi dalam hidupnya?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!