Tiga

Meskipun tak punya tujuan yang jelas akan pergi kemana. Namun, Firda tak punya pilihan lain dalam keputusasaannya. Dia tidak mau terperangkap selamanya di tempat ini.

Firda berjalan cepat ke balkon kamarnya, menatap ke bawah. Tidak ada pengawal yang terlihat oleh pandangan matanya, tapi sebenarnya tanpa Firda ketahui ada puluhan pengawal yang bekerja malam ini.

Firda menarik napas panjang dan mengambil sprei yang terlipat rapi di atas tempat tidur. Ia mengikat salah satu ujung sprei pada pegangan balkon dan menurunkannya. Tali darurat yang dibuat dengan cepat itu tampak rapuh, tetapi Firda tak punya waktu untuk berpikir panjang. Ia harus keluar.

"Ini satu-satunya jalan," bisiknya pada diri sendiri. Firda sering membayangkan dirinya berdiri di depan kelas, mengajar anak-anak kecil dengan senyum tulus mereka yang penuh semangat.

Menjadi guru TK adalah cita-citanya sejak kecil. Dia sangat menyukai anak-anak, mendengar tawa mereka yang polos... Membuatnya merasakan kehangatan yang tak ia miliki dalam kehidupan yang gelap.

Untuk menggapai impian itu, Firda harus menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Jika dia terkurung di mansion ini, maka impian itu hanya tinggal debu yang tersapu angin. Lenyap tak berbekas.

Dengan gemetar, Firda mulai menuruni tali. Tangannya terasa kaku, tetapi ia terus menuruni sprei itu. Setiap inci yang dilaluinya semakin membuat jantungnya berdegup lebih kencang.

Saat ia hampir mencapai tanah, kaki Firda terpelintir, tubuhnya jatuh ke tanah dengan keras.

"Akhh...." Ia merintih, merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

Sekejap, beberapa pengawal muncul menghampirinya, wajah mereka tidak menunjukkan ekspresi lain selain keseriusan.

"Non Firda?" gumam mereka terkejut kala menyadari seseorang yang awalnya mereka kira penyusup, ternyata adalah Firda, gadis milik Tuan Abraham.

Wajah Firda sontak memucat karena tidak menyangka akan ketahuan secepat ini, keringat dingin membasahi dahinya. Ketakutan dan frustrasi bercampur aduk dalam dirinya. Ada rasa sakit fisik yang nyata, namun jauh lebih kuat adalah rasa frustrasi karena harus terperangkap dan terpenjara bak seorang tawanan.

Para pengawal itu dengan tenang menuntun Firda kembali masuk ke kamarnya. Kabar mengenai kaburnya Firda tersebar dengan sangat cepat ke seluruh penghuni mansion.

Ella selaku kepala pelayan datang tergopoh-gopoh dengan tatapan khawatir.

"Non Firda, kamu nggak apa-apa kan?" tanya Ella lembut, mencoba menenangkan Firda, namun belum sempat Firda menjawab, tiba-tiba pintu kembali terbuka.

Abraham masuk. Langkahnya berat, matanya tajam menatap Firda yang kini duduk di ranjang dengan tubuh yang masih gemetar.

Abraham memandang Firda dengan dingin, tidak ada sedikit pun rasa kasihan di wajahnya. "Kamu mau kebebasan, tapi kamu bahkan tidak punya arah yang jelas. Kamu pikir hidup bebas di luar sana akan mudah hm?"

Abraham menghela nafas berat. Ucapannya terdengar begitu sinis. "Aku sudah memberi yang terbaik untukmu. Ini takdirmu, Firda! Tempat ini adalah yang terbaik yang bisa kamu dapatkan. Dunia luar sana tidak akan memberi lebih dari yang aku berikan padamu. Paham?"

Firda menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gemetar yang tak kunjung reda. Matanya menatap lantai, tapi hatinya bergejolak. Abraham berdiri tegak di depannya, seolah mengurungnya dalam ruang yang semakin sempit.

Firda merasakan dadanya sesak. Kata-kata Abraham terasa berat, menindih dirinya lebih dalam.

"A-Apa gunanya aku tinggal di sini kalau aku tidak punya kebebasan?" Firda berbicara pelan, suaranya bergetar. "Lebih baik aku terluka daripada terus hidup sebagai boneka!"

Matanya yang basah menatap ke bawah, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang. Firda ingin berani, tetapi tak bisa mengelak aura dominan Abraham dan intimidasinya yang begitu kental. Firda merasa begitu marah dengan dirinya sendiri karena tidak mampu mengubah keadaan, tapi semua kemarahan itu tercekat di tenggorokannya.

Abraham menatap Firda dengan tajam, matanya penuh tekad dan dingin. Tanpa mengucapkan kata-kata lagi, ia berbalik dan memberi instruksi kepada salah satu pengawal yang berdiri di pintu. “Kunci akses balkon dan pintu kamar Firda. Jangan biarkan dia keluar tanpa izin.”

Firda mendengar suara perintah itu dengan jelas, membuatnya merasa seolah-olah belenggu itu semakin mengikatnya. Tidak ada jalan keluar, hanya ada dinding-dinding tinggi yang menambah keputus asaannya. Seolah-olah ia tak punya tempat untuk bernafas, tak punya pilihan lain selain menurut pada aturan Abraham.

Abraham, di sisi lain, menganggap tindakannya sebagai perlindungan. Ia khawatir akan keselamatan Firda, takut gadis itu akan terluka atau terjerumus ke dalam bahaya di luar sana. Sementara matanya tetap tajam menatap Firda yang kini terdiam di tempat tidurnya.

Tanpa ragu, dia menoleh pada Ella yang berdiri di dekat pintu. “Panggil dokter. Periksa luka gadis ini,” katanya dengan suara datar.

Abraham tidak menunjukkan kekhawatiran langsung. Tidak ada kata-kata lembut atau pelukan hangat. Hanya tindakan yang semakin mempertegas kontrolnya terhadap hidup Firda.

Beberapa saat kemudian dokter yang dipanggil sampai dengan cepat. Ia masuk dengan segera menyiapkan alat perawatan.

Dokter menatap kaki Firda dengan cermat setelah selesai memeriksa luka-lukanya. "Kaki kanannya terkilir cukup parah, Tuan," katanya kepada Abraham. "Tidak ada patah tulang yang terlihat. Hanya keseleo dan sedikit bengkak di sekitar pergelangan. Tapi ada kemungkinan otot-otot di punggungnya terkilir sedikit. Jadi, saya menyarankan agar Non Firda jangan dibiarkan bergerak terlalu banyak."

Abraham mengangguk paham dengan wajah yang masih tetap mengeras. Dia lalu memberi instruksi singkat kepada seluruh pelayan dan pengawalnya, “Pastikan Firda tidak keluar dari kamar. Kunci pintu dan balkon, dan pastikan dia tidak bisa kabur lagi.”

Perintahnya lugas, tanpa penyesalan. Setelahnya dia keluar diikuti oleh dokter dan para pelayan, meninggalkan Firda sendirian di dalam sana. Para pengawal yang dikerahkan untuk berjaga di setiap sudut mansion ini menjadi bertambah banyak.

Abraham punya caranya sendiri. Baginya, ini adalah cara untuk menjaga Firda tetap aman. Semua yang dilakukan Abraham memperlihatkan ketakutannya akan kehilangan Firda. Ia terlalu terobsesi untuk menguasai setiap aspek hidup Firda, agar gadis itu hanya terpaku padanya, agar semua perhatian dan kasih sayang Firda hanya tertuju padanya, seperti yang selalu ia idam-idamkan sejak dulu.

Namun bagi Firda, ini adalah penjara yang semakin mengekang kebebasannya.

Firda menatap punggung lebar Abraham yang menjauh dengan tatapan kosong. Setiap perintah Abraham, setiap langkah yang diambilnya, hanya semakin menegaskan bahwa tak ada jalan keluar. Firda semakin merasakan betapa kejamnya dunia yang diciptakan oleh Abraham untuknya.

"Aku bahkan nggak bisa menyentuh dunia luar lagi. Apa aku benar-benar enggak akan pernah bisa bebas selamanya?"

Firda mulai menangis, tak mampu lagi membendung cairan bening yang menggenang di matanya.

Firda bertanya-tanya, mengapa harus dirinya yang menjadi korban obsesi gila dari CEO perusahaan Astra Sugarda itu? Apakah ada suatu kejadian yang tak ia ingat pernah terjadi dalam hidupnya?

Terpopuler

Comments

Azure

Azure

Author-im, kalau tidak update cepat, reader-im bakal pingsan menanti T.T

2024-11-10

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!