Empat

Suasana di kantor pusat perusahaan Astra Sugarda, yang terletak di gedung megah di jantung kota, terasa sangat formal dan penuh ketegangan. Logo Astra Sugarda terpampang besar di dinding utama, mencolok dengan warna emas yang berkilau.

Semua orang tahu bahwa perusahaan ini bukan hanya sekadar perusahaan gas dan minyak bumi terbesar di Asia, tetapi juga simbol kekuasaan keluarga Handoko, salah satu keluarga konglomerat terkaya dan paling berpengaruh di negeri ini.

Di dalam ruangan eksekutif yang terletak di lantai tertinggi, Abraham sebagai CEO, duduk di belakang meja besar yang terbuat dari kayu mahal. Matanya yang tajam menatap layar laptopnya.

Ruangan terasa begitu sunyi. Semua mata karyawan tertuju padanya. Beberapa karyawan terlihat tegang, menundukkan kepala, berharap tidak ada yang membuat CEO mereka itu marah.

"Laporan keuangan bulanan," kata Abraham, suaranya datar dan tanpa emosi. "Saya tidak tertarik pada detail kecil. Fokus pada angka-angka besar dan apa yang perlu diperbaiki. Jangan buang waktu."

"Baik, Pak," sahut manager keuangan.

Abraham mendengus pelan. "Kalau tidak ada hal yang ingin ditanyakan, silakan keluar."

Seluruh karyawan langsung mengganggu hormat dan bergegas keluar dari ruangan sang direktur utama perusahaan tersebut.

Di sinilah tempat di mana Abraham berkuasa—di tengah gedung pencakar langit, di bawah naungan keluarga Handoko. Abraham... merupakan putra sulung keluarga Handoko yang digadang-gadangkan akan menjadi pewaris.

Tak berselang lama, tiba-tiba Arkan masuk ke ruangan dengan langkah cepat menghancurkan konsentrasi Abraham yang sedang fokus bekerja. Wajah pria itu menunjukkan kegelisahan yang jelas. Dia menundukkan kepala, memberi hormat kepada Abraham, sebelum melaporkan, "Tuan Tono Handoko dan Nyonya Sintia datang, Tuan."

Mata Abraham langsung berubah tajam. Perasaan tidak suka mengguncang batinnya.

Abraham memiliki hubungan yang renggang dengan ayahnya disebabkan oleh ibu tirinya yang licik itu.

Semenjak wanita itu hadir, Abraham tak pernah lagi merasakan kehangatan keluarga. Ibu kandungnya meninggal saat melahirkannya, sedangkan ayahnya yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung dan berharap justru menjadi sumber luka sejak pria itu memutuskan menikah lagi dengan wanita yang ia cintai.

Sintia melakukan segala cara untuk menghancurkan hubungan Abraham dan ayahnya sendiri. Alasannya, wanita itu tidak mau harta kekayaan keluarga Handoko jatuh ke tangan Abraham sebagai pewaris.

Berulang kali Abraham mengemukakan kejahatan Sintia kepada ayahnya, tapi Tono selalu membela wanita licik itu.

Ayahnya benar-benar menjadi bodoh karena cinta. Dan itu membuat Abraham muak. Dia merasa tak nyaman lagi tinggal di kediaman keluarga Handoko hingga memutuskan membangun mansionnya sendiri. Lebih baik ia tinggal di mansion pribadinya, jauh dari kerumunan kebohongan dan intrik licik ibu tirinya.

Tanpa izin Tono memasuki ruangan sambil menggandeng istrinya. Arkan bergegas keluar, memberikan privasi untuk anggota keluarga Handoko itu berbicara lebih banyak.

Abraham menatap dua orang tamu yang tak diundang tersebut dengan tajam. Tubuhnya duduk dengan tegap di kursi kebesarannya, menunjukkan sikap angkuh yang tak terbantahkan. Tak ada tanda-tanda kehangatan di wajahnya, bahkan dia tidak mau repot-repot bergerak sedikit pun untuk menyambut ayahnya itu.

Sementara Tono, yang sudah memasuki usia lanjut, duduk di sofa yang ada di ruangan dengan tatapan serius diikuti oleh istrinya.

"Abraham, Ayah sudah panggil kamu berkali-kali untuk datang ke kediaman keluarga Handoko, kenapa kamu nggak pernah datang hah? Begitukah caramu menghormati ayahmu?" suaranya keras, tegas, dan penuh peringatan.

Abraham mengalihkan pandangannya ke layar laptopnya, seakan-akan ucapan ayahnya tidak penting sama sekali. "Aku sibuk," jawabnya dengan suara datar, nada yang sedikit sarkastik, mengandung sindiran bahwa dia tidak merasa perlu menjelaskan lebih banyak.

"Abraham, kamu jangan terlalu sibuk kerja, Nak," imbuh Sintia dengan suara lembutnya. "Sesekali istirahatlah dan datang ke kediaman keluarga Handoko. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri."

Abraham mendengus sinis, menatap ibu tirinya dengan mata yang tajam dan penuh perhitungan. Abraham tidak bisa bermuka dua seperti wanita itu. Jika dia tidak senang, maka itulah yang akan dia tunjukkan.

"Sebelum memberiku saran, sebaiknya didik dulu putramu supaya dia berguna dan bisa membantuku mengurus perusahaan ini. Semua tanggung jawab diserahkan padaku, tapi giliran aku tidak punya waktu, kalian protes. Apa-apaan."

"Abraham," tegur Tono merasa tidak senang. "Bicara yang sopan dengan ibumu. Lagi pula Ramon kan masih sekolah, wajar dia tidak bisa membantu."

Ramon yang sedang mereka bicarakan saat ini adalah adik tiri Abraham, sekaligus putra tiri Tono karena merupakan anak Sintia dari pernikahannya yang pertama.

"Ibuku sudah mati," jawab Abraham dengan nada yang hampir tidak terdengar, namun penuh dengan ketegangan. "Kalau kalian sadar tidak bisa memberi bantuan untukku menangani perusahaan sebesar ini, maka diamlah dan jangan protes apa pun termasuk soal urusan waktu yang aku miliki."

Abraham tidak peduli dengan tata krama atau sopan santun. Baginya, hubungan dengan keluarganya sudah terlalu jauh tergerus.

Tono bersandar di sofa, menarik napas panjang, lalu menatap Abraham dengan ekspresi penuh otoritas. "Abraham, usiamu sudah cukup dewasa. Ayah sudah terlalu tua, dan Ayah ingin segera menimang cucu. Tidak mungkin Ayah berharap pada Ramon—dia masih sekolah. Kamu satu-satunya harapan keluarga Handoko."

Abraham tahu, cepat atau lambat, topik ini akan muncul. Sebelum ia sempat memberikan respons, Sintia membuka mulutnya lebih dulu. "Papa, Mama mengerti kemauan Papa, tapi rasanya sangat tidak adil mendesak Abraham seperti ini."

Dia tersenyum manis, padahal di dalam hatinya, dia panik. Jika Abraham menikah, statusnya sebagai pewaris keluarga akan semakin kokoh. Itu akan menghancurkan rencana Sintia untuk mendorong Ramon menjadi penerus. Dia membutuhkan waktu lebih banyak untuk mempersiapkan Ramon—setidaknya sampai anak itu menyelesaikan sekolahnya, melanjutkan pendidikan tinggi, dan mulai membangun nama di dunia bisnis. Jika Abraham menikah sekarang, kesempatan itu akan hilang.

"Biarlah Abraham menikmati masa mudanya lebih dulu, Pa. Lagipula, dia sekarang sibuk dengan perusahaan. Menikah adalah keputusan besar, dan tidak baik kalau dilakukan dengan terburu-buru. Bukan begitu, Abraham?"

Sintia sangat licik. Namun, seperti biasa, Sintia tahu cara memainkan perannya dengan sempurna. Senyumnya tetap terlihat tulus, dan nadanya terdengar seolah dia benar-benar peduli pada Abraham. Padahal sebenarnya, baginya Abraham hanyalah ancaman terbesar untuk Ramon menjadi pewaris keluarga Handoko.

"Lagipula," lanjut Sintia, "perusahaan ini masih membutuhkan perhatian penuh dari Abraham. Kalau dia menikah sekarang, bukankah itu akan membuat fokusnya terpecah? Kita tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Astra Sugarda, bukan?" Dia menatap Tono dengan senyum manisnya, berusaha membujuk suaminya agar tidak melanjutkan pembicaraan ini. "Mama yakin Abraham tahu kapan waktu yang tepat untuk menikah."

Abraham akhirnya berbicara, suaranya datar namun dingin, memotong percakapan mereka. "Sudah selesai?"

Terpopuler

Comments

Heulwen

Heulwen

Bagaimana cerita selanjutnya, author? Update dulu donk! 😡

2024-11-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!