patah dua kali

  Aku langsung berlari mendekat. Rasanya aku benar benar ingin menenggelamkan keduanya.

"RANDU!!" Aku memanggil namanya dengan suara lantang yang langsung membuatnya menoleh dan sedikit terkejut.

"Kau disini?" Tanyanya gugup. Aku semakin mendekat. Aku menatap keduanya bergantian.

"Apa ini? Kau menggendongnya?" Tanyaku. Aku langsung mengalihkan pandanganku pada Ji Han. "Kau lupa cara berjalan?" Tanyaku ketus. Randu langsung menurunkannya namun tangannya masih memapah bahu Ji Han.

"Sofi" Randu mencoba menenangkan ku. "Biar aku jelaskan" ujarnya.

"Apa?" Tanyaku. "Kalian berdua kebetulan berada di pulau ini dan akhirnya bertemu?" Tanyaku lagi.

"K-kau tau?" Tanya Randu. Aku mengangguk.

"Aku tau sekali" jawabku dengan sesak. "Kau pergi dengan alasan ingin membeli makanan untukku padahal kau pergi untuk menemui wanita ini" ucapku.

"Dengarkan aku dulu" ujar Randu. Aku menghela nafas berkali kali.

"Katakan. Aku mendengar mu" ucapku mencoba tenang.

"Kami hanya pergi makan dan mencari angin sebentar" Randu menjelaskan dengan pasti. Tapi lagi lagi tanganku hanya fokus pada tangan Randu yang berada di pundak Ji Han.

"Kau makan bersamanya padahal aku tidak makan apapun selama menunggumu" ucapku.

"Itu sebabnya aku mengajakmu tadi ... Tapi kau tidak ingin ikut" Randu masih membela diri sendiri.

"Kenapa kau tetap pergi? Bukannya hotel itu juga menyediakan makanan untuk tamu?" Tanyaku. "Kenapa kau menggendongnya?" Tanyaku lagi.

"Tadi ... Kaki Ji Han terluka karena terkena ranting kayu, aku hanya mencoba membantunya" jawab Randu.

"Begitu? Sekarang ayo kita kembali ke hotel" ajak ku.

"Tapi aku harus mengantarkan Ji Han" aku terkejut saat Randu menolak.

"Dia bisa saja menelepon teman temannya" ujarku.

"Tidak ada yang bisa di hubungi, aku sudah mencobanya" Ji Han dengan beraninya menjawab.

"Itu jelas bukan urusanku" aku benar benar tidak ingin berurusan dengan wanita gila harta itu. Aku kembali menatap Randu. "Sekarang ayo kita pulang" ajak ku lagi.

"Aku tidak mungkin meninggalkannya seperti ini Sofia" ucap Randu. Aku benar benar emosi sekarang. Hak ku adalah hak ku, aku tidak akan membiarkannya begitu saja. Aku melepas tangan Randu yang ada di pundak Ji Han dan mendorongnya sampai terjatuh.

"Sekarang ayo kita pulang" aku menarik tangan Randu tapi tertahan.

"Kau lihat, dia tidak bisa berjalan sendiri!" Randu mulai menaikkan intonasinya.

"Dan aku tidak peduli dengan itu!" Aku kembali menarik tangannya.

"Sofia!" Aku tersentak saat Randu membentak ku. Aku langsung berbalik.

"Apa kau terlahir dengan tidak mempunyai hati?" Tanya Randu. "Dia sakit, apa kau tidak bisa melihatnya?!" Tanya Randu.

"Jadi kau lebih memilih dia?" Tanyaku dengan mata yang berkaca kaca.

"Ini bukan soal memilih siapa, tapi aku hanya mencoba membantunya" jawabnya.

"Kau pilih siapa?" Tanyaku lagi. Randu terdiam dan itu cukup menjadi jawaban. Aku melepaskan genggamanku. "Ini sangat mengecewakan" aku langsung pergi dengan hati yang paling hancur. Aku mendengar randu memanggil namaku berkali kali, tapi aku benar benar tidak mau berhenti.

  Aku menangis di pinggir jalan yang sepi. Aku benar benar bodoh. Seharusnya aku tidak mengizinkannya bertemu dengan Ji Han. Seharusnya aku tetap memaksa Randu supaya meninggalkan wanita matre itu. Aku mengusap air mataku, namun nyatanya aku masih juga senggugukan. Entah kenapa tiba tiba aku ingin kembali ke penginapan.

[Penginapan]

 

   Aku langsung masuk kedalam kamar. Randu belum juga pulang, aku lalu berjalan mengambil ponselku yang tertinggal. Firasat buruk ku muncul kembali, lima puluh panggilan tak terjawab dari Om Haris, sekretaris ayahku. Saat aku hendak menelepon, Om Haris Lebih dulu menelepon ku. Aku dengan sigap langsung mengangkatnya.

"Halo om" sapaku.

"Sofi kau dimana?"

"Sofi sedang di pulau XX"

"Sofi ayahmu..."

"Ayah kenapa om?" Tanyaku panik. Firasat ku benar benar buruk. "Om, ayah kenapa?" Tanyaku lagi.

"Ayah ... Mobil ayah dan rekan rekannya mengalami kecelakaan"

"Lalu bagaimana dengan ayah?" Tanyaku panik. Aku mencoba tenang tapi air mataku lagi lagi terjatuh.

"Ayah meninggal di tempat kejadian, jenazahnya besok pagi akan segera dibawa pulang kerumah untuk di makamkan. Kau bisa pulang malam ini?"

   Aku terdiam mencoba mencerna semuanya. Hingga suara om Haris yang terus memanggil namaku membuat ku tersadar. Ponselku terjatuh ke lantai begitupun dengan tubuhku yang luruh. Aku menangis sejadi jadinya, aku memegang dadaku yang teramat sakit.

  Aku langsung mengemasi barang barang ku dan segera pergi. Aku berjalan tanpa henti. Sampai akhirnya orang suruhan om Haris menemukanku. Aku tetap tidak bisa berhenti menangis meski aku mencobanya. Aku kelelahan dan akhirnya tidur, berharap saat bangun ini semua hanya mimpi.

[Pemakaman]

  

Aku masih disini, di antara makam ayah dan bunda. Aku tidak menyangka bahwa akhirnya aku harus sendiri. Aku sudah tidak menangis, rasanya air mataku kering begitupun tenggorokanku. Disini hanya tersisa aku sendiri, sedangkan om Haris memilih menunggu di mobil. Aku sudah menyuruhnya kembali, tapi beliau bilang ia ingin menungguku.

   Saat aku berbalik, aku melihat 3 laki laki dengan jas hitamnya melangkah masuk. Aku bingung saat mereka menghampiriku.

"Kalian siapa?" Tanyaku. Kedua laki laki berbadan tegap itu berhenti tidak jauh dari makam ayahku. Dan yang satunya lagi melewati ku tanpa menjawab. Aku berbalik. "Aku tanya kalian siapa?" Tanyaku lagi. Kesal karena tidak mendapat jawaban, aku mengeluarkan ponselku dan berniat menelpon om Haris.

"Sofia" panggil laki laki yang berada di makam ayahku. Aku menoleh sedikit terkejut.

"Siapa kau?" Tanyaku. Aku benar benar tidak ramah seperti biasanya. Laki laki itu berdiri lalu membuka kaca matanya. Beberapa detik terjadi kontak mata, lalu aku buru buru mengalihkan pandanganku.

"Ayo pulang" aku mengerutkan keningku saat laki laki ini mengajakku pulang.

"Kau bicara padaku?" Tanyaku heran. Yang membuatku semakin heran adalah ketika dia mengangguk. "Kau mengajakku pulang?" Tanyaku lagi.

"Aku sudah menyuruh Om Haris pulang" ucapnya. Aku melongo.

"Kau siapa? Kau apa apaan?" Tanyaku panik sekaligus kesal. Aku kembali menelpon om Haris tapi tidak di angkat. "Om Haris kemana sih?" Tanyaku kesal.

"Ayo pulang" ajaknya lagi. Aku menatapnya sinis.

"Aku bisa pulang sendiri" ucapku ketus. "Oh ya kau tolong pergi dari sini, untuk apa kau ke makam ayahku?" Tanyaku.

"Aku ... Kesini hanya ingin berbelasungkawa atas meninggalnya om wira" jawabnya. Aku sempat bingung. Tapi cepat cepat aku berfikir positif mungkin dia pernah jadi anak magang di kantor ayah. Aku mengangguk sambil memijat kepalaku yang pusing.

"Aku harus pergi duluan" saat aku hendak melangkah, tiba tiba dua laki laki itu menghalangiku. "Sekarang apa?" Tanyaku malas. Aku berpura pura berani, padahal kakiku sudah gemetar.

"Pulanglah bersama tuan muda kami" ucap salah seorang yang berpenampilan seperti pengawal.

"Ck ... Aku bisa pulang sendiri. Sekarang minggir!" Perintahku. Tapi aku rasa telinga mereka berdua sudah buta. Aku berbalik lalu menatap tajam laki laki yang sok tampan itu. "Aku mau pulang ... Lebih baik bawa teman temanmu ini pulang" ujarku ketus. Bukannya menjawab dia malah melangkah mendekatiku lalu menggenggam jemariku. Oh seketika jiwa psikopat ku bergejolak.

"Hei ... Kau penculik ya?" Pekik ku keras. Aku memberontak namun hatiku seperti tak rela melepaskan tangannya. Dia berhenti tiba tiba sehingga membuatku menabrak punggungnya.

"Bisa diam tidak?" Tanyanya datar. "Kalau kau memberontak aku bisa benar benar menculik mu" imbuhnya. Aku langsung menciut dan pasrah. Kalaupun mati di tangannya aku sudah siap.

...[Di dalam mobil, perjalanan pulang]...

 

   Sedari tadi aku hanya diam. Aku sama sekali tak berniat berbicara. Aku kembali teringat pada ayah dan bunda. Ini seperti mimpi, aku menjadi yatim piatu sekarang. Aku kembali menangis setelah mencoba tegar untuk beberapa saat. Tiba tiba ia menyodorkan sapu tangan, aku hanya melirik sebentar lalu kembali menatap keluar. Bagaimana jika itu ada biusnya? Fikir ku.

"Ini tidak ada biusnya" ucapnya. Aku tertegun, apa dia bisa membaca fikiran? Tanyaku dalam hati. Dia mengambil tanganku lalu meletakkan sapu tangannya. Aku menghapus air mataku berkali kali, namun tetap saja ia tak ingin berhenti. Aku semakin terisak, apalagi aroma dari dalam mobil ini mengingatkanku pada seseorang dan masa masa kecilku.

"Aku Abian ... Abian Saguna"

Bersambung..........

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!