Aku baru sampai di rumah pukul tujuh malam. Aku langsung ke kamar dan bergegas mandi, badanku benar benar gerah. Setelah itu, aku langsung turun untuk makan malam. Aku memperhatikan ruang makan yang tampak kosong. Mungkin seperti ini kesepiannya ayah saat aku tidak berada dirumah? Fikir ku. Aku berusaha keras untuk tidak menangis lagi. Aku langsung turun dan tiba tiba om Haris duduk di seberang mejaku.
"Belum pulang om?' tanyaku.
"Apa kau sudah terbiasa tanpa ayah?" Tanyanya balik. Aku langsung nyengir kuda dan mengambil satu sendok sup brokoli dan meletakkan di piringnya.
"Om harus makan yang banyak" ucapku lalu tertawa. "Hari ini kita harus banyak makan sayur agar tidak stres" celetukku yang entah darimana aku bisa mendapatkannya.
"Stres kenapa?" Tanya om Haris lalu melahap satu brokoli yang aku berikan tadi. Aku langsung meletakkan garpu ku.
"Om pasti sudah tau" jawabku kesal. "Om jahat sekali" imbuhku.
"Soal Abian?" Tanyanya. Aku melongo, aku sudah yakin om Haris pasti mengenalnya.
"Om tau?" Tanyaku. "Om kenapa tidak bilang kalau dia bagian dari perusahaan ayah?" Tanyaku lagi.
"Kau juga sudah tau kan" jawabnya. Aku mengambil sepotong sosis lalu melahapnya dan mengunyah dengan cepat.
"Om tau, dia dengan berani memukul Randu sampai babak belur. Apa karena dia punya hak di Perusahaan ayah sampai dia berani berbuat seperti itu?" Tanyaku kesal.
"Dia sebenarnya anak yang baik" tukas om Haris. Aku tertawa tidak percaya.
"Baik dari mananya sih om?" Tanyaku kesal.
"Kau sendiri sudah lebih dulu mengenalnya" ucap om Haris.
"Aku?" Tanyaku bingung. Sejak kapan aku punya teman seperti dia.
"Benarkan?" Tanyanya. "Bukannya dari kecil kau udah deket sama Abian?" Tanya om Haris lagi. Aku terdiam sambil mengingat ingat. Dan tiba tiba aku mengingatnya, mataku membulat tidak percaya.
"Dia Abian? Abian yang kecil itu?" Tanyaku sambil mengangkat tanganku untuk menunjukkan seberapa kecilnya Abian dulu. Om Haris mengangguk.
"Secepat itu kau melupakannya?" Tanya om Haris.
"Sofi sedang tidak ingin bercanda" aku tiba tiba malas membahasnya, om Haris tidak bisa di percaya soal beginian.
"Tidak percaya ya sudah" ucap om Haris. Aku langsung bad mood.
"Kalau benar, sekarang om Saga sama Tante Yeri dimana?" Tanyaku. Om Haris meletakkan garpu nya.
"Om Saga dan Tante Yeri sudah meninggal" aku terdiam saat om Haris mengatakan itu. "Mereka mengalami kecelakaan saat hendak menemui Abian di apartemen nya pada malam hari. Waktu itu Abian baru merayakan kelulusannya, dan keesokan harinya langsung mendapat kabar tentang itu" om Haris menarik nafas. "Itu bukan kecelakaan tunggal, melainkan ada mobil lain yang juga terlibat dalam kecelakaan itu. Om dan ayahmu menjenguknya beberapa kali, sepertinya itu menjadi alasan kenapa Abian tumbuh menjadi seseorang yang tak tersentuh" imbuhnya.
"Jadi Abian ..." Aku menggantung ucapanku. Om Haris langsung mengangguk.
"Dia hidup sendirian setelah kepergian orang tuanya, maka dari itu ia selalu menggunakan uangnya untuk bersenang senang dan melindungi dirinya" ucap om Haris. "Dia tampak kuat dan tangguh, padahal dia rapuh" imbuhnya.
"Tapi kenapa tadi siang om tidak memberitahuku?" Tanyaku.
"Karena om tidak mau kau menemui Abian hari ini" jawabnya. Aku mengerutkan keningku.
"Kenapa?" Tanyaku bingung.
"Hari ini suasana hatinya sedang buruk, hari ini hari peringatan kematian orang tuanya" jawab om Haris. Aku benar benar terkejut bukan main, jadi tadi itu dia baru pulang dari makam om Saga dan Tante Yeri? Aku benar benar tidak percaya dia masih bisa tersenyum. Aku langsung bangkit mengambil kunci mobil dan ponselku.
"Mau kemana?" Tanya om Haris.
"Om cepat kirimkan nomor ponsel Bian ke Sofi" jawabku sambil terus berjalan. Aku langsung masuk ke dalam mobil dan melaju dengan kencang.
Tidak lama setelahnya, om Haris bener bener mengirimkan nomor ponsel Bian. Aku langsung menghubunginya. Sekali tidak di angkat, dua kali juga tidak di angkat.
"Sial!" Aku membuang hp ku ke jok sebelah. Saat sedang menggerutu, ponsel ku berdering. Abian menelpon dan aku langsung mengangkatnya.
"Kau dimana?" Tanyaku.
"Siapa?"
"Cepat katakan kau dimana?" Tanyaku kesal.
Panggilan tiba tiba terputus, aku mencoba menelponnya lagi.
"Kau dima ...."
"Halo nona"
"Ini siapa?" Tanyaku. Sial, itu suara perempuan.
"Saya pelayan di bar XX, bisa jemput pemilik ponsel ini? Dia sepertinya sendirian"
"Tolong tunggu disana, kirimkan alamatnya" setelah itu sambungan terputus. Ada sebuah pesan masuk yang berisikan alamatnya. Aku langsung bergegas kesana.
[Lobi;bar]
Setelah sampai, aku langsung masuk ke dalam, gak peduli pandangan laki laki yang berkerumun disini. Aku langsung mendapati Bian yang sudah mabuk di meja bartender. Aku langsung menghampirinya.
"Bian ayo pulang" ajakku. Bian menoleh lalu tersenyum.
"Kenapa kau disini?" Tanyanya. Aku hendak membawanya keluar tadi dia malah menolak dan mengoceh sembarangan.
"Ayo kita pulang" aku terus menyeretnya keluar sampai ke mobil. Aku langsung mendudukkannya di sebelah kursi kemudi. Aku menghela nafas. "Kau terlalu berat" aku ngos ngosan karena menariknya. Aku langsung masuk ke mobil dan melajukannya.
Aku sempat kebingungan harus membawanya kemana, tapi dengan cepat aku langsung menelpon om Haris dan menanyakan alamat Bian. Tentu om Haris tau, memang dasar pembohong. Om Haris hanya memberikan alamat apartemennya, dan kurasa itu bagus, aku tidak perlu repot repot membawanya pulang kerumah.
Aku menoleh, menatapnya yang sudah tak berdaya. "Kemana pengawal mu yang sok gagah itu?" Tanyaku kesal. "Bisa bisanya mereka ninggalin kamu sendiri" imbuhku.
[Apartemen]
Setelah sampai, dengan tenaga ekstra akhirnya aku berhasil membawa Bian sampai ke kamarnya. Aku menghela nafas berkali kali. Aku kembali memandangnya. Untung saja dia masih bisa di ajak bicara soal password apartemennya, kalau tidak aku pasti semakin kerepotan.
"Sangat tidak epic tidur dengan jas seperti itu" gumamku. Aku mendekat lalu perlahan membuka sepatu dan jasnya. Aku juga liat dia kegerahan padahal AC sudah ku nyalakan. jadi aku membuka satu kancing kemejanya, ah aku terlihat mesum. Aku hendak berdiri dan pergi, tapi suara isakan terdengar di telingaku. Aku berbalik dan mendapati Abian yang sudah terisak dalam tidurnya. Perlahan aku mendekat, aku menyibakkan rambutnya dan bisa kurasakan dahinya terasa hangat.
"Bian, kau baik baik saja?" Itu pertanyaan bodoh yang keluar dari mulutku.
"Aku rindu" ucapnya. "Kenapa, mereka mengambil ayah dan ibuku?" Dia terus meracau di sela sela isakannya.
"Bian, aku disini" ucapku. Aku benar benar tak tega meninggalkannya sendiri. "Sekarang kau istirahat dan aku akan disini untuk menemanimu" imbuhku. Aku mengelus lembut rambutnya, melihatnya seperti ini, aku jadi percaya kalo dia tetap Bian yang cengeng seperti dulu. Aku duduk di sebelahnya dengan satu tanganku masih membelai rambut lebatnya. Tanpa sadar aku tersenyum.
"Kemana saja kau?" Tanyaku. Kulihat dia sudah tertidur. Aku melangkah menuju sofa dan mengistirahatkan tubuhku disana.
[Apartemen;pagi hari]
Aku menyerjapkan mataku beberapa kali. Sial, sinar matahari itu memang sengaja menggangguku. Sofa ini nyaman sekali, fikir ku. Tapi aku langsung tersadar, ini bukan sofa. Aku langsung terduduk dan menyibakkan selimutku, aku merasa lega karena pakaianku masih utuh. Aku langsung keluar kamar untuk mencari Bian, dan aku menemukannya di dapur sedang memasak sesuatu. Aku menghampirinya namun aku masih memasang wajah tidak bersahabat.
"Sudah bangun?" Tanya Bian.
"Eung" jawabku. "Masak apa?" Tanyaku yang kini sudah berada di sampingnya.
"Masak nasi goreng seafood kesukaanmu" jawabnya. Aku sedikit terkejut.
"Memangnya kau bisa masak?" Tanyaku. Dia mengangguk.
"Aku sempat meminta ibuku untuk mengajariku memasak" jawab Bian. Dia tampak tersenyum kecut. Dia sedikit terkejut saat tiba tiba aku memegang lengannya.
"Biar aku bantu" ujarku lalu tersenyum. Aku pun membantu Bian memasak untuk porsi dua orang. Setelah selesai, kami menyantapnya bersama di balkon kamar.
"Ini enak" celetukku. "Aku mau makan lagi" aku benar benar tak tau malu soal perut.
"Sudah habis" ucap Bian sembari tertawa kecil. "Buka mulutmu" ucapnya sambil mengarahkan satu suap ke mulutku. Aku dengan senang hati langsung membuka mulutku. Untuk pertama kalinya aku melihat senyum hangat dari bibirnya.
Aku dan Bian sudah bersiap siap untuk pergi, dia akan mengantarkan ku pulang dan setelah itu pergi ke kantor. Saat bel berbunyi, Bian hendak membukanya namun aku melarang karena dia benar benar masih menggunakan handuk mandi. Aku membuka pintu tanpa melihat monitor. Mataku membulat saat tau siapa yang datang.
"Randu ...."
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments