Bab 5

Jangan lupa like dan vote ya.

Selamat membaca!

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi di jam tangan yang melingkar dipergelangan tanganku. Tiba-tiba saat aku sedang termangu, teringat perkataan dari Mba Hani yang masih terngiang di telingaku, Mas Bram datang dan langsung duduk di sebelahku, membuatku tersadar dari segala lamunanku.

"Kamu tuh mikir apa sayang?"

"Maafkan aku Mas, aku gak bisa jujur sama kamu, kalau perkataan Mba Hani sangat melukai perasaanku," batinku menyembunyikan yang sebenarnya.

"Gak Mas, aku lagi mikir keadaan Saskia aja, tapi gimana apa dia sudah membaik Mas?" kilahku dengan melontarkan pertanyaan tentang Saskia, sambil sedikit merubah posisi dudukku, agak lebih tegap sedikit.

"Iya Alhamdulillah, tadi observasi Dokter sih trombositnya sudah kembali normal," ucap Mas Bram yang membuatku langsung menyambutnya dengan penuh rasa syukur.

"Alhamdulillah kalau begitu ya Mas, semoga saja Mba Hanum juga menjadi lebih tenang, setelah mendengar perkataan Dokter."

"Iya sayang, dia sekarang sudah jauh lebih tenang, terlebih saat ini Saskia sudah minta untuk makan disuapi oleh Hanum."

"Ya Alhamdulillah kalau begitu Mas, apa aku boleh masuk bertemu dengan Mba Hanum di dalam?" tanyaku kepada Mas Bram yang langsung tersenyum kecil, tanda ia mengizinkanku.

Aku bangkit dan langsung menuju ke arah pintu ruangan, ku genggam handle pintu dengan erat, lalu aku mulai membukanya, aku beranikan diriku untuk melangkah masuk ke dalam ruangan, walau aku masih teringat suatu kejadian saat Saskia histeris tak mau bertemu denganku, aku tak bisa menyalahkan perasaan seorang anak kecil yang masih begitu polos, bagai sebuah kapas putih yang suci, tanpa dendam dan perasaan jahat.

Langkahku dapat terbaca oleh Mba Hanum yang langsung memandangku, bagi diriku dialah sosok wanita yang selalu menjadi panutan dalam hidupku, selain sabar, Mba Hanum adalah wanita yang tegar dan selalu menerima segala takdir yang Allah berikan dengan ikhlas. Hubunganku dengan Mba Hanum bisa dibilang lumayan dekat, dibanding dengan Mba Hani yang tidak menyukaiku, Mba Hanum malah sebaliknya.

"Biru, sini!" sebuah perintah dari Mba Hanum yang langsung menarik langkahku untuk mendekatinya.

Aku melihat di samping ranjang Saskia terdapat dua buah kursi, aku langsung duduk di samping Mba Hanum, di kursi kosong yang tampaknya itu bekas diduduki oleh Mas Bram.

"Halo Saskia."

"Halo Kakak," jawab Saskia yang entah kenapa ucapan singkatnya mampu menyunggingkan sebuah senyuman di wajahku.

Aku langsung mengalihkan tatapanku ke arah Mba Hanum, ia pun seolah tahu dengan maksudku, Mba Hanum memberi senyuman disertai dengan sebuah anggukan kepala, sebagai kode untukku dapat lebih dekat dengan Saskia.

Aku melangkah dengan lebih yakin menghampiri Saskia, setelah berada tepat di sampingnya, aku mengusap lembut pucuk rambutnya dengan sebelah tanganku dan mengecup keningnya.

"Cepat sembuh ya Saskia cantik, biar nanti Saskia bisa main bersama Kakak."

"Makasih Kakak, selama aku sakit Kakak harus temenin Mama ya, jangan sampai Mama sedih ya Kak," lirih Saskia meminta kepadaku dengan wajah polosnya.

"Iya cantik pasti aku temenin Mama kamu, tenang aja ya, sekarang ini kamu fokus untuk sembuh ya," ucapku sambil menggenggam erat tangan mungil Saskia.

Setelah menyapa Saskia, akhirnya aku putuskan untuk keluar dari ruangan, aku tak ingin mengganggu waktu istirahat Saskia, apalagi saat ini Mba Hanum ku lihat sedang menyuapinya makan. Setelah berada di luar ruangan aku melihat Mba Hani sudah duduk di sebelah Mas Bram, sedang menyandarkan kepalanya dengan manja pada bahu Mas Bram.

"Kuat Biru, kuat, kamu harus terbiasa melihat semua ini," gumamku dalam hati mencoba menguatkan diri.

Kedatanganku disadari oleh Mas Bram, ia langsung melepaskan kepala Hani, hingga membuat sorot matanya menatapku dengan sinis.

"Mas, aku pamit pulang aja ya kalau begitu," ucapku tak ingin mengganggu kedekatan antara Mas Bram dan Mba Hani.

"Oh ya, hari ini, hari pertama kamu kuliah ya, Mas sampai lupa," ucap Mas Bram.

"Aku gak tahu malah Mas, kalau hari ini ternyata hari pertama aku masuk kuliah," jawabku dengan menautkan kedua alisnya.

Aku melihat dari tempatnya memandang, Mba Hani tampak tidak suka dengan apa yang didengarnya. Mas Bram akhir bangkit dari posisi duduknya.

"Sebentar ya aku pamit dulu ke Hanum, lalu aku antar kamu pulang untuk bersiap, ke tempat kuliah."

Aku yang merasa tidak enak, coba untuk menahan langkah Mas Bram dengan meraih tangannya dan coba menahannya. Mas Bram langsung menoleh menatapku dengan raut wajah yang mengisyaratkan bahwa ini memang keinginannya dan aku tidak boleh melarangnya.

Aku yang sudah hafal dengan tatapan mata Mas Bram, langsung melepas genggaman tanganku, sampai akhirnya Mas Bram melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam ruangan.

Sekarang tinggallah aku bersama dengan Mba Hani, aku sebenarnya tak ingin duduk di sebelahnya, namun aku tidak punya pilihan lain, dengan berat hati aku mulai memberanikan diriku, bersiap untuk mendengar setiap perkataan Mba Hani, yang aku tahu pasti selalu melukai hatiku, walaupun aku sudah coba untuk menguatkannya.

Benar saja apa yang aku pikirkan, belum juga aku merapatkan tubuhnya di sandaran kursi, Mba Hani langsung mendorong dada sebelah kiri cukup keras.

"Kamu itu emang wanita murahan yang licik ya, kamu sengaja ya minta Mas Bram untuk biayain kuliah kamu, biar kamu bisa bebas bergaul dengan laki-laki seumuran kamu," ketus Mba Hani menghardikku, kali ini kata-katanya langsung mencabik-cabik perasaanku.

"Ta-pi bu-kan," ucapku terbata, namun belum juga aku menyelesaikan kalimatku, Mba Hani sudah memotong ucapanku.

"Sudahlah, kamu itu kalau dibilangin jangan ngejawab terus, akui aja kalau kamu memang wanita murahan, buktinya kamu mau jadi istri ketiga Mas Bram, aku aja ya Pelangi kalau bukan karena dijodohin sama keluargaku, aku juga gak mau jadi istri kedua Mas Bram," ungkap Mba Hani membuat aku jadi paham alasannya untuk menjadi istri kedua dari Mas Bram, hal yang tak pernah Mba Hani katakan selama setahun ini kepadaku.

"Jadi kamu gak cinta Mba, sama Mas Bram, Mba?"

Mendengar pertanyaanku Mba Hani langsung gelagapan, Mba Hani seperti salah tingkah dan ragu untuk menjawab pertanyaan yang ku lontarkan padanya.

"Ya aku akhirnya cinta juga sama Mas Bram, kalau gak cinta, gak mungkin Devan lahirkan."

"Alhamdulillah kalau begitu Mba, di sini aku memang salah seakan kehadiranku menjadi perusak untuk keharmonisan hubungan kalian, baik dengan Mba Hanum dan Mba Hani, aku sungguh merasa tidak enak sebenarnya, tapi aku pun mau melakukan semua ini, karena paksaan orangtuaku Mba dan karena aku dijual oleh Ayah kandungku sendiri untuk menutupi segala hutang-hutangnya," tuturku dengan berlinangan air mata, nada suaraku yang sedikit tegas membuat Mba Hani, kali ini tak mampu menjawab setiap kalimat yang aku ucapkan, walau aku sendiri tidak tahu apa yang saat ini sedang dipikirkannya, namun satu hal yang aku pahami, perasaanku kini menjadi tenang, karena telah mengungkapkan segala apa yang ku pendam selama ini kepada Mba Hani.

Tak lama terdengar suara pintu terbuka, Mas Bram sudah keluar dari ruang rawat Saskia, ia kemudian melihatku dengan Mba Hani seperti sedang mengadu argumen.

"Kamu kenapa nangis sayang?" tanya Mas Bram kepadaku, karena melihat air mata masih tak sempurna kuusap dengan tanganku.

Aku yang sudah terbiasa menutupi segala luka yang Mba Hani torehkan lewat setiap perkataannya, tak butuh waktu lama untuk mengelak dari pertanyaan Mas Bram.

"Ini Mas, aku lagi cerita ke Mba Hani, sampai aku nangis karena saking terharunya, dengan kebahagiaan yang kamu berikan, soal kuliah Mas, karena itu merupakan impian aku."

Mas Bram mendengarnya dengan kembali memasang raut wajah datarnya.

"Iya Bunda, aku sengaja biarin Pelangi kuliah, apa kamu juga mau kuliah juga seperti Pelangi? Sayang lho D3 kamu kalau gak diterusin," ucap Mas Bram menawarkan kepada Mba Hani yang langsung disambut dengan sebuah lirikan tajam ke arahku.

"Gak usah Mas, nanti kalau aku kuliah, siapa yang jagain Devan dan ngurus kamu Mas, aku lebih memilih menjadi seorang istri yang baik untuk kamu saja Mas, ketimbang kembali kuliah," ucap Mba Hani yang sampai di akhirnya ucapannya masih melirikku dengan tajam, seolah itu sebagai sindirin untukku yang memilih menerima tawaran Mas Bram, untuk kembali kuliah.

Perkataan Mba Hani, menjadi tamparan keras untukku, membuat aku yang tadinya yakin menerima tawaran Mas Bram, kini berubah menjadi keraguan dan sekarang aku jadi merasa bersalah terhadap Mas Bram, karena demi sebuah impian aku melupakan kewajibanku untuk menjadi istri yang baik untuknya.

"Benar juga apa yang dikatakan oleh Mba Hani," batin terus menatap Mas Bram dengan lekat.

"Ya sudah Bunda temani Hanum dulu ya, aku sudah suruh Bi Endah untuk ke rumah sakit, setelah dia datang Bunda pulang saja."

"Iya Mas, kamu hati-hati ya," ucap Mba Hani sambil menyentuh lengan Mas Bram dengan lembut.

Mas Bram pun menuntunku untuk bangkit dari posisi dudukku.

"Aku pamit ya Mba," ucapku menyapa Mba Hani dengan senyum getirku.

"Iya Pelangi, semangat ya kuliahnya," jawab Mba Hani membuatku sedikit tercengang.

Namun aku sudah terbiasa mendengar kalimat yang berbeda dari mulut Mba Hani, yang bak seperti malaikat saat dihadapan Mas Bram.

Bersambung✍️

Terpopuler

Comments

🐝⃞⃟𝕾𝕳 TerlenARayuAn

🐝⃞⃟𝕾𝕳 TerlenARayuAn

bnr2y tuh mulut minta w jahit apa

2021-12-22

0

Larass

Larass

lawan jgn diem aja
ga usah nangis"
sayang air mata nangisin yg kyk gitu

2021-05-22

0

Uncu Ce

Uncu Ce

istri ketiga nanti dipanggil ummi.
.

2021-05-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!