Bab 2

Selamat Membaca!

Suara azan mulai menggema memecahkan keheningan, lantunan suara yang indah mampu mengusir sepi yang ada kala itu. Aku pun langsung terjaga, tersadar akan kewajibanku, karena bagiku azan merupakan sebuah seruan untuk menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim.

Pandangan mataku seketika tertuju pada Mas Bram, yang saat ini masih terlelap dalam tidurnya. Aku yang selalu melakukan kebiasaanku, untuk membangunkan Mas Bram agar ikut melaksanakan salat bersamaku, kini mulai mendekati tubuhnya yang masih terlelap.

"Mas bangun Mas, ini sudah subuh."

Mas Bram tetap tak bergeming dari tidurnya, aku tak kehabisan akal, otak besarku mulai berputar untuk mencari cara, agar tetap sopan membangunkan Mas Bram.

"Mas, Mas, ayo bangun!" titahku sambil memberi kecupan pada bibir Mas Bram.

Seketika Mas Bram mulai tersadar dari tidurnya. Matanya sedikit terbuka untuk sekedar mengintip, lalu tiba-tiba kedua tangannya langsung merengkuh tubuh mungilku, yang membuatku terjatuh dalam dekapannya.

"Mas, lepasin aku, ini sudah subuh lho, nanti kalau kamu begini kita bisa ketinggalan untuk jamaah ke Masjid," keluhku kepada Mas Bram yang semakin erat memelukku, seolah tak ingin melepaskan tangannya dari tubuh mungilku, padahal sudah semalaman Mas Bram menjadikanku seperti guling untuknya, membuat aku jadi tak leluasa dalam bergerak.

Aku mencoba terus mengelak, namun tetap saja Mas Bram tak menggubris semua permintaanku. Aku mendengus kesal, pipiku kini sudah terisi gelembung udara dan aku memalingkan wajahku menjauh dari tatapannya.

"Jangan marah dong, iya, iya, ayo kita siap-siap ke Masjid."

Wajah kesal yang aku tunjukkan berhasil membuat Mas Bram melepaskan pelukannya. Memang suamiku itu sangat takut ketika suara hembusan napasku terasa kasar, Mas Bram sudah hafal betul, jika aku seperti itu, aku bisa mengabaikannya selama 3 hari 3 malam.

Akhirnya kami berdua bersiap untuk berangkat ke Masjid yang kebetulan tidak jauh dari komplek perumahan yang aku tempati. Sebelumnya rumah ini di tempati oleh Mba Hani, tapi karena dia terganggu dengan suara azan di setiap subuh, jadi Mba Hani meminta pada Mas Bram untuk pindah ke rumah yang sebenarnya sudah disiapkan Mas Bram untuk aku tempati. Aku sendiri sangat menyukai rumah yang saat ini ku tempati sekarang, walau rumah ini bekas ditempati oleh Mba Hani tapi lokasinya yang berdampingan dengan Masjid membuatku begitu nyaman untuk tinggal di sini.

Aku dan Mas Bram sudah rapi dengan pakaian muslim kami masing-masing, Mas Bram mengenakan peci, sarung dan baju koko yang sudah ku siapkan untuknya, sementara aku dengan gamis yang diberikan oleh Mas Bram sebagai kado pernikahan kami.

"Mas, ayo kita jalan sekarang!" titahku meminta lembut kepada Mas Bram.

Mas Bram langsung mengiyakan dengan cepat, ia terlihat membawa dua buah masker dan sajadah untuk kami gunakan.

"Aku tadi ngambil ini dulu," ucap Mas Bram sambil menunjukkan semua yang dibawanya kepadaku.

"Makasih Mas, kamu tuh selalu perhatian, padahal aku lupa."

"Iya sayang, sekarang ini masih masa pandemi, kita harus sadar untuk menggunakan masker, karena dengan kita selalu menggunakan masker saat hendak keluar rumah, berarti secara tidak langsung itu akan memutus rantai penyebaran covid-19 di Negara kita ini sayang, kalau kita tidak mulai dari diri sendiri, mau sampai kapan coba, wabah penyakit ini akan hilang," tutur Mas Bram seperti biasa selalu menceramahiku, ketika aku lupa membawa masker saat akan keluar rumah.

Suara ikamah sudah terdengar menggema memenuhi sekitar perumahanku. Aku dan Mas Bram mempercepat langkah kami untuk menuju Masjid. Sejujurnya momen ini sangat indah ku jalani bersama Mas Bram, walau ini baru dapat ku rasakan sebulan belakangan ini. Namun seolah semua kesabaran dan doaku membuahkan hasil yang manis, kini Mas Bram telah jauh berubah, dulu jangankan salat, mengambil wudhu saja masih salah urutannya, bacaan salat pun tidak selancar saat ini setelah aku mengajarinya, bahkan 3 Minggu belakangan ini Mas Bram semakin tekun ibadahnya, ia sampai membayar seorang guru ngaji yang bernama Ustad Arif, agar bisa membaca Al Quran dan memperdalam ilmu keagamaannya.

Sejak Mas Bram mengetahui tentang ganjaran pahala salat berjamaah di Masjid, ia jadi semakin terpacu dan bersemangat untuk terus berjamaah di Masjid, seperti yang Ustad Arif selalu katakan padanya,

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Shalat berjama’ah (di masjid) lebih utama 27 derajat dibanding shalat sendirian (di rumah)” (HR. Bukhari no. 609)

Aku sudah memasuki barisan saf di antara para wanita lain di dalam Masjid, sementara Mas Bram berada di posisi terdepan safnya.

Setiap apa yang dikatakan Ustad Arif, Mas Bram selalu sampaikan padaku bahwa,

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا

“Seandainya manusia mengetahui apa yang ada (yaitu keutamaan) di dalam seruan (adzan) dan shaf pertama, lalu mereka tidak bisa mendapatkan shaf tersebut kecuali dengan undian, sungguh mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari 580).

Kebahagiaanku yang terbesar adalah saat aku melihat punggung suamiku kini berada di posisi terdepan dalam barisan safnya, ini bukan hanya sekedar impian untukku tapi sebuah permohonan yang diminta oleh Mba Hanum, agar aku bisa membuat Mas Bram menjadi pria yang taat dalam beribadah dan adil terhadap ketiga istrinya.

Setelah salat selesai, aku dan Mas Bram mulai meninggalkan Masjid. Kami melangkah beriringan saling melempar canda dan tawa membuat hubungan kami berdua semakin dekat.

"Sepertinya kamu sudah cocok suatu saat menjadi Imam," pujiku sambil menggenggam tangan suamiku dengan rasa bangga.

"Siapa dulu istri salihahnya," puji balik Mas Bram sambil mendekapku, walau kami masih melangkah, hendak memasuki gerbang perumahan.

Mas Bram sejenak menghentikan langkahnya, ia memberikan kecupan tepat di keningku.

Tiba-tiba terdengar suara berdehem dari balik gerbang.

"Lanjut di rumah Pak Bram," goda Pak Heru satpam perumahanku.

Aku yang mendengar sindiran Pak Heru menjadi sangat malu, wajahku seketika sudah merona merah, namun aku tetap tersenyum ramah kepada Pak Heru dengan wajah yang memerah padam.

"Iya nih Pak Heru, Mas Bram gak pernah lihat kondisi tempat," gerutuku sambil memukul pelan dada bidang Mas Bram.

Mas Bram hanya menanggapinya dengan santai dan dingin, seolah apa yang dilakukannya adalah hal yang lumrah biasa terjadi.

"Pak Heru kaya gak pernah muda aja?" tanya Mas Bram menatap Pak Heru dengan kedua alis yang saling bertaut.

Pak Heru terkekeh.

"Ya saya malah lebih parah dari Pak Bram, saya sampai disuruh langsung nikah sama warga sekampung," tutur Pak Heru sambil menggaruk kepalanya yang mungkin tidak terasa gatal untuknya.

Aku hanya menahan gelak tawaku rapat-rapat melihat expresi Pak Heru yang membuat gelora tawaku ingin membuncah.

"Sudah Pak, yang penting sekarang sudah halalkan, lagi Pak Heru belum juga sah sudah berani cium-cium kening segala, itu dosa Pak bukan mahramnya," tutur Mas Bram kepada Pak Heru.

Aku melihat Mas Bram sudah dapat menyampaikan ilmu yang didapatnya dari Ustad Arif kepada orang lain.

"Pak Heru harus baca Surat Al Isra tentang larangan zina," imbuh Mas Bram sambil membacakan surat yang disebutnya.

Surat Al Isra ayat 32 berbunyi:

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلً

Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32).

Pak Heru mengangguk, ia tersenyum lebar mendengar semua perkataan dari Mas Bram. Sementara aku, kini sudah tenggelam dalam lautan kekaguman akan sosok Mas Bram saat ini.

Perasaan yang satu tahun lalu, jauh dari hatiku, namun atas kehendak Allah, kini aku sudah dapat merasa nyaman dan menikmati rumah tanggaku, walau dengan posisiku sebagai istri ke 3. Semua berkat Mba Hanum, beliaulah orang pertama yang memberikanku semangat, untuk bisa ikhlas menerima segala takdir yang telah Allah berikan padaku.

Setelah berhenti sejenak dengan segala nasihatnya untuk Pak Heru, Mas Bram kembali menuntunku untuk melanjutkan langkah kami menuju rumah.

"Aku bangga denganmu Mas, kamu sudah jauh berubah dari satu tahun yang lalu saat pertama kali kita bertemu," gumamku sambil terus menatap lekat wajah suamiku.

Bersambung✍️

Terpopuler

Comments

🐝⃞⃟𝕾𝕳 TerlenARayuAn

🐝⃞⃟𝕾𝕳 TerlenARayuAn

udh cantik solehah lg

2021-12-22

0

🐝⃞⃟𝕾𝕳 TerlenARayuAn

🐝⃞⃟𝕾𝕳 TerlenARayuAn

beruntung bgt bram punya istri sprt hani

2021-12-22

0

elisabeth sembiring

elisabeth sembiring

siapa yang salah , istri ke tiga ,walaupun sholeha, image masih jelek

2021-04-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!