Selamat membaca!
Aku sudah mulai memasak untuk sarapan pagi Mas Bram. Sementara Mas Bram sudah terlihat sibuk berkutat dengan laptop di ruang kerjanya.
"Semoga sarapan pagi ini Mas Bram menyukainya, resep masakan ini aku lihat dari YouTube."
Aku mulai menyajikan masakan yang sudah matang ke atas piring saji dan mulai menatanya dengan rapi di atas meja makan. Setelah selesai dengan semuanya, aku mulai melangkah menuju ruang kerja Mas Bram.
"Sepertinya Mas Bram masih sibuk, apa aku tidak mengganggunya ya?" gumamku dalam hati yang ragu untuk membuka pintu ruang kerjanya, karena aku melihat dari celah pintu yang sedikit terbuka, Mas Bram masih sibuk sekali dengan laptopnya.
Ternyata kedatanganku sudah dapat dilihat oleh Mas Bram, saat aku ingin berlalu dan membiarkan Mas Bram, tiba-tiba ia memanggil, membuat langkahku tertahan. Mas Bram menghentikan kesibukannya, ia lantas keluar dari ruang kerja untuk menghampiriku.
Aku menatap Mas Bram dengan ragu, seperti ada ketakutan di wajahku saat ini, karena aku merasa mengganggu pekerjaan suamiku.
"Kenapa wajahmu seperti itu sayang?"
"Maaf ya Mas, aku ganggu pekerjaan kamu ya? Tadinya aku hanya mau memberitahu kalau masakanku sudah selesai, aku ingin mengajakmu makan bersama."
Mas Bram tersenyum menatapku, tatapan matanya tidak mengisyaratkan sebuah kemarahan, melainkan tatapan penuh cinta yang tampak binar dari sorot matanya.
"Tidak usah sungkan denganku sayang, pernikahan kita kan sudah satu tahun."
Mendengar perkataan Mas Bram, entah kenapa membuat hatiku seperti teriris sebuah pisau. Aku sangat menyadari kehadiranku dalam kehidupan Mas Bram sebagai istri ketiganya, aku tidak bisa selalu menuntut banyak waktunya untuk bisa selalu bermalam di rumahku, karena dia harus membagi waktunya untuk kedua istrinya yang lain. Ustadz Arif selalu berkata pada Mas Bram untuk berlaku adil terhadap istri-istri yang Mas Bram nikahi, karena memang dalam islam sendiri diperbolehkan untuk berpoligami asalkan adil dan menurutku sejauh ini, semakin lama Mas Bram semakin bisa berlaku adil, tentunya tentang waktu saat Mas Bram bermalam. Semua perkataan Ustadz Arif sesuai dengan isi dari Surat An-Nisa ayat 3 yang berbunyi,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
🍁🍁🍁
Sambil terus melangkah aku mengabaikan segala pikiranku saat ini. Kini aku dan Mas Bram sudah duduk bersebelahan di ruang makan. Aku seperti biasanya selalu menyediakan makanan untuk Mas Bram di atas sebuah piring yang langsung aku suguhkan dihadapannya.
"Silahkan dimakan Mas, semoga kamu suka ya dengan resep baruku, aku baru belajar dari YouTube, Mas," ucapku yang masih takut jika Mas Bram tidak menyukai masakanku.
Mas Bram tersenyum, setelah sejenak berdoa bersamaku, ia lalu mulai memakannya, satu suapan yang membuat detak jantungku berdegup kencang, bahkan sampai dahiku terlihat sedikit berkeringat.
"Masakanmu memang selalu enak sayang, aku suka, kalau bisa dalam 3 hari ke depan menu sarapan pagi seperti ini saja ya sayang," puji Mas Bram membuat wajahku langsung berseri-seri.
"Baik Mas, kalau itu permintaan kamu, aku akan memasak menu ini sampai 3 hari ke depan."
Kami melanjutkan aktivitas makan kami, aku melihat Mas Bram terlihat sangat lahap sampai tidak ada makanan yang tersisa di atas piringnya. Aku semakin bahagia dan semangatku untuk terus belajar masak kian kutekuni, itu semua demi suami dan anakku kelak. Saat terlintas sebuah kata "anak" aku jadi teringat selama satu tahun ini aku masih belum menyerahkan kehormatanku pada suamiku, yang seharusnya sudah kulakukan sejak malam pertama kami.
Aku menghela nafasku dalam-dalam.
"Sudah saatnya ku relakan kehormatanku, karena memang sudah kewajibanku untuk melayani suamiku," gumamku dalam hati merasa bersalah karena sudah terlampau lama aku menyiapkan hatiku untuk merelakan kehormatanku direnggut oleh suamiku sendiri.
Aku menatap wajah suamiku yang sudah selesai dengan aktivitas makannya, tatapanku yang terlihat sendu membuat Mas Bram langsung memasang raut wajahnya yang cemas.
"Kamu kenapa sayang? Kenapa kamu sedih sekali?"
Pertanyaan Mas Bram yang begitu perhatian membuatku semakin merasa bersalah, karena tidak seharusnya aku membalas segala sikap baik Mas Bram dengan menahan diriku untuk tetap menjaga kehormatanku.
Tanpa terasa bulir bening air mata jatuh dari kedua sudut mataku. Air mata yang langsung membasahi pipiku, membuat wajah Mas Bram semakin diselimuti dengan rasa cemas.
"Kenapa kamu menangis sayang? Apa aku ada salah denganmu?" tanya Mas Bram padaku sambil mengusap air mata di kedua pipiku dengan kedua tangannya.
Mas Bram kemudian menangkup kedua sisi wajahku dan mendekatkan wajahnya, hingga hembusan nafasnya menyapu wajahku begitu terasa hangat.
"Aku mencintaimu, tangisanmu adalah kesedihanku, jadi berhentilah menangis, katakan padaku, jika ada sesuatu yang salah yang kulakukan."
Untaian kata-kata yang melelehkan hatiku, membuatku semakin larut dalam kesedihan, aku pun akhirnya memutuskan untuk jujur kepada Mas Bram tentang alasan kenapa aku menangis.
Aku menggenggam tangan Mas Bram dan meletakkannya tepat di atas dadaku.
"Aku bersedia Mas, aku akan menyerahkan mahkota yang aku jaga selama 21 tahun ini padamu."
Perkataan dariku sontak membuat Mas Bram terkesiap, raut wajah yang tadinya diselimuti rasa cemas kini berubah menjadi kebahagiaan yang tampak dari sebuah senyuman di wajahnya. Mas Bram menuntunku untuk bangkit dari posisi duduk kami, ia langsung memelukku dengan erat, menghamburkan kebahagiaannya dalam dekapanku. Hatiku kini merasa begitu lega menatap kebahagiaan di wajah suamiku.
"Aku sudah melakukan hal yang benar," batinku penuh keyakinan.
Mas Bram menuntun langkahku, namun anehnya bukan ke arah kamar tapi Mas Bram malah mengajakku ke ruang tamu. Aku semakin bingung, karena aku pikir Mas Bram akan mulai melakukannya pada waktu ini juga, aku terus mengikuti langkah Mas Bram tanpa banyak bertanya, kini kami berdua sudah duduk bersebelahan di sofa.
"Mas, kenapa kamu malah mengajak aku ke sini?"
"Aku sebenarnya punya kejutan untukmu, tapi malah kamu duluan yang memberikan kejutan padaku."
Pikiranku mencoba menerka akan kejutan yang ingin diberikan oleh Mas Bram, namun belum juga aku menemukannya, Mas Bram yang sudah mengambil sesuatu dari laci meja, langsung menyodorkan brosur yang bertuliskan sebuah nama universitas ternama di Jakarta padaku.
"Ini apa Mas?"
"Aku sudah mendaftarkanmu di sana, sesuai dengan cita-cita kamu untuk kuliah, semoga kamu bisa lulus dengan nilai terbaik ya sayang, semangat meraih gelar S2 kamu ya."
Bibirku gemetar bahagia, lidahku menjadi kelu, kebahagiaan yang begitu indah aku rasakan saat ini, membuat air mataku kembali menetes membasahi pipiku.
"Kenapa kamu menangis lagi? Apa kamu tidak bahagia sayang?"
"Ini air mata kebahagiaan, Mas, terima kasih banyak ya Mas," ucapku sambil menyeka air mata di pipiku, lalu aku memeluk tubuh Mas Bram dengan erat.
Suasana kala itu menjadi hening, kebahagiaan yang begitu membuncah di hati kami berdua pagi itu. Berkah dari Allah untuk kami berdua adalah nikmat yang tidak bisa kami elakan dan patut kami syukuri. Namun tiba-tiba ponsel Mas Bram membuyarkan keheningan yang terjadi, terlebih saat Mas Bram mengangkat telepon itu, wajahnya langsung berubah muram, air mata tiba-tiba lolos dari wajahnya yang kini sudah terlihat panik.
"Kenapa Mas?" tanyaku yang penasaran atas apa yang didengar oleh Mas Bram.
Mas Bram sudah menutup sambungan teleponnya, dengan terbata-bata ia mulai membuka mulutnya untuk menyampaikan sebuah kabar yang sepertinya tidak baik yang akan ku dengarkan.
"Saskia kini dirawat di rumah sakit karena demam berdarah, keadaannya memburuk."
Mendengar itu aku coba menguatkan Mas Bram.
"Kita ke rumah sakit sekarang ya Mas, kasihan Mba Hanum pasti saat ini sangat sedih dengan keadaan Saskia, apalagi di Jakarta dia sendirian Mas," tuturku menyarankan kepada Mas Bram.
Mas Bram dengan cepat bangkit, ia langsung mengambil kunci mobil yang berada di atas nakas, aku pun dengan tergesa menuju kamar untuk mengganti pakaianku.
🌸🌸🌸
Bersambung✍️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
🐝⃞⃟𝕾𝕳 TerlenARayuAn
semoga istri pertama baik2j
2021-12-22
0
Bimo
kenapa sih mau jadi yg ke 3, takut hidup susah ya
2021-05-16
0
Yovi Zakaria
saskia siapa. ? anak Hanum atau istri siapa. nama 2 istri bram yg lain
2021-05-05
0