Selamat membaca!
Aku dan Mas Bram sudah berada di dalam mobil, dari raut wajah Mas Bram aku dapat melihat jelas kecemasannya, akan keadaan Saskia saat ini.
"Mas, kamu harus tenang, saat ini Saskia sudah di tangani oleh Dokter, kita sebaiknya berdoa saja semoga Saskia keadaannya membaik, ingat Mas jika kita sedang tertimpa suatu musibah sebaiknya kita berpasrah diri kepada Allah," ucapku mencoba menenangkan hati Mas Bram yang sedang dibalut rasa cemas.
Aku coba terus menenangkan pikiran Mas Bram yang saat ini masih tampak cemas memikirkan Saskia, aku coba mengingatkan Mas Bram tentang apa yang pernah diajarkan oleh Ustad Arif, ketika sedang mengalami suatu musibah sebaiknya mengucapkan:
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'un. Allaahumma ajirnii fii mushiibatii wa akhlif lii khairan minhaa.
Artinya: Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sungguh hanya kepada-Nya kami akan kembali. Ya Allah, karuniakanlah padaku pahala dalam musibah yang menimpaku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya.
Setelah Mas Bram mengucapkannya, aku dapat melihat perubahan di wajah Mas Bram, ia kini sudah terlihat tenang dan lebih santai dalam mengendarai mobil.
"Alhamdulillah, terima kasih ya sayang, kamu itu selalu bisa membuatku tenang."
"Itu kan memang sudah tugasku, untuk selalu mengingatkan suamiku sendiri kan, kecuali kamu orang lain, mungkin aku akan berpikir ribuan kali untuk peduli."
Aku kini dapat bernapas lega, saat sebuah senyuman mulai terbit dari wajah Mas Bram, bagiku menjadi istri ketiga memang tidaklah mudah, bahkan untuk membayangkannya saja tidak pernah terlintas di pikiranku. Namun saat semua sudah ku jalani, ternyata aku bisa melewati semuanya, bahkan sampai di usia pernikahanku dengan Mas Bram sudah memasuki 1 tahun.
Ya, walau terkadang aku masih sering menangis karena kesepian, tapi aku coba mengerti bahwa memang seperti inilah menjadi istri dari suami yang berpoligami, kita tidak bisa memiliki sepenuh waktunya. Waktu yang dalam sebulan sudah ditentukan oleh Mas Bram, masing-masing istrinya mendapatkan jatah waktu 10 hari.
Setelah bergelut dengan kemacetan ibukota, akhirnya kami sampai di rumah sakit. Mas Bram langsung memarkir mobilnya di tempat yang tersedia dan dengan tergesa kami berdua turun untuk masuk ke dalam rumah sakit. Di dalam rumah sakit, kami langsung menuju ke lantai 3 sesuai informasi dari Mba Hanum yang dikirim melalui WhatsApp ke ponselku.
Setibanya kami di depan pintu lift, seakan Allah sudah mengerti jika kami sedang diburu oleh waktu, pintu lift terbuka tanpa membuat kami menunggu lama. Aku dan Mas Bram langsung masuk ke dalam lift, setelah menekan angka 3 yang tertera pada samping pintu lift, lift pun mulai naik dengan cepat menuju lantai 3. Setelah lift berhenti tak lama pintu lift terbuka lebar, Mas Bram dengan cepat keluar menuju ruang rawat Saskia yang terletak pada sisi kiri lift.
Aku pun menyusul tepat di belakang Mas Bram, namun langkahku yang mungil tak sebanding dengan langkah Mas Bram yang semakin meninggalkanku jauh di depan sana, walau aku masih dapat melihat punggung Mas Bram yang kini sudah berbelok di ujung koridor.
Aku mempercepat langkahku untuk menuju ujung koridor, setelah berbelok ke arah kanan seperti arah yang Mas Bram tuju, tatapan mataku langsung disuguhkan oleh sebuah pemandangan yang mungkin dapat membuat hati seorang wanita patah hati bila melihatnya.
"Kasihan Mba Hanum, dia pasti sangat terpukul, karena selama 7 tahun usia Saskia, baru pertama kali ini Saskia sakit sampai dirawat, apalagi situasinya saat ini ditengah pandemi Corona, pasti itu menambah kecemasannya," batinku dalam hati yang saat ini melihat Mba Hanum sedang menghamburkan kesedihannya dipelukkan Mas Bram.
Aku sebenarnya ingin mendekat, tapi aku takut itu malah akan mengganggu keduanya. Aku hanya dapat diam mematung, tapi tiba-tiba dari arah belakang, tubuhku seperti ditabrak kerbau bertanduk yang membuatku mengaduh kesakitan.
"Au," ucapku sambil memegangi bahu kiri yang terasa nyeri.
Kini dihadapan mataku, aku melihat seorang wanita dengan surai rambut hitam yang panjang, tinggi semampai memiliki kaki jenjang dan warna kulit putih seperti buah bangkoang.
"Kalau berhenti itu jangan ditengah jalan, ganggu orang jalan aja tahu!" ketus seorang wanita yang ternyata adalah Mba Hani.
Aku menatap wajah Mba Hani yang kini sedang dipenuhi oleh amarah.
"Pelangi, kamu itu ngapain sih pakai berhenti ditengah jalan pas belokan lagi," ketus Mba Hani terus menegurku dengan keras.
"Maaf ya Mba, tadi perutku tiba-tiba sakit, makanya aku berhenti," kilahku mencari sebuah alasan, karena tidak mungkin aku jujur dengan apa yang aku rasakan.
Mba Hani langsung mengabaikanku, ia kembali melanjutkan langkahnya menuju ke ruangan tempat Saskia dirawat. Ternyata suara keributanku dengan Mba Hani terdengar oleh Mas Bram, yang langsung menatapku dari kejauhan. Mas Bram terlihat melambaikan tangannya memintaku untuk menghampirinya, sementara di sampingnya aku lihat Mba Hanum yang masih sibuk menyeka air matanya juga menatapku dan mulai menerbitkan sebuah senyum kecil di wajahnya untukku.
Aku mulai melangkah, menghampiri Mas Bram dan Mba Hanum, juga Mba Hani yang sudah sampai terlebih dahulu di sana. Sesampainya aku dihadapan Mba Hanum, aku langsung memberikan sebuah pelukan kepadanya, untuk memberikan semangat dan kekuatan pada Mba Hanum.
"Mba Hanum, sabar ya, Insya Allah Saskia segera sembuh," ucapku yang masih berada dipelukkan Mba Hanum.
"Makasih ya Biru," kata Mba Hanum terdengar lirih, berbeda dari Mba Hani yang memanggilku dengan nama Pelangi.
Setelah melepas pelukannya, kami pun duduk di kursi panjang di depan ruang rawat, sementara itu Mas Bram dan Mba Hanum masuk ke dalam ruangan untuk melihat keadaan Saskia.
Aku dan Mba Hani duduk bersebelahan, aku sendiri merasa sangat canggung bila harus berdekatan dengan Mba Hani, karena sepertinya Mba Hani begitu membenciku, semua bisa dilihat sejak pernikahanku dan Mas Bram, Mba Hani tidak tampak terlihat hadir.
"Pelangi, ini semua bisa terjadi karena kamu menikah dengan Mas Bram, jadi waktu untuk Saskia dan Mba Hanum berkurang, coba kamu pikir dalam sebulan, aku dan Mba Hanum harus mengurangi waktu bersama Mas Bram, karena 10 hari waktunya harus bersama kamu," ketus Mba Hani menghardikku.
Aku tak bisa menjawab semua perkataan Mba Hani. Aku hanya berusaha kuat menahan air mata yang kini telah menganak di kelopak mataku, belum juga rasa sakit mereda, Mba Hani sudah menambahkan luka di hatiku lagi dengan perkataannya.
"Lagi aku bingung sama kamu, ada wanita yang mau dijadikan istri ketiga, kamu itu sudah jelas tahu kalau Mas Bram sudah mempunyai dua istri, kenapa kamu masih mau menikah dengan Mas Bram? Harga diri kamu dimana Pelangi?" hardik Mba Hani terus menyerangku dengan perkataannya.
"Ya Allah, kuatkan aku, berikan aku kesabaran, memang ini semua salahku, akulah yang bodoh sudah mau jadi istri ketiga dari seorang pria yang sudah mempunyai dua istri," gumamku sambil mengepal tanganku yang sudah ku letakkan di atas dada, aku menekan tanganku untuk memberi kekuatan agar aku kuat mendengar setiap perkataan yang keluar dari mulut Mba Hani.
"Pelangi, kamu itu kalau dinasehati selalu saja nangis, harusnya kamu itu mikir! Bukan malah nangis aja, sudahlah! Otak kamu itu kayanya gak bisa mencerna setiap ucapan aku ya, aku jadi malas lihat air mata palsu kamu, kalau Mas Bram mencariku, katakan aku pergi ke kantin, aku lapar mau cari makan dulu," tutur Mba Hani dengan nada yang lebih ketus dari ucapan sebelumnya, sambil bangkit lalu pergi meninggalkanku yang masih tenggelam dalam kesedihan.
Aku hanya dapat menatap kepergian Mba Hani dengan tatapan yang sendu, tanpa bisa menjawab setiap hinaannya, air mata yang kini sudah berhasil lolos dari kedua sudut mataku, langsung membenamkan seluruh wajahku, hidungku sampai memerah menahan piluh di hatiku saat ini, tapi tiba-tiba suara pintu ruangan terbuka, aku pun dengan cepat menyeka air mata dengan kedua tanganku. Ternyata Mas Bram keluar dari ruangan dan langsung duduk di sampingku.
"Hani kemana sayang? Lah kok, kamu kenapa nangis?" tanya Mas Bram menanyakan kenapa di wajahku terlihat air mata, yang ternyata masih belum sempurna aku bersihkan.
"Mba Hani ke kantin rumah sakit, Mas, katanya lapar, ini aku sedih aja Mas karena Saskia harus dirawat, padahal dia masih berumur 7 tahun," ucapku walau harus diakhiri dengan kebohongan, karena aku tidak ingin menceritakan kepada Mas Bram yang nantinya akan membuat Mas Bram marah kepada Mba Hani.
"Biarlah aku saja yang tahu luka ini Mas, biar aku simpan sendiri rasa sakit ini, karena memang semua yang dikatakan Mba Hani ada benarnya," gumamku dalam hati, mencoba menguatkan diri.
🌸🌸🌸
Bersambung✍️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
🐝⃞⃟𝕾𝕳 TerlenARayuAn
sbr y hani
2021-12-22
0
Dewi Dina
yg sabar
2021-06-14
0
elisabeth sembiring
istri pertama, hatimu terbuat dari apa?
istri ke dua, nggak ngerasa ya kamu juga sama dengan istri ke tiga, pelakor
istri ke tiga, kamu harus kuat dan bijak atau out dari peredaran perkawinanmu
2021-04-23
1