Dan terbukalah secara gamblang halaman pertama novel itu yang berisikan tentang ungkapan terimakasih sang penulis. Gadis ayu itu mendongakkan kepala, memutar bola matanya bergantian, ke kanan, ke kiri, ke atas dan kadang terpejam. Ia seolah belum siap untuk mengetahui rahasia hati sang pemberi novel.
Ia teguk air yang kebetulan ada di meja riasnya. Segelas penuh itu kini hanya menyisakan sedikit di bagian dasarnya. Nampaklah ia sedang dilanda gundah, ada pertarungan di dalam hatinya, melanjutkan atau menghentikan.
Pada akhirnya, mata itu memilih fokus. Mulai membaca.
Say Thank You
Novel ini adalah janji kita. Janji indah yang harus terpisah. Sebelum aku berterimakasih, izinkan aku mengucap maaf untuk semua luka yang aku torehkan di hatimu. Lewat tulisanku ini, aku berbicara dari hati, semuanya. Dari awal cinta ini bermula sampai detik akhir perpisahan kita.
Aku bersyukur Tuhan pernah menyatukan kita meskipun hanya sesaat. Namun, aku sangat berterimakasih padamu, karena kamu memberiku banyak cinta. Sebaliknya maafkan aku yang memberimu begitu banyak luka. Cinta ini tetap menjadi milikmu, bukan sebesar saat kita masih bersama tetapi jauh lebih besar dari sebelumnya.
Penyesalanku karena salah mengambil langkah, kini biarlah aku yang menanggungnya. Selalulah bahagia, meski sebenarnya akulah yang ingin menjadi penyebab bahagiamu itu. Sayangnya aku adalah pembawa luka.
Terimakasih untuk lelaki yang kini ada di sampingmu. Jika tak ada dia kuyakin rasa bersalahku karena meninggalkanmu akan semakin besar. Dia adalah lelaki yang pantas untuk kau bahagiakan dengan cintamu. Karena aku tahu, dia adalah pejuang bukan pecundang sepertiku.
Pecundang yang selalu mencintaimu
(Rud Dinata)
Penutup say thank you itu akhirnya juga memaksa gadis ayu itu menutup novel yang baru saja dibacanya. Ia raup air mukanya dan kemudian menghela napas panjang. Meletakkan kembali novel itu di sudut meja riasnya. Setelah beberapa waktu terpaku, ia beranjak dari duduknya. Membuka pintu balkon dan berdiam di sana. Memandang hamparan langit malam yang diterangi oleh ribuan bintang.
"Ucapan terimakasihmu haruskah kujawab sama-sama, Mas? gumam gadis itu sambil menengadahkan pandangannya pada rembulan yang berpijar sempurna.
"Sama-sama, iya ... kita berdua sama-sama terluka," terus gadis itu dalam pembicaraannya seorang diri.
"Kamu berterimakasih pada lelaki di sampingku, karena ia menjagaku dari luka yang sengaja kamu torehkan. Namun, apakah Mas tahu jika sampai detik ini, rasaku padamu masih bersisa meskipun sekuat hati sudah kulebur dengan pemilik cinta halalku," wajah sendu gadis itu kembali mengalirkan kristal bening.
"Maafkan aku, aku menyakiti kalian berdua. Lelaki di sampingku, selalu memahami hatiku yang tidak seratus persen padanya. Namun, aku jahat karena selalu mengendapkan cinta atas rasa masa lalu padamu, Mas Rud."
"Jika saja kalian datang tidak pada waktu yang bersamaan, aku ingin membahagiakan kalian bergantian. Meskipun pada akhirnya diantara kalian ada yang harus tidak berjodoh, setidaknya aku pernah membahagiakan dengan rasa seutuhnya," gumaman gadis itu dengan memejamkan mata.
Saat gadis itu memilih menutup mata dari bayangan kenyataan pahit, ada tangan yang menepuk bahunya. Dia tetap memaku, tak peduli dengan siapapun yang datang karena sebenarnya dia membutuhkan seseorang untuk dijadikan sandaran. Melepas penat yang menjerat, galau yang meracau dan sendu yang membelenggu.
"Kalau kamu belum siap terluka lebih dalam, jangan kamu lanjutkan!" ujar suara khas lelaki yang dia tebak sebagai orang yang baru saja menepuk bahunya.
Gadis itu menundukkan pandangannya. Seolah membenarkan apa yang baru saja dikatakan oleh lelaki di sampingnya. Dia lepaskan kasar napas yang ia pergunakan untuk melanjutkan kehidupannya. "Dia memilih meninggalkanku dan akhirnya menjadikan dua hati terluka, hatiku dan hatinya. Namun keputusanku untuk bersandar pada hati yang lain saat aku terluka karenanya, itu justru membuatku menjadi wanita paling jahat, melukai 3 hati tanpa sengaja."
Bulir air mata mengalir perlahan dari ujung mata gadis itu. Semakin deras dan membuat ia tak bisa lagi mengontrol isaknya. Lelaki yang ada di sampingnya hendak meraih tubuh gadis itu ke dalam pelukannya, tapi ia urungkan. Ia tidak mau membuat gadis itu berpikiran bahwa dirinya semakin jahat, karena hadirnya orang keempat yang akan terluka karenanya.
"Semua sudah terlambat, Pak. Aku sudah menyakiti keduanya dan kini aku yang menanggung karma, kehilangan mereka dari sisiku," terang gadis itu dalam isaknya yang masih tersisa.
"Pergilah dari sini! Tenangkan dirimu! Dan bersiaplah untuk menyambut lahirnya Rosa yang baru, Rosa tanpa bayang-bayang Dion maupun Rud," tutur lelaki yang disapa Pak itu.
"Mungkin itu lebih baik untukku. Namun aku ingin menyelesaikan membaca novel itu. Sudah kusiapkan diriku untuk benar-benar terendap lara jika kenyataan yang kudapat sangat menyakitkan," jelas gadis yang dinamai Rosa oleh lelaki itu.
Lelaki itu kembali menepuk bahu gadis yang berusaha kuat itu meskipun terluka dalam dan menganga. "Jangan memaksa jika tak kuasa. Cari aku bila deritamu tak dapat kau tanggung sendiri. Aku bukan orang keempat dalam lingkar kesakitan kalian, aku hanya kakak yang akan menghiburmu jika kamu mau. Namun percayalah aku selalu didekatmu."
Gadis itu pun mengangkat kepala yang sedari tadi ia tundukkan. Menghapus airmata yang masih bersisa dan menatap kepergian lelaki yang dipanggilnya Pak tapi mengaku sebagai kakaknya itu. "Pergilah, Pak! Jangan ada di dekatku untuk waktu yang lama. Aku takut nanti kamu juga akan terluka."
Gadis itu kembali terpaku setelah melepas perintah untuk lelaki yang baru saja meninggalkannya itu dengan seruan lirih. Kesadarannya mulai kembali saat tiupan angin yang sedikit berlalu dari kata sepoi dan merujuk pada kata badai kecil itu membelai kasar rambutnya yang tergerai. Bermain nakal hingga menutupi sebagian wajahnya.
Kakinya terpaksa ia langkahkan, meninggalkan balkon, kembali pada kursi yang tadi membuatnya teriris perih. Kembali menatap novel itu dengan lekat meskipun tangannya masih ragu untuk meraihnya. Hanya deru napas kasar yang ia buang kemudian.
Lembar say thank you yang tadi sempat ia tandai dengan pembatas kertas yang sudah tersedia di dalam novelnya, ia buka. Bukan terfokus pada halaman itu tapi malah menemukan sesuatu yang mengusik penglihatannya dari benda kecil itu.
Lukisan tangan yang memvisualisasikan dua orang berlainan jenis sedang duduk di pantai dalam remangnya senja. Mereka nampak memandang matahari yang sudah tenggelam dan hanya menyisakan sedikit semburat oranye di atas lautan yang jauh di sana.
"Mengapa kau lukiskan kita sedang membelakangi mata, Mas? Apakah ini isyarat darimu bahwa kisah kita sudah menjadi kenangan?" lagi-lagi suara lirih gadis itu mengisi keheningan sekitarnya.
Perlahan khayalannya dibawa pada masa dimana lukisan itu menjadi cerita sesungguhnya. Kala dirinya dan lelaki pembuat cerita di novel yang dibacanya ini sedang menikmati senja. Waktu liburan, hampir empat tahun yang lalu beberapa hari sebelum kejadian menyedihkan itu terjadi.
Obrolan cinta mereka tentang kegalauan kala itu rupanya ia tuangkan menjadi kertas pembatas buku. Apakah itu seperti penanda masa lalu, saat sesuatu yang indah akan segera berubah menjadi gundah?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Ririe Handay
kok nyesek ya
2022-06-03
1
Fatonah
baperrrr... mas rud oh mas rud nasibmu siganteng....😁
2021-04-02
1
Nana
waduch kirain rosa ma dion udah bahagia. gk ada bayang" mas rud lg 😁😁😁
2021-02-13
1