POV AYAH
Hari ini aku sedang libur bekerja, dan rutinitas yang ku lakukan sepulang shift malam adalah mengantarkan kedua anakku. Setelah mengantarkan Krisna terlebih dahulu ke sekolahnya, lalu aku bersiap untuk mengantarkan Puteri ke tempat kerjanya.
"Teh nanti ayah jemput seperti biasa ya!, hari ini kamu gak lembur kan?", tanyaku kepada Puteri.
"Iya yah, hari ini teteh gak lembur jadi pulang seperti biasa", Jawabnya.
"Yasudah kalo begitu sana kamu masuk ayah langsung pulang ya!", ucapku sambil menyodorkan tangan kanan kepadanya.
"Iya yah, hati-hati". Sambil mengecup puncak tanganku dan mengucapkan salam, lalu ia masuk menuju tempat kerjanya.
Singkat cerita aku sudah sampai dirumah, kemudian duduk didepan tv ditemani istri tercintaku, sambil menyeruput kopi hitam panas buatannya, dan kamipun mengobrol sambil menonton televisi.
"Yah, ayah gak ngantuk? Istirahat dulu gih, tadi kan baru pulang kerja langsung antar aa dan teteh” ucap istriku sambil memindahkan siaran televisi mencari siaran telenovela favoritnya.
“Nanti saja bu, ayah masih ingin santai-santai ngopi dulu!”
“Yah, ayah kenapa dari kemarin ibu lihat seperti sedang ada masalah?", tanya istriku lagi.
Aku menarik nafas panjang dan membuangnya kasar, lalu menjawab pertanyaannya. "Iya bu, gara-gara kejadian malam itu ayah membuat kesalahan yang mungkin hampir menjadi fatal", jawabku lirih sambil menyalakan sebatang rokok.
"Loh ada apa yah? cerita sama ibu jangan dipendam sendiri!", bujuknya kemudian.
Aku terdiam sejenak lalu akupun bercerita kepadanya.
Malam itu aku sedang kedatangan muat barang, dan tugasku adalah mengecek barang bawaan sesuai dengan surat jalan yang dilampirkan, jumlah barang yang dibawa supir pabrik kala itu sangat banyak dan aku beserta temanku hampir keteteran dengan pekerjaan itu, lalu kemudian tiba-tiba telpon berdering.
"Halo Ayah, teteh masih ditempat kerja, Rahman belum datang jemput, disini udah mulai sepi teteh takut yah, hiks hiks hiks", isaknya kala menelponku.
Dengan perasaan panik aku mencoba menenangkannya, "Teh, coba teteh liat dulu angkot terakhir masih ada atau engga, nanti teteh hubungi ayah lagi ya."
Hatiku begitu gusar kala memikirkan putriku disana, aku sudah tidak bisa fokus pada pekerjaanku, sampai kemudian Puteri meneleponku lagi.
"Alhamdulillah yah masih ada satu angkot, tapi disini gelap dan sepi gak ada penumpang lainnya", jawabnya gemetar saat bercerita kepadaku tentang kondisi di area tersebut, pasalnya angkot terakhir itu hanya diisi sopir dan satu penumpang pria dibelakang, sehingga akupun ikut merasa panik.
"Teh, teteh duduk didepan aja dekat supir, ayah akan izin dulu untuk jemput teteh, nanti teteh turun didepan gang saja, biar ayah yang antar teteh sampai rumah", bujukku untuk menenangkan Puteri, dan panggilan teleponpun terputus.
Setelah mematikan telepon, aku segera beranjak meminta izin kepada atasanku. TOK TOK TOK.. aku mengetuk pintu ruangan atasan dan setelah dipersilahkan masuk, akupun segera menyampaikan niatku datang ke ruangan itu.
"Selamat malam pak, saya mau minta izin sebentar untuk menjemput anak saya, ini keadaannya sangat urgent pak. Mohon izin bapak agar saya bisa segera pergi dan bisa sesegera mungkin kembali kesini untuk melanjutkan pekerjaan saya", terangku kepada atasan.
Atasanku hanya mengerutkan dahi kemudian berkata,"Saya tidak bisa izinkan pak Nura, bapak kan tahu disini sedang kurang orang ditambah lagi sedang ada muat barang, kalian berdua saja masih keteteran, apalagi sekarang bapak mau izin keluar, TIDAK BISA.. SAYA TIDAK IZINKAN!!", tegas atasanku.
"Saya mohon maaf pak, tapi saya harus segera pergi menjemput anak saya, sekalipun tidak anda izinkan, sekalipun bila saya ngotot pergi dari sini saya harus rela kehilangan pekerjaan saya, tapi saya lebih tidak rela jika terjadi sesuatu pada anak-anak saya. PERMISI", ucap ayahku sambil berlalu.
Awalnya atasanku tidak memberi izin mengingat sedang ada muat barang datang sehingga kekurangan orang. Tapi kemudian aku mengotot untuk pergi, karena bagiku tidak ada yang lebih penting dari anak-anakku, sekalipun harus ber-argumen dengan atasan. Bagiku, anak-anak adalah segalanya, dan aku akan melakukan apapun untuk menjaga dan melindungi mereka dengan sebaik-baiknya.
Aku segera meninggalkan tempat kerja, dan singkat cerita akhirnya akupun sampai di gang yang sudah ditentukan, dari kejauhan aku sudah melihat putri kesayanganku itu menunggu dengan cemas, karena didaerah sana terkenal banyak sekali pemabuk yang suka lalu lalang sekalipun terletak dipinggir jalan, tetapi bila sudah larut malam maka akan sangat terasa sepi, para pedagang kaki lima pun banyak yang sudah menutup dagangannya.
Aku dan Puteri sampai dirumah, aku lalu melanjutkan perjalanan kembali menuju tempat kerja. Setelah tiba ditempat kerja aku kembali bertemu dengan atasanku dan dimarahi habis-habisan olehnya. Aku tau konsekuensinya pasti dimarahi dan fatalnya harus kehilangan pekerjaan, tapi aku tidak peduli, bagiku anak-anak adalah prioritas, apalagi Puteri adalah seorang gadis dan aku akan lebih khawatir padanya.
"Lihat akibat kelalaian pak Nura, meninggalkan tanggung jawab pekerjaan begitu saja, kita mendapat masalah, surat jalan nya hilang, dan bagaimana kita bisa memproses ini" , Tegur atasan kepadaku.
Memang benar surat jalan itu aku yang memegangnya, sampai kemudian fokusku hilang, menyebabkan aku lalai dengan surat jalan itu, sudah dicari kemana-mana tetep tidak ketemu. Singkat cerita lagi, kabar baiknya adalah aku tidak dipecat, tetapi aku mendapat SP 1 dari tempat kerjaku.
"Bu, tolong jangan ceritakan hal ini pada teteh, dia baru saja putus dan patah hati, jangan sampai masalah ini menjadi pikirannya lagi, biarkan dia fokus dengan pekerjaannya sekarang", tegasku pada sang istri.
Istriku yang sedari tadi sudah mulai sewot mendengar ceritaku langsung terdiam kala aku mewanti-wantinya hal itu. Istriku memang kesal kepada Puteri dan terutama kepada Rahman. Puteri menjadi bucin sejak berpacaran dengan pria itu, bahkan dia sampai melupakan keluarganya hanya demi pria yg tidak tahu diri seperti Rahman.
Sebenarnya aku sudah tau siapa Rahman dan bagaimana hubungannya dengan Puteri, ya aku menginterogasi Wulan melalui telpon, ku tanyai Wulan habis-habisan mengenai siapa Rahman dan apa saja yang sudah Puteri ceritakan tentangnya pada Wulan.
Wulan yang awalnya tidak ingin cerita, mau tidak mau pun akhirnya luluh dan menceritakan semuanya, karena Wulan tau, begitu sayangnya aku kepada Puteri dan perlakuanku selama ini kepada Puteri, adalah bukti nyata seorang ayah kepada anak gadisnya.
Wulan yang tidak pernah merasakan kasih sayang seperti itu dari ayahnya, merasa terharu melihat perlakuanku terhadap putriku itu. Terlebih akupun memperlakukan Wulan beserta teman-temannya Puteri yang lain seperti putriku sendiri, makanya mereka tidak pernah ragu bahkan sampai memanggil Ayah juga kepadaku.
Bukan berarti Wulan tidak pernah menasehati Puteri, hanya saja Puteri yang sedang bucin tidak terlalu menganggap nasehat seniornya itu, jangankan Wulan, orang tuanya saja sekarang ia abaikan.
Hari menjelang siang akupun segera bangkit dari tempat duduk, bersiap menjemput putra kesayangan yaitu Krisna dari sekolah SMPnya. Dimataku mereka masih seperti anak kecil, selalu diantar jemput, bahkan mereka lebih dekat kepadaku dibandingkan kepada ibu mereka.
Sesibuk apapun aku, selelah apapun aku bekerja, aku selalu meluangkan waktu untuk anak-anak. Aku tidak pernah bosan mendengar cerita mereka, keluh kesah mereka, bahkan aku selalu membantu mereka mengerjakan PR.
Pukul 4 sore, aku bersiap untuk menjemput Puteri, dan seperti biasa, sebelum Puteri pulang, aku sudah standby menunggunya di depan. Tak terasa malampun tiba, bisa dibilang hari ini aku belum tidur seharian selepas shift malam kemarin. Setelah beres makan malam kamipun beristirahat karena waktu sudah menunjukan pukul 9 malam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments