Berbulan-bulan semenjak kejadian hari itu aku mulai menunjukan sikap yang berbeda, aku menjadi pemurung dan tak ceria seperti biasanya. Tentu saja penyebabnya adalah ledekan dari teman-temanku kala itu, yang masih jelas membekas dalam hati dan ingatanku.
Setelah hampir 2 tahun bersama, membuat Wulan sangat mengenal betul bagaimana sifat dan karakterku. Wulan juga menyadari perubahan sikapku, dan itu membuatnya cukup terganggu. Bagaimana tidak, sosokku yang selalu menjadi badut ditempat kerja karena pandai membuat suasana gembira yang mengundang gelak tawa, kini menjadi hening dan membosankan.
Akhirnya Wulan berinisiatif mendekatiku dan mengajakku berbincang-bincang disela waktu makan siang. Wulan bertanya hal apa yang sampai membuatku berubah seperti itu. Sebenarnya Wulan tau apa alasannya, hanya saja ia ingin aku berterus terang mengenai perasaanku sendiri.
Akupun mulai bercerita dan terbuka mengenai apa yang ku rasakan saat itu, mengenai rasa tidak suka ku karena ledekkan dari teman-teman, juga mengenai sikap ayahku yang sangat posesif.
Wulan paham betul bagaimana rasanya perasaanku. Ia lalu mengusap puncak kepalaku sambil memberiku nasihat yang sangat menyentuh hatiku. Ia berkata jika seharusnya aku bersyukur diperlakukan istimewa oleh ayahku, tidak semua anak gadis seberuntung diriku, mempunyai seorang ayah yang begitu sayang dan perhatian.
Ia pun menceritakan beberapa kisah mengenai teman-teman yang lain, yang kurang beruntung dengan ayah mereka, juga termasuk kisah dirinya yang kurang perhatian dari sosok ayah. Dan itulah alasannya mengapa teman-teman kerjaku memanggil ayah juga kepada ayahku.
Bahkan mereka yang meledekku malam itu, mungkin sebenarnya mereka merasa iri kepadaku, karena aku diperlakukan begitu istimewa oleh ayah, sedangkan mereka tidak pernah diperlakukan begitu oleh para ayahnya, begitu kata Wulan.
Setelah perbincangan dengan Wulan itu membuat suasana hatiku membaik, aku mengerti sekarang, bahwa kita sebagai orang yang beranjak dewasa harus siap bertemu dengan berbagai macam karakter orang, salah satunya seperti mereka.
Dan bagaimana cara menyikapinya, ialah kita harus legowo, ambil yang positifnya dan abaikan yang negatifnya, jangan semua diambil hati, jangan semua diambil pusing, karena yang tau seperti apa hidup kita, hanya kita sendiri yang mengetahuinya.
Saat pulang kerja, aku bertemu dengan temanku yang bernama Deni. Ia adalah kenalanku yang pernah bekerja diperusahaan itu, namun resign karena satu dan lain hal, kala itu Deni sedang bersama temannya bernama Rahman.
Kebetulan hari itu aku tidak dijemput oleh Ayah, jadi aku punya waktu luang untuk mengobrol dengan teman lamaku itu, kemudian kami sama-sama menuju cafe terdekat.
Deni bekerja sebagai IT di salah satu perusahaan terkenal, namun temannya yang bernama Rahman sedang menganggur, baru saja di PHK karena ada pengurangan karyawan di perusahaannya. Setelah mengobrol panjang lebar, kami pun bertukar nomor telepon lalu memutuskan untuk pulang.
Singkat cerita aku sudah sampai dirumah, saat sedang rebahan diatas kasur tiba-tiba ponselku berdering dan memunculkan nomor baru yang tidak dikenal. Awalnya aku mengabaikan panggilan itu, namun karena nomor asing itu terus menerus menelepon, maka akupun mengangkat teleponnya, ternyata itu Rahman, temannya Deni.
Rahman mengatakan bila ia dengan sengaja meminta nomorku kepada Deni, karena ia merasa tertarik kepadaku, dan merasa nyaman saat sedang mengobrol tadi. Aku hanya tersenyum mendengar penuturannya.
Tak terasa waktu demi waktu berlalu. Setelah hampir 2 bulan lamanya aku dan Rahman berkomunikasi hampir setiap hari, selain lewat telpon, tak jarang juga kami bertemu walau hanya sekedar nongkrong di cafe.
Komunikasi yang semakin intens itu menumbuhkan benih-benih cinta diantara kami, Aku yang memang dasarnya seorang gadis baik-baik dan awam, mudah merasa baper terhadap seorang lelaki, terutama mereka yang perhatian dan romantis. Dan akupun juga tidak mau ambil pusing dengan status Rahman yang masih menganggur. Hingga akhirnya Rahman memutuskan untuk menyatakan cinta kepadaku.
Akupun menerima pernyataan cinta Rahman, dan akhirnya kami resmi berpacaran. Dan hal yang membuatku bahagia salah satunya adalah aku tidak jomblo lagi karena hampir setiap hari tidak dijemput oleh ayah, melainkan oleh kekasih baruku Rahman.
Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu, tanpa ku sadari Rahman begitu menikmati statusnya sebagai pengangguran. Bagaimana tidak, Rahman selalu menjemputku ketika pulang kerja, dan kami selalu menyempatkan untuk makan malam bersama sebelum pulang atau sekedar berjalan-jalan dan nongkrong di kaki lima atau cafe, tentu saja semua biaya itu aku yang menanggungnya, mulai dari isi bensin, makan, rokok, sampai biaya parkir, bahkan tak jarang juga ia meminta uang untuk keperluan pribadinya kepadaku, dan itu karena Rahman masih juga belum mendapatkan pekerjaan.
Pernah suatu hari, Rahman bersama kedua sepupunya berencana ingin tripple date disebuah cafe didaerah dago atas, dengan bangga Rahman mengajakku, menggandeng tanganku dan memperkenalkannya kepada kedua sepupunya itu. Mereka juga datang membawa kekasihnya masing-masing, menikmati malam minggu romantis di cafe yang terletak di daerah dago atas.
Dengan udara malam yang dingin, diiringi suara merdu sang vocalist yang menyanyikan lagu romantis, membuatku merasakan suasana baru, berada ditengah kerumunan kaum muda mudi yang sedang asik bermalam minggu, sebab hal itu tidak pernah ku rasakan sebelumnya.
Ketika sedang asik menikmati suasana, tiba-tiba Rahman berbisik kepadaku. "Yank, nanti besok kita main kerumah Ima yuk, Ima besok ulang tahun dan mau bikin party di rumahnya", jelas Rahman kepadaku. (Ima adalah salah satu sepupunya yang kini sedang berada ditempat yang sama denganku, hanya saja tempat duduk kami sedikit berjauhan.)
"Boleh yank, jam berapa?” jawabku kemudian.
"Acaranya sih jam 8 malem, tapi yank, aku gak punya uang untuk beli kadonya, kamu yang beliin ya!" Pinta Rahman kepadaku. (Sudah menjadi rahasia umum setiap kencan atau jalan-jalan kemanapun akulah yang selalu mengeluarkan uang.)
"Hu'um, emang mau ngasih kado apa yank?" Tanyaku pada Rahman.
"Terserah kamu aja, yang penting kita harus bawa kado, kalo enggak malu lah, ngapain kita kesana kalo gak bawa apa-apa?" lanjut Rahman kemudian sambil mengaduk-ngaduk minumannya.
********************
Hari esok pun tiba. Sepulang kerja, aku mampir ke sebuah toko untuk membeli hadiah, yaitu sepasang kaos couple untuk dikenakan Ima dan kekasihnya. Dengan hanya mengira-ngira, kupilihkan baju berwarna hitam bertuliskan You’re mine forever berwarna pink, dengan ukuran M untuk pria dan S untuk wanita, yang menurutku sesuai dengan ukuran Ima dan kekasihnya lalu ku bungkuskan dengan box berwarna hitam, dengan pita pink seperti warna kesukaan wanita pada umumnya.
Kami tiba di tempat acara, dan pestanya cukup meriah, kebanyakan dihadiri oleh kaum muda mudi seusia kami. Setelah mengucapkan selamat kepada Ima dan memberikan hadiahnya, lalu Rahman mengajak ku untuk mengambil beberapa makanan dan minuman, dan kami duduk di taman belakang, yang berada tidak jauh dari tempat pesta.
Kami duduk di sebuah ayunan sambil memandangi mereka yang tengah asik berpesta, ada yang berdansa, ada pula yang sedang fokus menikmati makanan yang disajikan, atau hanya sekedar ngobrol-ngobrol sambil memegang gelas minuman di tangannya.
Tiba-tiba Rahman menolehkan wajahku ke arahnya. Dan ia menciumku, Rahman mencium bibirku dengan cepat dan tanpa ragu. Jantungku berdegup kencang tak karuan. Apa itu? pikirku bertanya-tanya bagaiman bisa terjadi, secepat itu? my first kiss? OH MY GOD apa aku bermimpi?
Cuuuup.. lalu Rahman mencium bibirku lagi lebih lama dari yang sebelumnya. Ya kami berciuman disini, tentu saja dengan perasaan was-was, karena takut akan ada yang melihat kami. Dan itu adalah ciuman pertamaku dengan seorang pria, ya walau Rahman bukan pacar pertamaku.
Setelah dia melepaskan pagutannya dibibirku kemudian dia mengucapkan terima kasih, karena telah menemani nya ke pesta saudarinya itu, dan juga karena aku mau bersamanya, meskipun statusnya sampai hari ini masih seorang pengangguran.
********************
Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 22.30 malam, itu artinya sudah waktunya aku untuk pulang. Sebenarnya ayah berniat menjemputku sepulang kerja tadi, tetapi ku bilang tidak perlu, karena aku akan menghadiri pesta ulang tahun dari saudarinya Rahman. Ayah mengizinkan, dengan syarat jam 22.00 sudah sampai di rumah. Akupun segera pamit pada Ima dan yang lainnya dan kamipun segera meninggalkan tempat itu.
Ya Tuhan jantungku berdegup semakin kencang, bagaimana ini? gumamku dalam hati, bukan karena aku mengingat ciuman yang tadi, tetapi apa yang harus ku katakan kepada Ayahku kelak, ketika aku sampai dirumah, karena waktu sudah menunjukan pukul 23.00 malam, itu artinya aku sudah mengingkari janjiku pada ayah.
Aku tiba didepan pintu rumah, lalu mengetuk pintu, dan tidak lama pintu pun dibuka oleh ayah dengan wajah datar dan berkata, "Jam berapa ini? MASUK!"
Kemudian aku pun masuk, dan Rahman pergi meninggalkan halaman rumahku. Aku hanya menunduk saja karena sudah pasti tahu ayahku akan marah karena aku ingkar janji. " Maaf yah tadi dijalan macet", bohongku kepada ayah.
"Jangan kamu kira ayah bisa kamu bodohi PUTERI, ayah memang sudah tua, tapi jangan kamu lupa, ayah juga pernah muda, ayah seperti ini karena mengkhawatirkanmu, kamu itu seorang perempuan, tidak baik pulang malam seperti ini, dimana tanggung jawab kamu?? apa kamu senang bila dipandang buruk oleh orang lain?? Ayah ini orang tuamu, Tanggung jawab ayah menjagamu sampai kamu menemukan Imammu, dan menyerahkan tanggung jawab ayah pada suamimu, karena tidak ada orang tua yang senang melihat anaknya dipandang rendah oleh orang lain, apalagi kamu seorang perempuan yang harusnya bisa menjaga harkat dan martabat kamu", ucap ayah dengan penuh khawatir kepadaku.
Ayah tidak pernah begini sebelumnya, beliau menjadi lebih over dalam menjagaku, padahal sekarang aku sudah punya Rahman yang siap menjagaku. Aku tahu ayah pasti kecewa, " Maaf yah, teteh janji gak akan ngulangi lagi, maaf karena sudah bikin ayah kecewa", kemudian aku pun berlari menuju kamarku.
Didalam kamar aku hanya terisak, pertama kalinya ayah membentakku, hal itu benar-benar membuatku takut, tapi aku juga mengerti perasaan beliau. Aku tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya, maka wajar bila beliau khawatir, maaf ayah aku sedah mengecewakanmu dan membuatmu khawatir lagi.
Entah mengapa tapi justru rasa bahagia malam ini hilang begitu saja dan berganti rasa bersalah yang begitu besar kepada ayahku. Ku teringat kembali kata-kata Wulan kala itu, seharusnya aku bersyukur karena aku memiliki ayah hebat yang begitu peduli kepadaku, tapi disisi lain aku merasa risih karena perlakuannya kepadaku seperti seorang ayah kepada anak gadisnya, padahal usiaku sudah hampir menginjak 19 tahun.
Hari berganti hari lagi, dan Rahman semakin menujukan sifat aslinya, ia seolah memanfaatkan aku untuk memenuhi segala inginnya, meminta dibelikannya ini itu tanpa memikirkan apakah aku mempunyai uang atau tidak.
Karena ia tahu, bahwa aku mencintainya sehingga ia berpikir bila apapun keinginannya pasti akan aku turuti. Namun ada hal yang membuatku kesal adalah, ketika Rahman yang mulai sering ingkar janji, berkali-kali ia berdusta, sampai suatu ketika aku sudah tidak bisa memaafkannya lagi, aku meninggalkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments