1871
Dua puluh enam tahun sebelumnya.
Pagi itu, Rossea membungkuk dan tangannya memetik strawberi segar. Kemudian ditaruhnya strawberi itu ke keranjang bambu. Sudah banyak strawberi yang sudah ia petik bersama Suyati, salah satu buruh pribumi yang dipekerjakan orang tuanya.
Gadis berambut pirang yang dibiarkan tergerai itu nampak riang di mata Suyati yang memantaunya sesekali di tengah kejeliannya memetik strawberi.
Gaun panjang merah muda yang dipakainya tak membuatnya enggan untuk berkutat langsung di perkebunan membantu orang yang sering dipanggilnya dengan sebutan Bi Yati itu.
“Non Rossea, sudah to, ojo kecapean,” tegur Suyati dengan suara lembut pada anak majikannya itu.
“Ndak apa-apa, Bi Yati,” tanggap Rossea sambil menyeringai melempar senyum manisnya. “Lagian sudah biasa ‘kan kalau ke kebun aku ngrewangi, Bibi?”
Sementara dari jauh kereta kuda terdengar gemerincing berpadu dengan suara tapak kaki kuda. Semua pekerja sudah tahu Raden Mas Bayu Anggoro ketika matahari sedikit naik pasti datang. Sudah jadi rutinitas beliau sebagai pemilik kebun strawberi itu.
“Ndok, itu romomu sdh datang,” seru Bi Yati. Sementara menghentikan pekerjaannya untuk menyambut kedatangan sang majikan.
Rossea juga buru-buru membersihkan tangannya. Menghampiri pengasuhnya. Ia menyerahkan keranjang hasil petikan strawberinya pada Bi Yati. Lalu seperti biasa, gadis itu bersiap menyambut kedatangan romonya.
Kereta kuda yang ditumpangi Raden Bayu berhenti tepat di hadapan Rossea. Setiap pagi beliau selalu mendapat sambutan senyuman manis dari putrinya.
“Goedemorgen, mijn dochter,” sapa Raden Bayu ketika menuruni kereta kudanya. Wajahnya sangat cerah. Begitu enak dipandang.
“Goedemorgen, Romo,” balas Rossea sambil mencium tangan romonya. Tangan hangat sang romo selalu dinantikannya. Tangan seorang yang amat dikagumi dan dicintai dirinya juga rakyatnya.
Kemudian Raden Bayu menyodorkan siku tangan pada anak kesayangannya. Rossea pun dengan sumringah menyambut. Gadis berumur 24 tahun itu mendekap mesra tangan ayahanda. Mereka berjalan beriringan menyusuri sepanjang perkebunan strawberi. Sesekali mereka tertawa kecil di sela-sela obrolan ringan.
Rossea menghirup dalam-dalam udara segar pegunungan. Putri keturunan Belanda itu sangat senang, ingin bisa seperti ini setiap saat bersama ayah.
“Ndok, Romo mau tanya satu hal boleh?” tanya Raden Bayu, menghentikan langkahnya di tengah pematang kebun. Sang adipati lalu memandang putri semata wayangnya.
“Mau tanya apa, Romo?” sahut Rossea, membalikkan wajahnya menghadap wajah sang ayah yang penuh wibawa itu. Matanya berbinar.
“Kau sudah tiga tahun tinggal di sini, apa sudah ada pemuda Madiun yang membuatmu jatuh hati?” tanya Raden Bayu. Disentuhnya dengan lembut dagu Rossea.
Rossea tersenyum lalu cepat-cepat menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah. Dia mengalihkan pandangannya ke luasnya perkebunan yang terbentang di hadapannya.
“Aduh ... aduh ... anak Romo sepertinya sudah mulai jatuh cinta ini,” selidik Raden Bayu melihat tingkah putrinya.
“Apa Romo setuju kalau aku jatuh cinta dengan orang pribumi?” tanya Rossea dengan nada penuh ragu.
Raden Bayu tersenyum.
“Putriku, apa kau lupa Romomu ini orang pribumi?” tandas Raden Bayu. Suaranya lembut namun berkharisma. Beliau kemudian menarik lembut supaya Rossea berhadapan dengannya. Menatap wajah putrinya dalam-dalam. Dari sorot matanya meyakinkan kalau sang ayah tak mempermasalahkan ia jatuh cinta dengan orang pribumi.
“Eling, Romomu iki wong jowo asli.”
Rossea tersenyum lebar segera memeluk sang romo.
“Tenang saja, Romo. Aku tidak akan mengecewakan Romo.”
“Iyo ... iyo ...,” gumam Raden Bayu. Tangannya membelai lembut kepangan rambut panjang Rossea.
Angin di sekeliling seolah mendukung suasana. Ia bertiup lembut dengan sejuknya, seakan menambah syahdu romantisme ayah dan anak itu.
...*****...
Derap kaki kuda yang berlari di jalan tanah yang berpasir. Akibatnya, menguapkan debu-debu berterbangan di setiap kaki-kaki kuda menapaki tanah yang kekeringan. Terdengar bersahutan antara suara sepatu kuda dengan pemacunya yang mengarahkan kudanya berlari. Tiga orang memacu kuda-kudanya dengan cepat. Mereka tengah memburu waktu menuju timur.
“Kita harus cepat, sebentar lagi sampai ke kadipaten Madiun. Pesan dari Sri Sultan ini harus segera tersampaikan,” seru pemimpin yang berkendara paling depan.
Sosoknya terlihat begitu gagah. Tangan kekarnya basah karena keringat. Sehingga nampak berkilat-kilat tertimpa cahaya matahari.
Tak beberapa lama, mereka kompak menghentikan laju kudanya ketika sampai di gerbang kadipaten. Di sana mereka disambut dua penjaga bertubuh kekar yang sudah bersiap mengeluarkan pedangnya.
“Tenang ... tenang ... ki sanak,” ucap pria itu. Ia lompat, turun dari punggung kuda. “Kami bukan orang jahat.”
“Siapa kau! Ada kepentingan apa kau datang ke mari?” tanya salah satu prajurit dengan tegas.
“Aku Sura Mandala dan ini anak buahku. Kami diutus kemari oleh paduka Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk menyampaikan sebuah surat pada Raden Bayu,” jelas laki-laki yang bernama Sura Mandala.
Dua penjaga itu diam. Matanya menyoroti penampilan Sura Mandala. Penampilannya sangat meyakinkan dengan pakaiannya yang rapi memakai baju beskap yang dipadu dengan kain batik parang kusumo sebagai bawahan yang membalut celana hitam sampai betis. Penjaga yakin orang ini bukan orang biasa.
“Baik, masuklah. Aku antar kau menemui Gusti Adipati,” jawab salah satu penjaga yang memasukkan kembali pedangnya. Namun ia tetap waspada barangkali pria asal Yogyakarta ini mata-mata Belanda. Sebab telah terkenal bahwa Kesultanan Yogyakarta sekutu Belanda. Mata Sura Mandala melirik, telapak tangan prajurit itu masih memegangi gagang pedang. Sikap siap siaga seorang prajurit.
Sayangnya, dua anak buah Sura Mandala tidak diperbolehkan masuk. Mereka tetap dijaga oleh dua prajurit lainnya di pintu gerbang. Bisa dibayangkan betapa ketat penjagaan Kadipaten Madiun. Wajar saja Raden Bayu melakukan ini semua karena telah lama beliau bersitegang dengan Belanda. Menurut kabar yang didengar dari telik sandi Sura Mandala, bahwa Raden Bayu telah lancang menikahi putri dari salah satu pejabat gubernur jendral Hindia Belanda dan membawa pulang noni Belanda itu ke Madiun. Raden Bayu memang salah satu orang yang sangat diburu Belanda.
Tanpa perlu waktu lama untuk berjalan, mereka sudah sampai di depan kedaton kediaman sang adipati. Penjaga yang mengantar Sura Mandala membisikkan ke telinga prajurit lainnya.
“Sampaikan ke gusti adipati ada tamu dari Yogyakarta untuk menyampaikan sebuah surat dari rajanya.”
Begitulah sayup-sayup terdengar sampai ke telinga Sura Mandala.
“Kalau begitu dia tak usah masuk. Biar dititipkan saja kepadaku, nanti aku sampaikan,” bisik prajurit penjaga kedaton pada temannya.
“Tidak. Surat ini harus aku sendiri yang menyampaikannya,” cetus Sura Mandala menjawab bisikan prajurit itu.
“Ekh, kau menguping ya!”
Sura Mandala tersenyum jengah sambil melipat dua tangannya ke depan dada.
“Ekh kau! Jangan sembrono ya!” bentak prajurit itu. Tangannya hendak menarik pedang dari warangkanya. Namun beruntung Raden Bayu keluar dan mencegahnya.
“Hentikan prajuritku!” cegah Raden Bayu begitu membuka pintu. Beliau berjalan mendekati mereka. “Jangan prajuritku! Kita harus menghormati tamu. Lagian dia datang dengan baik-baik. Seorang penyampai amanat tidak boleh kita sambut dengan kasar. Apalagi dia adalah orang jawa juga, sama seperti kita. Ayo masuk, anak muda! Kita bicara di dalam.”
“Baik, Gusti.”
Sura Mandala pun mengikuti Raden Bayu masuk ke dalam keratonnya. Sedangkan, dua prajurit tadi tertunduk malu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Nany Manessa
jd ngebayangin drama kolosal😀
2021-01-16
0
Sari Istiqomah
Assalamualaikum semangat berkarya thor
Aku sudah like ya, mampir yuk keceritaku
Dia Untukku. Terimah Kasih.
2020-09-29
0
Calvien Arby
wowwww
2020-09-13
0