Bab 1
"Jadi, apa yang sebenarnya Kakek inginkan dariku?" Zayden duduk tegap di sofa ruang kerja kakeknya, Abraham Levano.
Cahaya lampu kristal di atas mereka menyinari ruangan dengan kemegahan yang terasa dingin. Suara percakapan terdengar berat, seperti selalu ada yang tersimpan di antara tiap kata yang diucapkan.
Abraham menatap cucunya dengan tatapan tajam, seakan menilai setiap gerakan tubuhnya.
"Aku ingin kau mencari seorang gadis," katanya perlahan, mengeluarkan amplop tebal dari laci mejanya. "Namanya Elara. Aku baru saja mendapatkan kabar bahwa dia bekerja sebagai wanita penghibur di klub-klub malam." Kata-katanya terhenti, memberikan waktu bagi Zayden untuk meresapi informasi itu.
Zayden mengangkat alis, tatapan matanya jelas menunjukkan ketidaknyamanan. "Apa hubungannya aku dengan gadis ini? Pekerjaanku sudah cukup banyak tanpa harus mencari seseorang di klub malam, Kakek."
Abraham mendengkus pelan, menggelengkan kepala dengan sabar. "Kau tak mengerti. Ini lebih dari sekadar permintaan biasa. Keluarga kita—perusahaan kita—berhutang budi pada keluarga Elara. Kakeknya adalah orang yang menolong bisnis kita di masa sulit, dan aku berjanji akan menjaga keturunannya." Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya menjadi lebih dalam, lebih serius. "Elara dalam bahaya. Persaingan bisnis saat ini semakin kejam, kau tahu. Dia bisa menjadi sasaran empuk untuk disingkirkan jika tidak ada yang melindunginya."
"Lalu, jika aku menemukannya. Dibawa ke sini. Begitu?"
"Tidak. Kau harus menikah dengannya."
Zayden memijit pelipisnya, merasa penjelasan kakeknya hanya membuat segalanya lebih rumit.
"Persaingan bisnis kejam? Ini bukan urusanku, Kek. Lagipula, aku sudah menikah. Laura dan aku masih... meskipun hubungan kami tak sempurna, kami tetap terikat dalam pernikahan." Nadanya dingin, seakan mencoba menegaskan batas.
Abraham memutar bola matanya, seolah menunggu reaksi semacam itu. "Justru itulah, Zayden. Kau menikah dengan Laura, tapi kau dan aku sama-sama tahu ada sesuatu yang tak beres di sana." Suaranya merendah, nyaris berbisik, membuat suasana semakin tegang. "Apalagi dengan isu bahwa Laura sedang hamil. Kau ingat dokter mengatakan apa padamu? Kau tak bisa punya anak, Zayden. Bayi yang dikandung Laura... bukan darahmu."
Zayden tersentak, meski ia sudah menduga pembicaraan ini akan ke arah itu. Kakeknya bukan orang yang suka berbasa-basi, terlebih ketika ada masalah yang menyentuh martabat keluarga.
"Aku tak peduli tentang itu, Kakek. Perkawinan ini adalah komitmen, meski... meski aku tahu ada yang salah. Aku tetap bertanggung jawab."
"Kau bisa bertanggung jawab, tapi jangan biarkan dirimu terjebak lebih dalam lagi."
Abraham bersandar, tangannya bergerak perlahan membuka amplop di mejanya dan menyerahkan foto Elara. "Menikahlah dengan Elara. Ini bukan hanya soal menjaga citra keluarga kita, tapi juga membuktikan pada dunia bahwa Laura berbohong. Jika kau menikahi Elara, terbukti kau tidak mendapatkan anak darinya, itu akan menjadi bukti sahih bahwa kau mandul dan anak yang dikandung Laura bukanlah keturunanmu."
Zayden menatap foto itu, memperhatikan wajah Elara yang tampak rapuh di balik keremangan klub malam tempat dia bekerja. Wajahnya cantik, tapi ada sesuatu di matanya—kesedihan yang tak bisa disembunyikan, atau mungkin keputusasaan.
"Jadi Kakek ingin aku menikahi Elara hanya demi menghancurkan reputasi Laura?" Zayden mendesah berat, tidak percaya ini benar-benar terjadi. "Ini... bukan hanya bisnis, Kek. Ini hidupku."
Abraham menggeleng pelan, wajahnya masih tegas. "Zayden, jangan berpikir ini hanya tentang Laura. Ini tentang melindungi gadis itu—Elara. Dunia bisnis ini kejam. Kau tahu bagaimana persaingan bisa menggilas siapa saja yang lemah. Jika kau tidak melindunginya, dia akan terseret lebih dalam, dan mungkin akan hancur sebelum sempat mendapatkan kesempatan untuk hidup yang lebih baik."
Zayden terdiam. Di satu sisi, dia tidak ingin terlibat dalam kehidupan orang lain lagi. Namun, di sisi lain, tanggung jawab keluarganya dan masa depan Elara membuat situasinya tidak sesederhana itu.
"Dan jika aku menolak?" Zayden menatap lurus ke mata kakeknya, mencoba mencari celah untuk keluar dari situasi ini.
Abraham mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya rendah dan tegas. "Kau tidak bisa menolak, Zayden. Ini adalah warisan keluarga. Kakek Elara menyelamatkan kita di masa lalu, dan sekarang giliran kita untuk membalasnya. Lagipula," dia tersenyum tipis, "kau sudah tahu bahwa hubunganmu dengan Laura tidak sehat. Jadi apa salahnya menambah satu istri lagi? Bukankah itu juga solusi untuk semua masalah ini?"
Zayden menarik napas panjang, memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan pikiran yang berkecamuk. Dia tahu, tidak ada gunanya berdebat lebih jauh. Kakeknya adalah pria yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya, dan Zayden terlalu menghargai keluarga untuk membiarkan janji lama itu dilanggar.
"Baik," Zayden akhirnya berkata, suaranya penuh ketidakrelaan. "Aku akan mencari Elara. Tapi hanya karena kau memintaku melakukannya. Jangan berharap lebih dariku, Kek."
Abraham tersenyum puas, meski matanya tetap tajam. "Itu yang aku harapkan darimu, cucuku. Segera temukan dia, sebelum orang lain melakukannya."
Zayden pergi dari kediaman sang Kakek. Sambil melangkah menuju mobilnya, dia menghubungi salah satu sopirnya -- Pak Sobri -- untuk menemuinya di club' yang sudah ia tulis pada pesan singkat, sesuai petunjuk yang Kakeknya berikan.
Derrrt...!
Derrrt...!
"Iya Tuan Noval?" Zayden menerima panggilan dari rekan bisnisnya.
Suasana hening, Zayden sedang menyimak pembicaraan dari Tuan Noval.
"Club' Hot Night? Baiklah, saya segera ke sana," sahut Zayden merespons apa yang Tuan Noval sampaikan.
Zayden melajukan mobilnya dengan tenang, meski dalam pikirannya berkecamuk. Dia masih tidak bisa jika harus mengkhianati Laura, meski benar yang kakeknya katakan. Secara tidak langsung istrinya sudah mengkhianati duluan.
Saking menjaga kepercayaan Laura, Zayden tidak pernah menyetujui jika rekan bisnis atau kliennya meminta pertemuan di tempat hiburan seperti club' malam. Namun, malam ini karena mendengar tempat Club Ho Night, Zayden setuju, tempat itu adalah yang dia tuju atas perintah kakeknya.
"Pak Sobri, cari orang ini. Saat aku sampai, aku ingin orang itu tetep di sana." Zayden mengirim pesan kembali pada Pak Sobri.
***
Setelah sampai pada tempat yang dituju, Zayden memberikan kunci mobilnya pada petugas parkir, untuk memarkir di tempatnya. Di sana sudah ada Pak Sobri yang menyambut di depan pintu club'.
"Bagaimana Pak, sudah dicari?" tanya Zayden sambil melangkah memasuki gedung remang-remang tersebut.
"Sudah Tuan, tapi...." Pak Sobri sedikit bingung menyampaikan apa yang dia lihat.
"Katakan," pinta Zayden dengan labhkah yang masih terjaga tegap dan percaya diri.
"Dia wanita penghibur, Tuan. Aku lihat dia..."
"Cukup! Memang itu yang aku cari."
Pak Sobri cukup terkejut jawaban bos-nya. Setau dirinya, Zayden tidak akan main wanita. Laura adalah wanita pilihannya yang dinikahi dengan mewah.
"Di mana dia?" tanya Zayden lagi.
"Em ... anu Tuan. Sedang sama, pria." Pak Sobri menjawab lirih.
Zayden tak merespons, dia malah membayangkan betapa jijiknya gadis itu meladeni nafsu bejat para hidung belang.
Bersambung...
Adegan sebelum malam itu Elara pergi ke club' untuk menjadi wanita penghibur.
***
Di rumah kecil yang terletak di sudut gang sempit, Bu Nira yang berusia 40 tahun sedang duduk di depan tumpukan pakaian yang harus disetrika. Tangannya yang kasar dan kering mulai terampil menggerakkan setrika, tetapi pikirannya jauh melayang memikirkan nasib keluarganya. Di sudut lain ruangan, Zeni, anak bungsunya yang baru berusia 5 tahun, terbaring lemas di kasur tipis. Batuk-batuk kecil sesekali terdengar dari tubuh mungilnya yang demam.
Sementara itu, Kia Laila, anak kedua yang duduk di kelas 7 SMP, tengah berusaha membersihkan rumah seadanya. Sesekali Kia berhenti untuk mengambil napas panjang, kelelahan setelah baru saja pulang dari sekolah dan mengambil titipan barang dagangan tetangga dari warung-warung.
“Kia, coba kamu istirahat dulu, Nak. Ibu bisa selesaikan sisanya,” ujar Bu Nira lembut namun wajahnya tetap memancarkan kegelisahan.
Kia tersenyum tipis, “Tidak apa-apa, Bu. Aku sudah terbiasa.”
Meski begitu, tak satu pun dari mereka bisa mengabaikan kenyataan pahit yang menanti. Zeni membutuhkan obat, dan mereka tak memiliki cukup uang untuk membelinya.
Tak lama kemudian, pintu depan rumah terdengar berderit ketika Elara Selina, putri sulung Bu Nira, masuk dengan langkah cepat. Gadis 17 tahun itu baru saja pulang dari sekolah, meski hari sudah hampir senja. Rambut hitamnya tergerai, wajahnya tampak letih, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang seakan menyimpan rahasia.
“Elara, kenapa pulang terlambat lagi? Adikmu sedang sakit dan ibu sangat membutuhkan bantuanmu di rumah. Kamu tahu kan, pekerjaan ibu sebagai buruh cuci dan setrika ini tak bisa ditinggalkan begitu saja,” suara Bu Nira terdengar lembut namun penuh harap.
Elara menatap ibunya, menyadari kekhawatiran yang terpancar dari wanita yang selama ini berjuang keras untuk keluarganya. Dia menghela napas panjang, mengeluarkan selembar uang Rp100.000 dari saku seragamnya dan menyodorkannya kepada Bu Nira.
“Ini, Bu. Beli obat untuk Zeni,” ucap Elara singkat.
Bu Nira tertegun. Matanya melebar, menatap uang di tangannya dengan ragu. “Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini, Nak?” tanya Bu Nira dengan nada cemas, tak mampu menyembunyikan ketakutannya.
"Kamu baru pulang sekolah... jangan-jangan..."
Elara menggeleng cepat, “Bu, jangan berpikir yang tidak-tidak. Ini hasil kerja keras Elara. Tolong terima saja, ya. Zeni butuh obat.”
Dengan tangan gemetar, Bu Nira menerima uang itu, meski hatinya masih diliputi kekhawatiran. Bagaimana mungkin anaknya yang masih duduk di bangku SMA bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Namun, di balik keraguan itu, ada perasaan lega. Setidaknya, malam ini ia bisa membeli obat untuk anaknya, dan sedikit makanan untuk mereka bertahan.
Namun, meski dengan uang di tangan, Bu Nira tak bisa menyingkirkan kekhawatiran di hatinya. Elara semakin sering pulang terlambat dan ada bisik-bisik dari tetangga yang mulai menyinggung soal kelakuan putri sulungnya. Namun, Bu Nira menolak membiarkan pikiran negatif menguasainya. "Elara pasti punya alasan," gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
***
Elara melangkah keluar rumah, menutup pintu dengan hati-hati. Udara sore terasa lembap dan langit mulai meredup, menandakan malam yang segera tiba. Ia berjalan menyusuri gang kecil yang sepi menuju jalan raya, tempat biasanya ia menunggu angkot untuk pergi bekerja.
Sepanjang jalan, Elara merasa tatapan-tatapan tajam dari para tetangga yang berdiri di depan rumah mereka. Bisik-bisik terdengar, meskipun pelan, namun cukup jelas di telinganya.
"Itu Elara, ya? Pulang larut malam terus sekarang. Pasti ada yang nggak beres."
“Dia nggak kayak ibunya, anak itu... terlihat berbeda. Jangan-jangan dia kerja... yang aneh-aneh?”
Elara mendengarnya. Setiap kata, setiap tuduhan yang dilontarkan tanpa mereka sadari betapa sakitnya hati Elara mendengarnya. Tetapi, dia tak peduli. Semua ini dia lakukan bukan untuk mereka, bukan untuk orang-orang yang suka menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semua ini dia lakukan demi ibunya, agar martabat Bu Nira tak lagi diinjak-injak.
Tiba di tepi jalan raya, Elara memberhentikan angkot yang akan membawanya ke tujuan malam ini—tempat di mana ia bekerja sebagai wanita penghibur. Pekerjaan yang dia lakukan dengan hati terpaksa, namun itu satu-satunya cara yang dia lihat untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Angkot melaju pelan, meninggalkan bisik-bisik dan tatapan sinis di belakangnya. Di dalam angkot, Elara menatap kosong ke luar jendela. Di antara bisingnya kendaraan dan lampu-lampu jalan yang mulai menyala, pikirannya dipenuhi satu hal: masa depan keluarganya.
“Aku akan lakukan apa pun untuk ibu,” gumamnya pelan, sambil mengepalkan tangan. “Apa pun.”
***
Langit malam mulai menelan kota, sementara angkot yang membawa Elara semakin mendekati tujuannya. Suara kendaraan yang berlalu lalang menjadi latar belakang bagi pikirannya yang terus berputar. Gedung-gedung tinggi menjulang di kejauhan, kontras dengan kesederhanaan hidup yang dia jalani. Di sisi jalan, lampu-lampu neon klub malam mulai menyala, menunjukkan dunia yang Elara kenal baik, namun tak pernah ia bayangkan akan menjadi bagian darinya.
Klub malam itu selalu riuh, dipenuhi orang-orang dengan kehidupan yang berbeda, jauh dari apa yang Elara alami sehari-hari. Begitu kakinya menginjakkan lantai klub, dia mengenakan topeng yang sudah biasa ia kenakan—seorang gadis yang penuh percaya diri, siap melayani para pengunjung yang datang.
Elara tahu apa yang dia lakukan salah, tapi di balik setiap senyum palsu yang ia berikan, selalu ada bayangan wajah ibunya dan adik-adiknya. Setiap langkah yang ia ambil dalam klub itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk keluarga yang ia cintai.
Malam itu, di tengah hingar-bingar musik dan percakapan yang memabukkan, seorang pria duduk di salah satu sudut ruangan. Tatapan pria itu berbeda dari pengunjung lainnya. Dia tidak mabuk atau tampak terpesona oleh gemerlap malam. Pandangan matanya tajam dan penuh perhitungan, seolah menilai setiap orang di sekitarnya.
Namanya Arzayden Levano, seorang CEO muda berusia 34 tahun yang tengah dalam perjalanan bisnis, namun terseret oleh rekannya untuk datang ke tempat yang tak biasa ia kunjungi.
Arzayden melihat Elara, yang sedang melayani pengunjung di meja lain. Ada sesuatu pada gadis itu yang menarik perhatiannya—bukan kecantikannya, bukan pakaian yang dikenakannya, melainkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Sorot mata Elara mengisyaratkan kepedihan, keteguhan, dan keputusasaan yang berusaha ia sembunyikan.
"Ternyata tidak seperti yang aku lihat di foto," gumam Zayden.
Setelah beberapa lama mengamati, Arzayden memutuskan untuk mendekati meja tempat Elara berdiri. “Kamu tidak pantas berada di tempat seperti ini,” ucapnya dengan suara rendah namun penuh keyakinan.
Elara terkejut mendengar kalimat itu, namun ia tetap menjaga senyum di wajahnya.
"Semua orang punya alasan mereka sendiri untuk ada di sini, Tuan," balasnya sambil menghindari tatapan tajam pria itu.
Dia sudah terbiasa dengan pria-pria yang mencoba mendekatinya, tapi pria ini berbeda. Ada sesuatu tentang cara dia berbicara, cara dia menatap, yang membuat Elara merasa gelisah.
Arzayden tidak menurunkan pandangannya. "Apa pun alasanmu, kamu layak mendapatkan lebih dari ini," katanya pelan, namun penuh tekanan.
Elara merasa tersentuh, meskipun dia berusaha untuk tidak menunjukkan itu. Kata-kata pria itu seakan menyentuh bagian terdalam dari hatinya, bagian yang selama ini dia tutupi dengan rapat. Tapi dia menolak membiarkan dirinya terbawa suasana.
"Saya di sini hanya untuk bekerja, Tuan. Jika Anda tidak ingin memesan sesuatu, saya harus melanjutkan pekerjaan saya," jawabnya dengan nada sopan namun tegas.
Namun, Arzayden tidak mundur. “Aku akan langsung ke intinya. Aku ingin kamu menikah denganku.”
Elara terpana. Matanya membulat, dan untuk sesaat, dia merasa dunia di sekelilingnya berhenti bergerak. Pernyataan itu seperti petir yang menyambar di tengah malam yang tenang. "Maaf? Saya rasa Anda bercanda, Tuan," balasnya dengan suara yang sedikit bergetar, berusaha untuk tetap tenang.
Arzayden tidak menunjukkan tanda-tanda bercanda. Dia tetap menatap Elara dengan keseriusan yang mendalam. "Aku serius. Aku butuh seorang istri. Dan kamu, aku yakin, punya alasan untuk menerima tawaran ini."
Bersambung....
Elara tidak bisa mempercayai apa yang dia dengar. Di dalam hatinya, ada keraguan dan ketakutan yang mulai merayap. Akan tetapi bersamaan dengan itu, ada pula pikiran tentang kesempatan—sebuah jalan keluar dari kehidupan yang selama ini dia jalani. Jika dia menerima tawaran ini, dia bisa membahagiakan ibunya, memberikan kehidupan yang lebih baik untuk adik-adiknya. Namun, apakah ini benar-benar jalan yang harus dia ambil? Soalnya, pria di hadapannya ini terlihat seperti orang tajir.
“Aku tidak tahu siapa kamu, Tuan, dan aku tidak mengerti kenapa kamu menawarkan ini padaku. Tapi pernikahan bukan hal yang bisa diputuskan begitu saja dalam satu malam,” ucap Elara, mencoba menjaga kewarasan di tengah kebingungan yang melanda.
Arzayden menghela napas panjang. “Aku adalah Arzayden Levano, CEO dari Levano Corp. Aku tidak punya waktu untuk permainan panjang, dan aku tidak mencari hubungan yang didasarkan pada cinta. Yang aku tawarkan padamu adalah kesempatan untuk mengubah hidupmu dan mungkin, hidup keluargamu.”
Kata-kata itu menyentuh titik paling rapuh di hati Elara. Arzayden tidak berbicara tentang cinta atau romansa. Dia berbicara tentang kesempatan—sesuatu yang Elara butuhkan lebih dari apa pun saat ini. Namun, hatinya masih dipenuhi keraguan.
“Mengapa aku? Dari semua wanita yang ada di sini, mengapa harus aku?” tanya Elara dengan suara yang hampir berbisik.
Arzayden menatapnya dalam-dalam. “Karena aku melihat sesuatu dalam dirimu yang berbeda. Kau misterius. Aku suka sesuatu yang misterius. Dan aku yakin, dalam keadaan terburuk sekalipun, kau tidak akan lari dari tanggung jawab. Itu yang kubutuhkan.”
Elara terdiam. Tawaran itu menggema di kepalanya, memutar kembali seluruh kehidupannya selama ini—perjuangan ibunya, sakitnya Zeni, dan bisikan-bisikan tajam tetangga yang selalu memandang rendah mereka. Ini mungkin jalan keluar yang selama ini dia cari.
Dengan napas yang bergetar, Elara akhirnya berkata, “Baiklah. Aku setuju.”
"Eh tapi, Tuan masih single kan?" lanjut Elara.
"Jika aku sudah punya istri?" Zayden balik bertanya, sembari mengetes seberapa percaya diri gadis di hadapannya ini.
Terlihat Elara berpikir sejenak, "Tak masalah. Jujur aja, aku lebih membutuhkan uangmu daripada dirimu, Tuan. Aku tak akan menggangu kebersamaan Tuan dengan istri. Bagaimana?"
"Em ... Perjanjian yang bagus." Arzayden manggut-manggut, dia baru terpikirkan betapa mudahnya membuat perjanjian dengan seorang anak kecil. “Aku ingin kau datang ke kantorku besok,” kata Arzayden tanpa basa-basi, suaranya pelan namun penuh wibawa. Tatapannya menyelidik, seolah menelusuri tiap inci keberadaan Elara.
Elara menelan ludah, menegakkan posturnya, mencoba meredam gejolak dalam hatinya. “Kantor, Tuan?” tanyanya, walau sebenarnya sudah mengerti maksudnya.
“Ya, kapan pun kau siap. Tak perlu terburu-buru. Ini nomor ponselku.” Arzayden mengeluarkan kartu namanya, kemudian menyodorkannya pada Elara. Kartu itu sederhana, namun elegan, mencerminkan status pria yang berdiri di hadapannya.
Tangan Elara gemetar sedikit saat menerima kartu itu. Nomor telepon di sana begitu nyata, seolah menjadi tiket menuju dunia yang tak pernah dia bayangkan akan dia masuki. Dunia pria seperti Arzayden Levano, penuh dengan kekayaan, kekuasaan, dan misteri.
“Aku akan menunggu teleponmu,” tambah Arzayden sebelum beranjak pergi, meninggalkan Elara yang masih memegang kartu itu dengan tatapan kosong, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Ketika jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari, Elara akhirnya pulang. Ia diantar oleh sopir pribadi Arzayden yang sudah menunggu di luar klub. Sopir itu sengaja disediakan Arzayden, supaya meyakinkan Elara bahwa dia serius.
Kendaraan mewah yang mengantarnya pulang terasa begitu asing bagi Elara, membuatnya merasa seperti orang luar di dalam lingkup kehidupan yang terlalu jauh dari kesehariannya. Sepanjang perjalanan, ia hanya bisa memandangi kota yang mulai sepi, pikirannya melayang antara tawaran Arzayden dan realitas yang sedang ia jalani.
Setibanya di rumah, Elara bisa merasakan tatapan tajam dari beberapa pria paruh baya yang sedang meronda di pos jaga tak jauh dari rumahnya. Mereka tak bersuara, namun pandangan mereka cukup menyampaikan apa yang tengah mereka pikirkan. Wajah-wajah tua yang menghakimi, mempertanyakan kehidupan seorang perempuan muda yang pulang larut malam dengan mobil mewah. Elara hanya bisa berjalan cepat, tak ingin mengundang lebih banyak perhatian.
“Perempuan macam apa itu,” gumam salah satu bapak dengan nada sinis.
“Pulang malam, diantar mobil mewah pula. Apa yang dilakukannya?” kata yang lain, menambahkan spekulasi yang memuakkan.
Elara tidak mengindahkan mereka, namun hatinya mencelos. Dia tahu, hidupnya—dan keluarganya—telah menjadi topik perbincangan di kalangan tetangga. Satu langkah salah saja, dan mereka akan semakin mengasihani atau bahkan mencemooh keluarganya.
Ketika Elara tiba di depan pintu rumah, ia menyadari bahwa pintu masih belum dikunci. Itu hanya berarti satu hal: ibunya belum tidur, masih menunggu kepulangannya, seperti malam-malam sebelumnya.
"Bu, aku sudah pulang," bisik Elara pelan saat memasuki rumah.
Di ruang tamu yang sederhana, Bu Nira duduk di sofa tua dengan selimut tipis menutupi tubuhnya. Matanya sembap, menandakan bahwa ia telah terjaga sepanjang malam. Elara merasa hatinya teriris melihat sosok wanita tua itu, yang meskipun lelah dan tak berdaya, selalu menunggunya pulang dengan cemas.
"Kenapa belum tidur, Bu? Aku kan sudah bilang, aku pasti pulang. Jangan terlalu mengkhawatirkan aku seperti ini," kata Elara dengan suara lembut, mencoba menghibur ibunya.
Bu Nira tersenyum kecil, namun senyuman itu tak bisa menutupi kekhawatirannya.
"Bagaimana bisa Ibu tidur jika anak perempuanku belum ada di rumah?" jawabnya dengan suara yang terdengar lebih tua dari usianya.
Elara merasa bersalah, namun tak ada yang bisa ia lakukan. Kehidupan yang mereka jalani sudah cukup berat tanpa beban kekhawatiran ibunya setiap malam. Tapi Bu Nira selalu tak bisa tidur, selalu khawatir, meskipun Elara sudah berkali-kali meyakinkan bahwa ia baik-baik saja.
**
Keesokan paginya, ketika matahari baru saja terbit dan Elara tengah bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, ia tahu waktunya telah tiba untuk berbicara dengan ibunya. Dia tidak bisa menunda lagi—keputusan yang ia ambil semalam harus segera disampaikan.
“Bu, aku mau bicara sebentar,” kata Elara saat ia duduk di meja makan sederhana mereka. Bu Nira yang sedang sibuk di dapur menghentikan pekerjaannya dan berbalik menatap Elara dengan penuh perhatian.
“Ada apa, Ra? Kamu kelihatan serius sekali,” tanya Bu Nira sambil melangkah ke meja makan.
Elara menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Bu, aku... aku memutuskan untuk menikah.”
Kata-kata itu menggantung di udara, begitu berat dan menggema di ruangan kecil mereka. Bu Nira terdiam, ekspresi terkejut menyelimuti wajahnya. Matanya membelalak, kemudian berubah menjadi sorot kemarahan yang tak tertahan.
“Apa? Menikah? Dengan siapa? Kamu bicara apa, Ra?!” seru Bu Nira, suaranya meninggi, membuat Elara sedikit tersentak.
Elara mencoba tetap tenang. “Aku akan menikah dengan seseorang yang bisa mengubah hidup kita, Bu. Aku tahu ini terdengar aneh, tapi... aku melakukannya untuk kita. Untuk keluarga ini.”
Bu Nira menggelengkan kepala dengan keras, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Mengubah hidup kita? Kamu pikir dengan menikah, hidup kita akan berubah begitu saja? Kamu tahu apa yang akan dikatakan tetangga-tetangga itu? Mereka sudah cukup banyak membicarakan kita, sekarang kamu mau memberi mereka lebih banyak alasan untuk mencemooh kita?”
“Aku tidak peduli dengan mereka, Bu. Yang aku pedulikan hanya kita. Aku ingin kita bisa hidup dengan lebih baik. Aku ingin ibu berhenti bekerja keras. Aku ingin Zeni mendapatkan perawatan yang lebih baik,” ucap Elara, suaranya bergetar namun penuh tekad.
Namun Bu Nira tidak tergerak. Wajahnya memerah karena amarah yang meluap. “Kamu pikir dengan menikahi seseorang, dia bisa mengangkat derajat kita begitu saja? Uang bukanlah segalanya, Elara! Apa kamu lupa bagaimana mereka memandang kita selama ini? Apa itu yang kamu sebut mengangkat harkat derajat kita?”
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!