Bisa mati jantungan

Dokter sudah datang ke rumah Aryan saat Tifara sedang bermain dengan Elzan, mama mertuanya memberitahu walaupun dengan nada sedikit ketus beliau masih peduli dengan kesehatan menantunya.

"Elzan main sama oma dulu, mama mau periksa sekaligus ganti perban."

"Biar kita ikut keluar, kita mau lihat luka kamu."

"Tapi, Elzan akan melihat luka Ara." Tifara khawatir anaknya akan takut dengan dirinya.

"Kamu takut Elzan melihat luka kamu, atau takut ketahuan kamu sedang berbohong?" Ucapnya membuat Tifara terkejut dan hanya menghela nafas.

'Ara begini sudah mati tante, masih bilang gue bohong.'

"Kalau mau ikut lihat, baiklah." Tifara pasrah saja, ia lalu keluar meninggalkan anak dan mertuanya.

"Selamat siang dok." Ucapnya saat menemui dokter di ruang tamu, karena ia akan periksa disana.

"Siang nyonya Tifara, maaf saya terlambat. Harusnya saya kemari sejak tadi, namun saya masih menangani pasien di rumah sakit." Tifara dan Aryan pribadi yang on time, dokter yakin akan dimarahi kali ini.

Tifara tersenyum menanggapi ucapan dokter.

"Tidak masalah dok, sebenarnya saya akan ke rumah sakit, hanya saja mas Aryan mengatakan jika akan memanggil dokter kemari."

Dokter tersebut sedikit terkejut dengan jawaban dari Tifara, namun ia membalas senyuman itu.

Saat akan proses dibuka perban yang di kepala Tifara, mama Aryan datang menggandeng tangan Elzan.

"Apa nyonya sudah bisa mengingat siapa diri anda?" Tanya dokter sambil membuka perban itu hati-hati.

"Saya tidak mengingat apapun, hanya saja ada sekilas bayangan tidak jelas yang datang dan itu membuat kepala saya sakit, dok." Memang benar saat bayangan datang kepalanya benar-benar sakit, namun tidak sepenuhnya benar karena bayangan itu sangat jelas di kepala nya. Tifara memilih untuk menutupi semuanya, karena saat ini belum saatnya ditambah ia ingin tau apa sebenarnya yang terjadi pada Tifara asli mengapa bisa berubah setelah melahirkan.

Dokter mengangguk. "Saya mengerti dan jangan terlalu dipaksa, jika dipaksa untuk mengingat maka semua ingatan anda benar-benar akan hilang total."

Perban sudah terbuka di dahi Tifara, terlihat jelas bahwa lukanya sangat lebar dan bukan hanya di depan namun juga di bagian pelipis nya yang masih mengeluarkan darah.

"Luka dibagian sini kalau bisa jangan terkena air sama sekali, karena jika terkena air akan lama proses penyembuhan nya." Tifara hanya mengangguk, Elzan hanya memandangi wajah mamanya yang sedikit meringis saat dibersihkan. Mama Aryan juga merasa ngilu melihat itu, Elzan turun dari pangkuan oma nya dan menghampiri mama nya.

"Mama, apakah sakit?" Tanya nya menyentuh tangan Tifara.

Tifara tersenyum sambil mencubit pelan wajah gembul Elzan.

"Tidak sayang, mama tidak merasa sakit." Padahal dirinya sedikit meringis dan sesekali terdengar desisan dari mulutnya.

Dokter itu tersenyum pada Elzan dan Tifara, menutupi rasa sakit nya untuk tidak membuat anaknya khawatir.

Setelah membersihkan dan kembali memasang perban, dokter itu pamit untuk kembali. Ia akan segera kembali ke rumah sakit. Dokter tersebut juga melarang Tifara untuk mengantarnya ke depan, dan mama Aryan yang menawarkan diri untuk mengantar ke depan, ia ingin mengorek informasi yang lain.

"Apa benar jika menantu saya sedang hilang ingatan dok?" Tanya nya membuat dokter tersebut menaikkan satu alisnya, namun segera ia netral kan kembali.

"Untuk pemeriksaan memang benar jika menantu anda lupa ingatan, apalagi ditambah dengan kecelakaan yang di alami nyonya Tifara dan luka-luka di tubuh dan kepalanya."

Mama Aryan langsung mengangguk mengerti, ia juga tersenyum ketika sudah mendapatkan jawaban dari dokter itu.

Saat dirinya masuk ia menatap Tifara yang sedang bermain dengan Elzan, ia menatap tajam menantu nya itu. Tifara sadar dengan tatapan tajam mertuanya.

"Ada apa, ma? Apa ada sesuatu?" Tifara akan mengikuti Aryan yang memanggil mama.

"Kau bayar berapa dokter tadi? Sampai mengatakan jika kamu lupa ingatan."

Bibik yang berada di dekat situ juga ingin mendengar jawaban Tifara.

"Tadi mama lihat jika Ara tidak memberikan apapun pada dokter tadi, mas Aryan yang membayarnya. Ara benar-benar tidak mengerti dengan yang mama ucapkan." Tifara tidak mengerti dengan jalan pikiran mertuanya, bisa bisanya mama Aryan menuduhnya membayar dokter agar berbohong.

"Bisa saja kamu menyembunyikan nya, mama juga tidak tau selama ini kamu bohong pada suami kamu juga."

"Selama ini apa? Ara tidak ingat apapun, memangnya Ara bohong seperti apa?" Tanya nya menatap ingin tau apa yang mertuanya itu lihat dari diri Tifara.

"Nyonya, sepertinya nyonya harus segera istirahat, biar tuan kecil dengan saya."

"Elzan akan merawat mama," Tifara yang sejak tadi menatap mama mertuanya beralih menatap Elzan dengan lembut.

"Tidak perlu merawat mama, sayang. Mama baik-baik saja."

'Baik apa hidup punya mertua kayak ini bisa mati berdiri gue, papa mertua seperti apa ya sama gue apa sama seperti bini nya.'

"Istirahat saja, jika tidak kamu akan membuat Aryan khawatir." Mama mertuanya pergi begitu saja dari ruang tamu dan entah akan kemana.

Rasa nyeri dari efek obat yang diberikan terasa sangat perih, apalagi saat dirinya sejak tadi menggerakkan kepalanya sambil menatap mertuanya dengan kesal.

"Bik, tolong bantu bawa Elzan ke kamar, sepertinya obatnya baru bekerja sehingga rasanya sangat nyeri." Bibik langsung membantu nyonya nya, Elzan juga membantu mama nya untuk diantar ke kamar.

Tifara langsung merebahkan tubuhnya di ranjang dan memejamkan matanya.

"Apa perlu saya panggil dokter lagi, nyonya?" Tanya bibik.

"Tidak, ini pasti hanya karena obatnya. Elzan, maaf mama tidak bisa temani kamu bermain sekarang." Ucapnya sambil matanya terus terpejam, rasanya begitu ngilu seperti di tusuk.

"Elzan akan temani mama disini." Jawabnya membuat Tifara tersenyum terharu, padahal tidak pernah peduli padanya. Air matanya mengalir mengingat apa yang ia lihat di dalam ingatan nya.

'Aku harus hubungi tuan, nyonya pasti nahan sakit makanya sambil nangis.' Bibik mengira jika air mata itu karena Tifara merasa sakit.

Bibik pamit pada nyonya dan tuan kecilnya, ia akan keluar dan menghubungi tuan nya.

Saat keluar bibik sudah tidak lagi melihat mobil dari mama Aryan, jadi ia akan leluasa menghubungi Aryan.

"Tuan, nyonya mengeluh sakit di bagian kepala setelah tadi selesai diberikan obat. Nyonya bilang jika itu adalah efek dari obatnya yang membuat nyeri."

"Apa sekarang baik-baik saja?" Tanya nya khawatir.

"Sekarang sudah berbaring di kamar tuan ditemani tuan kecil, sebelum merasakan sakit tadi nyonya Ara sempat berdebat dengan mama tuan Aryan, nyonya besar tidak percaya jika nyonya Ara hilang ingatan." Bibik menjelaskan semuanya walaupun sedikit takut dan ragu-ragu.

"Mama lagi, aku sudah bilang jangan sakiti Ara. Jaga Ara dan Elzan aku akan segera pulang bik." Aryan langsung memutuskan panggilan telepon nya, ia akan segera pulang dari kantor.

Bibik akan kembali ke kamar tuan nya untuk mengecek kembali keadaan nyonya dan tuan kecilnya.

Saat ia masuk mereka berdua sedang tertidur, tuan kecil itu memeluk mama nya dari samping. Tifara sepertinya sangat menahan sakit, hingga di dalam tidurnya keningnya sedikit berkerut sambil berdesis.

Hanya menunggu beberapa menit tuannya sudah datang.

"Tuan," Bibik keluar dari kamar.

"Bagaimana keadaan Ara, bik?" Sedikit berlari keluar dari mobil untuk segera menemui istrinya.

"Nyonya di dalam sedang tidur tuan, tapi sepertinya masih merasa sakit."

Aryan langsung melewati bibik dan masuk ke dalam kamarnya, di pandangnya 2 orang yang ia sayangi itu di atas ranjang.

"Sayang," Panggilnya setelah duduk di sisi ranjang sambil mengelus tangan istrinya.

Tifara membuka matanya pelan, ia melihat ke samping putra nya sedang tertidur pulas sepertinya memang waktu nya tidur siang.

"Kata bibik kamu sakit. Apa mama menyakiti mu?" Tanya Aryan, Tifara menatap lekat wajah tampan suaminya itu.

"Tidak ada yang nyakitin aku, aku hanya merasa sakit karena efek obat bukan karena siapapun." Aryan menghela nafasnya panjang, ia tau jika kepribadian istrinya memang sangat lembut.

"Jangan berbohong sayang, bibik mengatakan kau tadi sempat berdebat dengan mama."

"Bukan berdebat, tapi berbincang. Mungkin juga karena sudah lama tidak berbincang jadi terlihat seperti berdebat." Tifara ingin tau saja apa yang akan mertuanya itu lakukan dan ingin membuat Aryan semakin mencintai nya dengan cara pura-pura menjadi sangat baik dan bahkan jadi Tifara yang sebelumnya.

"Kenapa pulang? Mama tadi bilang kalau kamu harus di kantor. Gimana kalau nanti papa marah sama kamu."

"Aku sudah izin dengan papa, papa malah menyuruhku untuk tetap disini menjaga kamu." Ia mengelus wajah istrinya itu lembut, tidak ada yang berubah dari wajah Tifara sejak pertama kali ia mengenalnya masih sama cantik nya.

"Aku bukan anak kecil lagi, nanti mama akan memarahimu jika merawatku. Aku selalu membuatmu khawatir dan merepotkan semua orang." Air mata Tifara jatuh begitu saja, rasa itu dari jiwa Kaluna lagi yang merasa berbohong. Namun sekarang sudah tidak ada pilihan selain berpura-pura.

Aryan mengusap air mata nya itu sambil berbicara berbisik.

"Jangan nangis sayang, nanti Elzan bangun. Kamu tidak pernah merepotkan ku, jika aku khawatir itu karena aku sangat menyayangi mu dan Elzan. Kalian berdua adalah jiwa raga ku." Tifara mengangguk namun air matanya terus jatuh, ia menahan agar tidak sampai mengeluarkan suara dan membangunkan anaknya.

"Katanya gak mau nangis? Nanti kepala kamu makin sakit."

"Kalau kamu bilang jangan nangis, nanti aku makin nangis."

"Caranya biar gak nangis?"

"Ditenangin aja dipeluk." Tifara hanya mengucapkan yang ia tau dan inginkan ketika menangis, tapi suaminya malah terkekeh dan langsung memeluknya.

"Papa, mama." Aryan langsung bangkit dan menatap Elzan yang terbangun, mungkin ia terganggu dengan yang orang tuanya lakukan.

"Hei boy, kamu sudah bangun? Pintar sekali kamu menjaga mama, papa harus kasih kamu reward." Mengacak rambut putra nya.

"Tidak, tidak perlu reward apapun. Putra ku menjagaku karena menyayangi ku, bukan karena ingin meminta imbalan. Jika itu ia inginkan maka itu hadiah untuk nya karena sudah menjadi anak yang baik." Tifara duduk dan memeluk putra nya, ia tidak ingin mengajarkan putra nya mengharapkan imbalan jika ingin melakukan hal baik.

"Tidak sayang, maksud ku juga seperti itu karena Elzan baik sudah menjaga mama." Tifara hanya mengecup kepala putra nya lembut, Elzan memeluk mama nya erat, tidak ia bayangkan bisa diterima baik oleh mama nya.

"Jadi papa tidak dipeluk juga? Padahal papa pulang dari kantor butuh pelukan." Elzan melepaskan pelukan mama nya, ia menatap papanya dan bergantian pada mama nya.

"Kenapa sayang?" Tanya Tifara.

"Papa pengen dipeluk, mama peluk papa juga." Tifara melirik suaminya yang memainkan alis, sepertinya Aryan ini suka sekali menggoda.

"Kenapa harus mama? Kamu saja yang peluk papa." Tifara menutupi kegugupan nya, tidak mungkin jika dirinya harus memeluk Aryan.

"Bagaimana jika kita bertiga?" Usul Aryan yang sudah merentangkan tangannya, Elzan dan Tifara perlahan mendekat dan dengan cepat Aryan membawa mereka ke dalam pelukan nya. Jika menunggu akan sangat lama dengan mode slow motion.

Aryan mencium pucuk kepala dan juga pipi Tifara, ia gemas dengan wajah memerah Tifara.

"Jangan cium-cium." Aryan terkekeh pelan dan memilih mencium Elzan.

'Gue bilang juga apa, bisa mati jantungan gue'

Selalu dukung othor bebu sayang, annyeong love...

Baca juga cerita bebu yang lain.

IG : @istimariellaahmad98

See you...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!