“ AAAAAAAAA!” Jerit kesakitan roger yang semakin menunjukkan rasa sakit
“ sakit? “ tanya haider…
“ LO MAU BALAS GUE?!” roger masih bisa berbicara dengan keras di sela sela rasa sakitnya. Haider tersenyum.
“Balas lo?..Ya tapi, jangan samain antara gue dan lo!! Gue enggak sekejam dan sebrengs3k lo!. Ini enggak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang udah lo buat ke gue!....lo hajar gue sampai-sampai gue hampir koma dan lengan gue hampir patah tapi disini, gue hanya tekan lengan lo pakai kaki tapi sikap lo seolah-olah nyawa lo udah di tenggorokan aja..” roger tak menanggapi, dirinya masih merintih kesakitan.
Haider semakin kuat menginjak lengan roger dan semakin kuat juga jeritan roger merintih kesakitan. Benar benar rasa sakit yang roger terima membuat sekujur tubuhnya mati rasa. Tangan kanan roger mencengkram dan mencakar kaki kiri haider berharap cowok itu berhenti tetapi sedikit pun, haider tak bergeming untuk mengangkat kakinya meskipun kini kakinya sudah tergores karena kuku roger.
Dret..dret..dtet.. ponsel haider bergetar membuat haider terhenti. Ia mengambil ponselnya yang ada di dalam saku celananya dan menatap layar ponsel yang menyala itu. Haider berdecak kesal melihat nomor panggilan yang sangat-sangat ia benci.
Kini bukan lagi pesan yang ia dan tetapi panggilan telepon. Wijaya,nama yang tertera di layar ponsel haider yang dimana nama itu juga yang dari tadi mengiriminya beberapa pesan tetapi diabaikan oleh haider.
Haider mengangkat kakinya dari lengan roger dan pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah katapun dan kini ia fokus dengan ponselnya melupakan roger dan juga anggota black mamba lainnya. Haider mematikan panggilan telepon itu tak ada niat sedikitpun untuk mengangkatnya.
“BAJINGAN KURANG AJAR!” Gumam roger dengan mata yang memerah menatap lengan kirinya yang diinjak oleh haider. Roger mengepalkan kuat jari jemarinya dan kini ia menatap haider yang kini sudah menancapkan gas pergi dari sana.
Sekitar lima belas menit berkendara, kini haider berhenti di depan rumah megah bernuansa putih bercampur hitam yang memberikan kesan mewah dan elegan. Cowok itu menatap rumah berlantai tiga tersebut dengan tatapan yang nanar. sebelum ke amerika, ia berniat untuk tak akan pernah lagi datang dan menginjakkan kaki di rumah itu tapi dirinya tak bisa. Ada janji yang harus ia tepati meskipun kini hatinya tak ingin memenuhi janji itu dan ada kenangan indah bersama seseorang di rumah itu yang selalu membuatnya kembali menginjakkan kaki. Haider tak ingin mengingat kenangan masa lalu apapun kecuali kenangan bersama sang ibu.
Haider melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah megah tersebut meskipun ia tahu ia akan bertemu dengan orag orang yang membuatnya muak.
“Apa kau akan melewatiku begitu saja tanpa ada salam dan sapaan?” tanya seorang lelaki paruh bayah berusia sekitar empat puluh delapan tahun yang dimana haider melewatinya begitu saja seolah olah olah tak melihat seseorang ada di sana.
Haider menghentikan langkahnya sejenak dan kembali melangkah tanpa ada kata kata yang keluar dari bibirnya.
“jika ucapan ayahmu tidak bisa kau dengarkan,setidaknya ajaran tata krama dan sopan santun dari ibumu bisa kau terapkan, haider!”
Haider mengepalkan jari jemarinya. Ia berbalik badan menatap lelaki paruh bayah yang merupakan ayah kandungnya itu.
“pagi pah, haider pulang.” ucap haider tanpa ekspresi yang memperlihatkan kebahagiaan tak seperti orang-orang yang ketika bertemu dengan orang tuanya setelah setahun lebih, mereka akan melepas rindu dengan pelukan hangat. Melihat kondisi laki laki paruh bayah dihadapannya ini tak perlu membuat haider harus mempertanyakan kesehatan. Empat kata yang keluar dari bibirnya, haider rasa lebih dari kata cukup untuk pertemuan pertama mereka setelah satu tahun lebih tak bertemu. Haider hendak kembali melangkah pergi tetapi sebelum ia pergi, ia menatap sang ayah yang masih menatapnya.
Haider menghela napas.
“haider udah bilang berkali kali ke papa!. jangan bicara tentang mama haider!. Haider enggak suka!... Haider harap hari ini papa ngerti ucapan haider!” tekan haider.
“kumpul lagi sama teman teman berandalan tak punya prinsip hidup tadi?.......habis berantem lagi sebelum ke sini?!” sindir wijaya melihat luka di sudut bibir sang anak. Haider yang sudah melangkah pergi itu tak ingin kembali berhenti dan menjawab pertanyaan sang ayah.
Wijaya arya kusuma menghela napas panjang menatap sang anak kandung satu satunya yang kini tubuh dewasa dengan sikap yang tak bisa ia kontrol.
“maaf haider… papa harap kau tau tidak benar benar melupakan papa” gumam wijaya menatap kepergian haider yang kini sudah lenyap dari pandangannya. Ia tak menyalahkan haider untuk sikap haider dan semua keretakan yang terjadi diantara mereka. Ia juga bersalah untuk semua itu yang dimana ia tak pernah menjalankan kewajibannya sebagai seorang ayah semenjak kepergian istrinya untuk selama lamanya. Iayang seharusnya lebih banyak lagi meluangkan waktu bersama haider disaat haider kehilangan sosok sang ibu, malahan ia menutup pintu kehifupan dengan hanya fokus 24 jam bekerja. Dan satu hal yang paling wijaya tahu alasan mengapa haider membencinya adalah ketika ia kembali menikah setelah dua tahun kepergian ibu haider. Satu tahun wijaya menutup diri dan kembali menajalani hidup ke depan, ia menyadari bahwa haider menjadi anak yang pendiam tak seperti dulu lagi yang ceria dan aktif. Hal itu menjadi salah satu alasan besar mengapa wijaya berani untuk menikah lagi berharap haider mempunyai ibu dan bisa kembali seperti haider yang ia kenal tetapi pikirannya itu bertolak belakang dengan apa yang terjadi. Haider tak setuju dengan keputusannya dan semenjak itu, hubungannya dengan haider benar benar hancur.
“haider udah pulang?” tanya seseorang membuat wijaya menoleh.
“ iya haider udah pulang…. Kamu masih disini? Bukannya lomba kimia nya dimulai jam12 siang? Sekarang udah jam sepuluh lebih lo” ucap wijaya ke seorang pemuda yang seumuran dengan haider yang dimana haider lebih tua satu bulan daripada pemuda tersebut yang dimana pemuda tersebut adalah anak tiri wijaya yang kini menjadi saduara tiri haider.
“iya pah sekarang ini mau pergi” sahut cowok tersebut dan diangguki oleh wijaya.
Kini mereka berjalan menuju ke pintu depan bersama sama yang dimana wijaya meranggkul bahu anak tirinya itu memberikan semangat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments