Laki-laki itu mengerutkan keningnya saat mendengar jawaban Valeda. Wajah tampannya jelas menggambarkan bahwa dia seakan tidak percaya dengan apa yang Valeda katakan sedetik yang lalu.
"Boleh saya duduk?" tanya Valeda, berpura-pura tidak menyadari ketidaksukaan dari lawan bicaranya. "Tuan--" Valeda memicingkan matanya, karena dia tidak mengetahui nama laki-laki itu.
"Leo," jawabnya singkat.
Valeda duduk dengan santai di depan Leo. Dia membalas tatapan Leo dengan berani. "Apa zodiak Anda adalah leo?" Valeda membuka percakapan.
"Tidak. Zodiakku adalah virgo," ketus Leo. Rupanya dia masih tidak terima karena Valeda tidak meminta maaf atas keterlambatannya.
"Saya pikir Anda diberi nama sesuai zodiak," Valeda menjelaskan maksud pertanyaannya barusan, walaupun Leo tidak bertanya apa-apa. Valeda mengangkat tangannya, memanggil pelayan yang berdiri di dekat mereka. "Ayo kita pesan makanan."
Pelayan yang memakai nametag Laila melemparkan senyuman simpul pada mereka. "Silakan, Tuan dan Nona," ujar Laila sembari menyerahkan menu restoran pada mereka.
Valeda meneliti makanan yang disediakan restoran itu dan menu apa kira-kira yang akan dikritik oleh Leo ketika Valeda memesannya. "Saya pesan grill beef dan wine rekomendasi dari restoran ini."
"Ini sudah lewat pukul tujuh malam. Tidak baik bagi tubuh kamu jika makan daging apalagi yang tidak direbus," Leo memberi nasehat.
Valeda tersenyum pada Leo. "Tenang saja. Ini tubuh saya. Tubuh yang sudah bekerja seharian dan kelelahan. Tubuh ini pantas menerima hadiah dari saya, kapanpun saya mau."
Leo menggigit bibir bawahnya. Dia menahan kritikan yang ingin sekali dia lontarkan setelah mendengar jawaban-jawaban dari Valeda yang terus saja bertentangan.
Valeda menyerahkan menu di tangannya kepada Laila. "Anda mau pesan apa?" tanyanya pada Leo yang belum menyentuh menu di depannya sama sekali. "Jam makan malam sudah hampir lewat. Lebih baik Anda memesan sekarang."
"Siapa tepatnya yang datang terlambat dan membuat jam makan malam kita hampir terlewat?" sindir Leo.
"Anda tidak harus menunggu saya," tandas Valeda. "Saya pikir, Nyonya Emely sudah memberitahu Anda, kalau saya adalah orang yang sibuk. Hal seperti makan malam akan menjadi prioritas terakhir setelah pekerjaan saya."
"Jika kamu menjadi istriku, kamu tidak perlu bekerja lagi. Bersantailah di rumah dan urus aku dengan baik."
Valeda meraih gelas air putih yang tersedia di atas meja, kemudian meneguknya pelan-pelan. Dia menghela nafas panjang, merasa tahu jalan pemikiran Leo.
Laila yang masih berdiri di antara mereka, menjadi canggung. Dia tidak mungkin meninggalkan meja Valeda, karena Leo belum memesan. Namun, jika dia tetap di sana, dia akan mendengar percakapan pribadi yang seharusnya tidak dia dengar. "Umm, sa-saya akan kembali lagi nanti," Laila mencoba pamit diri.
"Tolong pesanan saya dibuatkan, ya?" pesan Valeda.
"Baik, Nona," jawab Laila dan segera berlalu dari tengah-tengah perdebatan.
"Jadi, Anda berpikir untuk menikah dengan saya?" tanya Valeda.
"Untuk apa lagi kita bertemu, kalau tujuannya bukan itu?" Leo menjawab sambil tertawa pelan. "Aku ini pewaris Citra Jaya Konstruksi. Hidup terjamin sudah di tanganku kalau kita menikah. Kamu hanya perlu duduk tenang dan menikmati hidup."
Valeda ikut tertawa. "Jadi, menikmati hidup menurut Anda, adalah duduk tenang?"
"Itu idaman setiap wanita, kan?" Leo mencibir.
"Saya kagum dengan pemikiran Anda yang mementingkan keinginan wanita," Valeda tersenyum simpul. Dia meneguk air putihnya lagi, meskipun tidak sedang haus. "Tapi, apakah itu keinginan saya juga?"
"Tentu. Bukankah semua wanita sama saja? Jika ada uang, kalian akan tenang. Jadi, aku menyiapkan segalanya untuk kalian," Leo bangga dengan dirinya yang berpikir jauh ke depan.
Plok! Plok! Plok! Plok! Plok!
Valeda bertepuk tangan sambil memandang takjub pada laki-laki di depannya. "Luar biasa! Sungguh luar biasa!"
"Tentu saja. Aku memang luar biasa," Leo setuju dengan pujian Valeda.
Valeda menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga. "Tapi saya tidak mau menikah dengan Anda."
Hening menghampiri ketika Valeda berkata begitu. Leo tidak bergeming dan hanya menatap Valeda dalam diam. Seperti awal tadi, Valeda membalas pandangan Leo dengan berani.
"Permisi," Laila datang dengan nampan berisikan wine pesanan Valeda. "Ini wine rekomendasi untuk melepas hari yang melelahkan," ujar Laila.
Valeda mengangguk singkat, mempersilakan Laila meletakkan wine pesanannya ke atas meja. Dengan cekatan, Laila menuangkan wine ke dalam gelas. Valeda menerima gelas pemberian Laila, kemudian menyesap wine-nya.
Baru saja Valeda ingin berkomentar tentang wine yang Laila suguhkan, sebelum tiba-tiba Leo mengkritik cara Valeda minum. "Bukan begitu cara menikmati wine, Nona Valeda," kata Leo.
Senyuman Valeda menghilang. "Ya?"
"Kamu harus melihat warna dari wine yang akan kamu minum terlebih dahulu. Kemudian, memutarnya di dalam gelas dengan perlahan, agar aromanya tercium lebih keras. Setelah itu, kamu harus mencium aromanya untuk membangkitkan panca indramu. Terakhir, barulah sesap wine sepelan mungkin."
Valeda menoleh ke kanan-kiri setelah Leo selesai bicara. "Maaf, apa kita berada di dalam perlombaan minum wine?"
"Apa maksudmu?" tanya Leo.
"Laila, apakah saya menjadi juri dalam penilaian rasa wine yang kamu suguhkan?" Valeda bertanya pada Laila yang masih berdiri di sebelahnya.
"Ti-tidak, Nona," Laila menjawab dengan canggung.
"Kalau begitu, bukankah saya bebas menikmati pesanan saya dengan cara saya sendiri? Apakah Anda sebegitu keberatannya, Tuan Leo?" Valeda meneguk wine-nya sampai habis. Kemudian mengacungkan gelas kosong pada Laila, minta kembali diisi.
"Kenapa susah sekali bagimu untuk mengikuti aturan?" Leo menggebrak meja. Kesabarannya mulai habis, menghadapi wanita yang bersikap di luar kendalinya.
Valeda memasang wajah tanpa ekspresi. Dia tidak suka jika ada orang yang tidak bisa menahan emosinya dan menjadi kasar. Valeda menoleh pada Laila, lalu memberinya isyarat bahwa Laila boleh meninggalkan mereka berdua. Laila membungkuk kecil, cepat-cepat meletakkan botol wine ke atas meja dan kabur dari sana.
"Aturan?" tanya Valeda, mengulang perkataan Leo sedetik lalu. "Saya tidak membaca aturan apapun ketika masuk ke restoran ini."
"Aturan tidak tertulis!" seru Leo.
Valeda bersandar pada kursinya dan menyilangkan tangan di atas meja. "Anda mulai emosi," ujar Valeda.
"Ya! Dan kamu penyebabnya!" cicit Leo.
Valeda tertawa mendengar jawaban Leo. "Kita baru bertemu pertama kali, dan Anda berani meninggikan suara Anda hanya karena saya langsung meneguk wine pesanan saya."
Valeda membuang wajah ke arah Laila yang memegang nampan berisikan makanan. Dia tampak ragu untuk kembali ke meja Valeda.
"Kemarilah," panggil Valeda sambil mengangkat tangannya.
Laila berjalan cepat menghampiri meja Valeda lagi. "I-ini pesanan Nona," katanya seraya meletakkan makanan di atas meja Valeda.
"Jika Tuan Leo merasa risih dengan cara saya makan, Tuan boleh pergi meninggalkan saya. Saya tidak akan menuntut apapun, apalagi merasa terhina jika ditinggalkan saat pertemuan pertama kita." Valeda meraih pisau dan garpu di depannya. Tanpa menunggu jawaban dari Leo, Valeda mulai menikmati makan malamnya yang terlambat.
"Baiklah jika itu maumu!" Leo melempar serbet di pangkuannya dengan kasar ke atas meja. Dia berbalik dan benar-benar meninggalkan Valeda sendirian di mejanya.
"No-Nona, apa benar tidak apa-apa?" tanya Laila takut-takut.
"Sayang sekali dia tidak menikmati makanan selezat ini," jawab Valeda. "Aku mau memuji kokinya. Bisa?"
"Akan saya panggilkan," Laila membungkuk sedikit dan kembali ke dapur.
Valeda bernafas puas. "Satu masalah selesai," gumamnya bangga. "Tinggal kena omel Mama saja untuk besok."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments