Entah sudah berapa kali Valeda menghela nafas untuk hari ini. Sepanjang dia hidup, baru kali ini Valeda merasa malas menjalani hari.
"Kenapa, Val?" Celine yang menyadari sahabatnya tidak bersemangat sejak pagi tadi, mulai bertanya. Dia sudah menahan pertanyaannya itu sejak mereka ada di dalam mobil menuju kantor tadi pagi. "Aku tebak, bukan masalah kantor," terka Celine.
"Yah... Memang bukan masalah kantor," jawab Valeda malas. Dia sudah menyelesaikan urusan rumah sakitnya dan mall barunya kemarin. Kali ini, adalah masalah yang sangat ingin dia hindari.
"Ah! Aku tahu!" seru Celine tiba-tiba. "Kencan butamu, ya?"
Valeda mencibir Celine yang tampak girang karena menebak dengan benar. "Kamu aja yang pergi, sana! Siapa tahu cocok."
"Hmm, terus besoknya aku digoreng sama Nyonya Emely," tolak Celine, walau sebenarnya dia mau menggantikan Valeda untuk pergi kencan buta. Celine bisa memastikan, kalau kandidat-kandidat yang dipilih Nyonya Emely pastinya kelas atas semua.
"Pengen kabur..." keluh Valeda.
"Sabar, Val," Celine memberi nasehat. "Kamu coba saja datang dulu. Nikmati makan malam kalian. Jangan berpikir kalau kamu harus menerima calon yang dipilih Nyonya Emely. Pikirkan saja kalau kamu sedang mencari relasi. Lebih rileks sedikit, Val."
Valeda menghela nafas panjang lagi. Perutnya menjadi benar-benar kenyang hanya dengan memikirkan bagaimana makan malam nanti dengan laki-laki pilihan ibunya.
"Nanti malam biar saya antar Nona Val ke lokasi makan malam," Kris menanggapi dari kursi kemudi.
"Kamu istirahat saja, Kris," tolak Valeda. "Aku bisa naik taksi."
"Biarkan Kris mengantarmu, Val," ujar Celine. "Setidaknya, Kris bisa pura-pura ada keadaan mendesak dan bawa kamu kabur dari sana."
Valeda menggeleng. "Aku bisa kabur sendiri jika perlu."
Celine melirik Kris dari spion mobil. Kris hanya menjawabnya dengan mengangkat alis. Jika Valeda sudah memutuskan sesuatu, hal itu tidak akan bisa diganggu gugat lagi. Jadi, mereka hanya membiarkan atasannya ini melakukan apa yang menurutnya perlu.
Valeda sampai di apartemennya sejam sebelum jam makam malam yang Nyonya Emely beritahukan tadi pagi. Dia masih punya waktu untuk membersihkan diri dan mengganti pakaiannya.
Tapi, itu tidak dia lakukan. Valeda memilih duduk santai melepas penat di sofa ruang baca kesayangannya. Dia memutuskan untuk datang terlambat di kencan pertamanya, tidak peduli bagaimana pendapat lawan bicaranya nanti.
Valeda memeriksa smartphone-nya. Melihat apakah ada e-mail penting yang dia lewatkan hari ini.
"Urusan dokter baru yang pakai izasah palsu, beres," Valeda membaca e-mail pertamanya hari ini. Dia merasa puas setelah berhasil mengungkap kecurangan salah satu calon karyawan rumah sakitnya. Valeda membuka e-mail kedua. "Soft opening mall akan dilakukan bulan depan," gumamnya. "Itu juga sudah disiapkan sama Celine."
Tidak ada e-mail baru yang penting lagi, selain laporan-laporan dari Celine. Valeda berharap dia bisa berlama-lama mengulur waktu, namun sepertinya tidak mungkin. Jika dia memejamkan mata sekarang, dia akan tidur hingga keesokan harinya. Lalu, kalau laki-laki itu melapor pada Nyonya Emely mengenai Valeda yang tidak menepati janji makan malamnya, itu akan menjadi petaka untuk Valeda.
"Sudahlah!" Valeda bangkit dari duduknya. Dia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian yang pantas untuk makan malam.
Dia tidak akan berdandan terlalu cantik untuk mengesankan laki-laki itu. Lagipula, Valeda tidak ada niatan untuk pertemuan kedua ataupun ketiga. Sekali saja sudah cukup bagi Valeda untuk berbaik hati membuang-buang waktunya.
Valeda turun ke lobby dengan langkah berat. Sepuluh menit lagi dari waktu perjanjian. Valeda menjadi semakin malas.
"Nona, taksi yang dipesan sudah di depan," kata bellboy yang memakai nametag Abrah.
Valeda menelitinya sejenak, karena dia tidak pernah melihat bellboy satu ini sebelumnya. "Kamu orang baru, ya?" tanya Valeda.
Abrah mengangguk canggung. "Iya, Nona," jawabnya kalem.
"Gantikan Pak Braham yang sudah pensiun?" Valeda menyadari ada kesamaan antara Abrah dan Braham--bellboy sebelumnya.
Abrah tersenyum lebar mendengar nama Pak Braham disebut. "Itu ayah saya, Nona," jawabnya dengan nada bangga.
Valeda ikut tersenyum mendengar bagaimana Abrah bangga terhadap ayahnya. Memang seharusnya Abrah bangga, Valeda sendiri menyukai Pak Braham yang ramah dan pekerja keras. Pak Braham tidak pernah mengecewakan Valeda sebelumnya.
Valeda mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribuan dan langsung menyelipkannya ke kantong jas Abrah. "Beli makanan yang enak untuk Pak Braham," pesan Valeda.
"Te-terima kasih, Nona Valeda," Abrah membungkuk untuk berterima kasih.
Valeda langsung menegakkan tubuh Abrah kembali. "Tidak usah membungkuk terlalu dalam. Status kita sama. Aku hanya memiliki rejeki lebih. Sudah seharusnya aku bagi dengan orang-orang yang tulus membantuku," Valeda menepuk pundak Abrah.
Abrah tersenyum bahagia dengan air mata di ujung matanya. Dia merasa sangat bersyukur bekerja menggantikan ayahnya. Kelelahannya terbayarkan dengan memiliki penghuni apartemen seperti Valeda.
"Aku pergi. Selamat bekerja, Abrah," pamit Valeda.
"Hati-hati di jalan, Nona Valeda!" seru Abrah seiring langkah kaki Valeda meninggalkan lobby.
Valeda masuk ke dalam taksi yang sudah Abrah pesankan. Setelah memberikan alamat restoran yang dipesan Nyonya Emely, taksipun melaju membelah jalanan kota yang padat.
Valeda melemparkan pandangannya ke luar jendela mobil. Malam tiba dengan keramaian hari Jumat seperti biasa. Banyak orang yang berkumpul bersama teman untuk menutup minggu kerja mereka. Valeda tiba-tiba sadar, kali terakhir dia berkumpul bersama teman sekolahnya.
'Sudah lama sekali,' batin Valeda. Dia menyayangkan waktu yang telah dia lewati tanpa banyak teman-teman di sekelilingnya. Dia tahu, bahwa dirinya terlalu ambisius. Valeda ingin menjadi di puncak secepat mungkin. Itu membuatnya tidak banyak mempunyai teman.
Setelah menempuh perjalanan singkat menuju restoran, Valeda dengan berat hati masuk dan segera mencari meja yang sudah dipesankan oleh Nyonya Emely.
Restoran itu bernuansa klasik. Megah namun tampak simpel dengan segala dekorasi vintage di setiap sudutnya. Alunan musik dari biola mendominasi ruangan, diiringi dengan lantunan lembut piano. Live music yang sering ada di restoran mewah.
Kenyamanan yang disuguhkan restoran itu saat membuka pintu masuk, ternyata tidak mampu menaikkan mood Valeda. Dia tetap tidak mempunya minat pada kencan buta ini.
"Silakan, Nona," seorang pelayan wanita yang tadi menyapa Valeda di meja depan, mempersilakan Valeda untuk duduk di sebuah meja berhiaskan bunga mawar merah.
Laki-laki yang duduk di seberang meja, mengangkat wajahnya ketika Valeda muncul. Laki-laki itu cukup tampan, menurut Valeda. Rambutnya disisir rapi ke belakang dan dia mengenakan setelan jas hitam yang membalut tubuh tegapnya. Kulitnya mulus dan cerah, seperti seorang biksu dari film Mandarin yang terkenal.
"Selamat malam, saya Valeda," ujar Valeda sebelum duduk. "Apa saya terlambat?" Valeda mencoba berbasa-basi, padahal dia sadar kalau dirinya memang terlambat.
"Karena ini pertemuan pertama kita, aku maafkan keterlambatanmu, Nona Muda," jawab laki-laki itu.
"Hm? Saya tidak minta maaf," Valeda balik menjawab.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments