Rasa frustasi menguras tenaga Hamish pagi ini. Danish benar-benar merajuk dan tak mau pergi karena ia tak bisa menemani. Sebagai bentuk protesnya, gadis kecil itu hanya tengkurap di kasurnya sambil meraung-raung.
“Tuan, ada tamu. Mau ketemu Tuan,” Lena, asisten yang merangkap jadi babysitter, takut-takut memberi tahu Hamish yang dirundung kekesalan akibat ulah Danish. Ia tambah bergidik saat majikannya menatap garang.
“Siapa pula pagi-pagi sudah bertamu?” sergahnya, “Laki-laki apa perempuan?”
“Perempuan. Tadi dia bilang, namanya Nadira.”
Emosi Hamish mendadak lenyap. Secepat kilat ia menghampiri Nadira yang sedang menunggu di ruang tamu.
“Hai, sorry datang pagi-pagi,” perhatian Nadira terjebak pada penampilan Hamish yang berantakan lalu ia tertawa kecil, “Aku tahu kamu belum mandi, tapi rasanya gak perlu sekusut ini.”
“Kamu… kamu tahu dari mana rumahku? Dan ada perlu apa?”
“Yah, gak sulit menemukan rumah di sebuah townhouse,” ujar Nadira dengan bahu terangkat, “Dan aku ke sini mau menawarkan diri untuk menjadi penggantimu menemani Danish pentas.”
Untuk kedua kalinya Hamish terkejut dengan kedatangan wanita ini. Matanya terbelalak tak percaya.
“Aku serius, jika itu menjadi pertanyaanmu,” Nadira meringis, “Tapi ya, itu juga kalau Danishnya mau.”
Saking bahagianya, Hamish langsung memeluk Nadira, “Aku gak tahu harus bagaimana berterima kasih, Nad.”
“Terima kasih yang biasa saja,” perlahan Nadira melepaskan pelukan. Namun, senyumannya masih mengembang, “Yuk, aku harus bujuk dia sekarang.”
Hamish mengangguk dan mengantarkannya menuju kamar Danish. Sesampainya di sana, gadis kecil itu sudah tak meraung-raung seperti tadi. Namun, tangisannya belum berhenti.
“Sayang, ada tamu yang mau ketemu kamu nih,” Hamish membelai lembut rambut putrinya, “Kasih salam dulu gih.”
Perlahan Danish melirik. Ia terlonjak kaget saat mendapati sosok Nadira. Gadis kecil itu langsung mendarat pada pelukan Nadira.
“Ya ampun, anak cantik kok pagi-pagi udah nangis gini. Kenapa, sayang?”
“Papa… papa jahat, Tante,” ujar Danish sesegukan.
“Eh, katanya Danish hari ini mau pentas, ya?” Nadira melepaskan pelukannya. Gadis kecil itu mengangguk. Ia pun membantu Danish menghapus air mata, “Wah, tante mau lihat dong.”
“Tapi papa gak mau antar aku.”
“Bukan gak mau, tapi gak bisa, Danish,” sahut Hamish yang langsung mendapatkan lirikan tajam dari Nadira.
“Oh gitu ya, kalau gitu gimana kalau tante aja yang gantiin papa?”
Wajah murung Danish langsung berubah cerah, “Yang bener, Tante?” Dan dengan sekali anggukan Nadira, gadis itu langsung meloncat-loncat kegirangan. Ia seperti lupa bagaimana Hamish hampir menyerahkan seluruh hidupnya hanya untuk meredakan tangisnya.
“Nah, sekarang kamu mandi dulu. Masa mau pentas mukanya jelek kayak gini.”
Danish mengangguk dan menuruti semua perintah Nadira. Hamish sampai menggeleng-geleng tak percaya.
“Kamu pakai pelet apa sih? Bisa-bisanya dia lebih nurut sama kamu ketimbang bapaknya sendiri.”
Nadira hanya terkekeh. Ia juga tak mengerti kenapa Danish bisa tak membantah dirinya.
“Ya udah, masalah selesai’kan? Sekarang kamunya juga beberes gih. Katanya mau meeting sama
bos penting.”
Hamish sampai lupa kalau ia hanya berkaus oblong dan celana pendek lusuh. Ia hanya tertawa geli dan menyilakan Nadira untuk menunggu selagi mereka berpakaian.
Nadira berniat kembali ke ruang tamu seraya melihat-lihat interior rumah Hamish. Di salah satu sudut ruangan terpampang sebuah bingkai foto yang paling besar yang ada di rumah tersebut. Foto tersebut menampilkan Hamish dan Daniar ketika mereka resmi menjadi suami istri. Lama Nadira tertegun menatap foto itu. Sampai ia tidak sadar kalau si pemilik rumah sudah kembali.
“Nad?”
Lamunan Nadira terbuyar saat Hamish memanggilnya. Laki-laki itu kini sudah dalam balutan jas rapi. Keduanya saling melempar senyum.
“Ada yang kamu kagumi dari foto itu?”
“Hmm, sebenarnya aku memuji betapa miripnya Danish dan mamanya.”
Hamish tersenyum lalu ia bersama-sama memandangi foto tersebut, “Kamu benar. Danish bersyukur lebih mirip Daniar.”
Mereka pun tertawa.
“Oh ya, maaf aku harus duluan. Aku sudah pamit pada Danish. Semua yang dibutuhkan Danish sudah disiapkan sama Lena. Kamu tinggal antar dia saja.”
Keduanya bertukar pandang. Untuk sesaat, Hamish berpikir ingin memeluk wanita itu sekali lagi. Tentu saja ia harus mengurungkan niatnya dan memilih untuk segera menembus kemacetan kota.
ooOoo
Duduk di barisan bersama dengan ibu-ibu lainnya, membuat Nadira sedikit kikuk. Mereka mulai melemparkan pertanyaan mengenai siapa dirinya. Meski sudah dijawab sejujur mungkin, bisik-bisik nyinyir masih
terasa. Nadira menarik napasnya dalam-dalam, berusaha tak memikirkan semua komentar itu.
Pertunjukkan itu dimulai. Siapa sangka ternyata Danish adalah penari utama. Nadira ragu apakah Hamish lupa bercerita atau ia memang tak tahu perkembangan anaknya. Ia pun tak lupa merekam penampilan Danish dan langsung mengirimkan pada sang ayah.
Kurang lebih satu setengah jam pertunjukkan itu usai. Ketika Nadira menemui Danish di belakang panggung, gadis kecil itu berlari riang ke arahnya. Mereka berpelukan erat.
“Kamu hebat banget! Tante menyesal gak bawa bunga buat kamu.”
“Loh, untuk apa bunganya?”
Nadira memberikan tatapan pura-pura heran, “Kamu gak tahu kalau penari hebat seperti kamu, harus dapat buket paling besar sebagai penghargaan karena sudah memberikan penampilan paling keren.”
Danish tertawa mendengar cara Nadira menjelaskan yang sangat antusias, “Aku gak dapat bunga gak apa-apa kok. Tante sudah mau menemaniku aja udah seneeeng bangeeet.”
Kata-kata Danish berhasil membuat menyentuh hati Nadira. Ia berusaha untuk tidak meneteskan air mata haru.
“Gimana kalau bunganya diganti es krim aja, Tante? Bunga’kan gak bisa dimakan, tapi kalo es krim bisa.”
“Ide bagus tuh! Mau ke kafe tante atau ke tempat lain?”
Dengan tangan teracung ke atas dan suaranya yang melengking gadis kecil itu mantap menjawab:
“Kafe Tante Nadiraaa!”
ooOoo
Nadira mengelap sisa es krim yang menempel di pipi Danish. Ia menyarankan agar gadis itu makan pelan-pelan. Namun, hanya tawa kecil yang ia dapatkan sebagai jawaban.
“Biasanya yang nonton cuma Mbak Lena atau Tante Agatha. Bosen,” Danish mulai beceloteh.
“Loh memangnya Tante Agatha kenapa? Dia gak jahat’kan?”
Danish menggeleng sambil melepas ujung sendok dari mulutnya, “Tapi gak tahu deh. Kurang suka aja gitu.”
Kosataka Danish yang terbatas membuatnya sulit untuk menyatakan kalau Agatha kurang menyayanginya. Agatha memang tak pernah melakukan kekerasan verbal atau fisik, tapi bila tak ada ayahnya, wanita itu tak ubahnya robot. Ia lebih sibuk dengan gawai ketimbang memperhatikan Danish yang kesepian.
“Aku pengen punya mama kayak teman-teman, tapi kata papa sudah meninggal waktu melahirkan aku.”
Tentu saja anak kecil tak bisa berbohong dan Nadira sangat kaget mendengar cerita itu. Ia sempat berpikir kalau Hamish menduda karena bercerai. Makanya ia sempat heran kenapa foto pernikahan mereka masih terpasang.
“Apa kamu pernah punya mama lagi setelah ini?”
Danish menggeleng, “Biasanya aku sama nenek, tapi sekarang-sekarang ini Tante Agatha lebih sering ke rumah. Terus kata papa aku harus suka sama Tante Agatha karena dia nanti jadi mama aku.”
Tidak diragukan lagi. Nadira tidak peduli dengan siapa Hamish mau menghabiskan masa tuanya. Hanya saja ia tak tega jika bocah selucu ini harus merasakan kesepian. Ia berharap kalau Agatha bisa sedikit lebih perhatian pada anak ini.
Di sisi lain, ia baru sadar kalau Hamish sudah lama merasakan sedihnya perpisahan itu. Mendadak ia merasa bersalah karena tak ada di samping sahabatnya ketika laki-laki itu berada di titik terendah.
“Tante yakin kalau Tante Agatha itu juga sayang kamu. Tante yakin dia bisa jadi mama yang baik buat kamu, yang penting kamu tetap jadi anak baik juga.”
Danish hanya bisa mengangguk. Ia sebenarnya ingin menyangkal, tetapi ia terlalu belia untuk berpikir lebih jauh. Nadira pun mengalihkan topik supaya gadis kecil itu tak larut dalam kisah sedih.
“Woi, Nadrun. Aku kirim WA gak dibales, telepon gak diangkat. Nyari mati?”
Baik Nadira maupun Danish sama-sama kaget. Omelan kasar itu datang dari seorang wanita dengan setelan jas hitam. Bibirnya yang dipulas perona merah membuat Danish sedikit bergidik.
“Angel?” sapaan Nadira terdengar keheranan, tetapi tetap tenang. Ia meraih ponselnya dan menyadari banyaknya panggilan masuk, “Duh, maaf. Aku hp di tas. Tumben kamu ke sini?”
“Tadinya aku mau ngopi gratis di sini. Ternyata tempat ini udah berubah jadi daycare,” Angel tertawa sinis lalu melirik Danish, “Anak siapa nih?”
“Temanku. Dia ada urusan dan aku bantuin dia,” Nadira bergerak menuju bar, “Double espresso kayak biasa’kan?”
Tangan Angel spontan menahan bahu Nadira sehingga wanita itu harus memutar tubuhnya, “Tunggu bentar, ada angin apa kamu mau jagain anak orang? Hmm, aku curiga deh.”
“Kamu temani Danish dulu deh, nanti aku cerita.”
Dengan tenang Nadira melepaskan tangan Angel dan berlalu. Angel pun bersungut-sungut menempati kursi di depan Danish. Sementara itu, tatapan sinis Angel membuat Danish terintimidasi. Es krim yang tadi ia makan dengan lahap, berubah menjadi sendokan pelan.
“Hai, aku Angel. Aku sepupunya Nadira,” Angel mengulurkan tangannya, “Nama kamu siapa?”
“Da—Danish, Tante.”
Angel menahan tawa saat Danish justru mencium tangannya. Bersamaan dengan itu Nadira datang membawakan secangkir kopi. Tak ayal ia mencubit keras pipi sepupunya.
“Kamu jangan galak-galak sama anak kecil, kenapa?” ia melepaskan cubitannya ketika Angel menjerit kesakitan lalu menatap Danish, “Kamu gak usah takut sama tante buluk ini. Kalau dia nakut-nakutin kayak tadi, cubit aja pipinya kayak gini.”
Nadira memberikan ponselnya pada Danish, “Sayang, kamu main hp di sini aja ya. Tante mau bicara sama tante ini di meja sebelah. Di hp tante banyak gamenya kok.”
Untungnya Danish tak membantah. Nadira pun buru-buru menarik Angel ke tempat lain. Di sana ia mulai menceritakan kenapa Danish bisa ada di sana. Lengkap dengan sosok Hamish, juga Agatha.
ooOoo
“A-ku gak bi-sa per-ca-ya i-ni.”
Nadira menatap sepupunya heran, “Memangnya ada yang salah?”
“Gak ada yang salah sih, cuma heran aja. Lebih dari satu dekade kamu gak pernah dekat dengan laki-laki dan sekarang mendadak kamu menawarkan diri sebagai pengasuh seorang teman lama yang menduda. Uwoow….” Angel terkekeh, “Pasti ada sesuatu di antara kalian.”
“Gak usah julid deh. Aku cuma mau nolongin dia aja,” Nadira melirik ke arah Danish, “Kasihan tahu sama Danish.”
“Iya, iya deh. Kamu memang pecinta anak-anak,” ujar Angel dengan nada sarkas, “Tapi tadi kamu bilang dia sudah punya pacar, gak apa tuh? Mana katamu dia model lagi.”
“Ngerti. Cuma sekali ini kok. Aku juga gak mau dicap jadi pelakor,” Nadira menghirup kopinya, “Ngomong-ngomong tujuan kamu sebenarnya mampir ke sini ada apa? Aneh banget kamu jauh-jauh ke sini cuma mau minum kopi.”
“Dih, curigaan banget sih,” Angel terkekeh sambil meletakkan cangkir ke meja, “Besok aku harus ke luar kota dan pesawat yang murah cuma pesawat pagi. Rumah kamu’kan dekat dengan bandara, jadi sekalian aja aku nginep di rumah kamu. Sekalian minta anterin besok pagi dan nitip mobil juga.”
“Wah, tagihannya gede loh,” Nadira tertawa ketika Angel mengumpat padanya. Kemudian perhatiannya teralih ketika seorang tamu datang, “Eh, aku titip Danish dulu ya. Ada pemasok buah datang.”
Angel mengangguk. Begitu Nadira beranjak, ia pun berpindah tempat duduk. Melihat ekspresi Danish yang keget melihatnya, Angel tak kuasa menahan tawanya. Kebiasaannya sebagai pengacara yang selalu membuat lawannya takut ternyata berpengaruh pada kehidupan sehari-hari.
“Hei, jangan takut. Tante gak bakal makan kamu kok,” Angel tersenyum ramah, “Kamu kelas berapa?”
“Kelas dua, Tante.”
Angel mengangguk lalu melirik game yang sedang dimainkan oleh Danish, “Eh, tante jago loh main itu. Mau diajarin gak?”
Danish menatap Angel beberapa saat. Seperti sedang menganalisis kebenaran pada kata-kata wanita itu. Selajutnya mereka berdua langsung berubah seperti dua beradik. Melihat Danish dan Angel yang berubah akrab membuat Nadira menjadi tenang untuk meneruskan pekerjaannya.
ooOoo
Pukul enam sore Hamish datang menjemput. Saat itu Danish sudah tertidur pulas. Gadis kecil itu puas bermain dan makan sepuasnya. Duet Nadira dan Angel berhasil membuat harinya menjadi menyenangkan.
“Mungkin aku harus mengajak makan malam lagi untuk membalas pertolonganmu hari ini,” ujar Hamish seraya menggendong Danish.
“Kupikir kamu juga harus mengajak Angel juga,” sahut Nadira, “Ini Angel, sepupuku. Kebetulan dia main ke sini dan ikut bermain bersama.”
“Aku Hamish. Senang bertemu denganmu dan yah, terima kasih sudah mengasuh anakku.”
Angel membalas jabat tangan, “Ehm, kayaknya aku gak asing deh denganmu. Apa kamu pernah datang ke gala dinner di Hotel Atlantis bulan lalu?”
Hamish mengangguk, “Kamu juga diundang?”
“Bukan lagi,” Angel terkekeh, “Bosku yang mengadakan acara itu dan panitia pelaksananya itu aku. Makanya aku ingat persis, siapa-siapa saja yang datang.”
“Jadi kamu bekerja di firma hukum Sianturi Family?” Hamish terpana ketika Angel mengangguk, “Owh, berarti kamu seorang pengacara? Luar biasa!”
Nadira tahu ketika Angel meliriknya berarti sepupunya itu sedang membanggakan dirinya. Ia hanya bisa mendengus sinis ketika sepupunya itu memberikan Hamish kartu nama.
“Perusahaan kita memang bekerja sama, tapi kalau kamu butuh konsultasi hukum pribadi, aku bisa diandalkan kok.”
“Wow, thank’s,” Hamish menyimpan kartu nama tersebut, “Hei, Nad. Kamu gak pernah cerita-cerita punya sepupu keren kayak dia.”
Nadira mendengus kesal.
“Kalau gitu aku permisi dulu ya. Danish harus istirahat. Terima kasih banyak buat hari ini.”
“Oke, aku antar kamu ke depan. Kamu mau ikut?” Nadira menawarkan pada Angel, tetapi wanita itu menolak halus. Kemudian mereka pun berpisah.
“Terima kas—”
“Ayolah, Ham. Aku capek dengerin kamu makasih melulu. Cukup sekali dan itu sudah mewakili semuanya.”
Hamish tersipu, “Yah, aku cuma gak nyangka bertemu denganmu ternyata membuatku terus-terusan berhutan budi. Di saat aku butuh sesuatu, kamu pasti datang. You are like an angel.”
“Angel ada di dalam,” gurau Nadira dan mereka pun tertawa.
“Aku benar-benar bersyukur. Pernah bertemu dan bertemu lagi denganmu adalah anugrah.”
Kata-kata Hamish seolah memaku langkah Nadira. Pria itu tak ada maksud lain. Itu hanya ungkapan terima kasih padanya. Namun, ungkapan itu tak ubahnya pedang bermata dua. Sekarang bilah mata yang satunya seolah mengiris hatinya.
“Aku minta maaf karena aku gak datang ketika pernikahanmu,” napas Nadira tercekat untuk mengatakan kalimat selanjutnya, “Juga waktu kematian istrimu.”
Gerakan Hamish ketika memasangkan sabuk pengaman untuk Danish mendadak berhenti. Atmosfir langsung berubah biru ketika wanita itu mengungkit masa lalunya.
“Harusnya aku bertanya, tapi kuputuskan untuk tidak menganggu privasimu. Kupikir kalian hanya bercerai dan bukan ranahku untuk bertanya ini itu, sampai tadi Danish bercerita sendiri. Aku baru tahu kalau dia meninggal ketika melahirkan Danish. Maaf… harusnya aku lebih peka. Aku gak tahu kalau kamu bersedih selama ini.”
Hamish selalu kehilangan kata-kata kalau sudah disinggung masalah istrinya. Perasaannya berkecamuk. Namun, ia juga tak bisa melampiaskan pada wanita ini. ia memang menderita, tetapi Nadira tak perlu menanggungnya. Ia memutuskan untuk memeluk wanita itu sebagi kompensasi rasa sakit.
“Aku memang kecewa. Harusnya kamu hadir ketika aku senang dan sedih. Sejujurnya aku butuh orang sepertimu saat itu,” Hamish melepaskan pelukannya, “Tapi sudahlah. Apa yang kamu lakukan sekarang sudah membayar lunas semua kekecewaanku. Kamu gak perlu merasa bersalah.”
Segaris senyum tipis Nadira ketika Hamish memberikan tatapan meyakinkan. Entah mengapa senyum itu terlihat sangat manis dan Hamish tak tahan untuk tidak mendarat sebuah kecupan kecil di pipi wanita itu. Nadira tersentak kaget, tapi ia tak berniat untuk membalas kasar perbuatan sahabatnya.
“You still my bestfriend,” ujar Hamish seraya berlalu, “Bye, Nad.”
Nadira hanya bisa tertegun. Ia berjalan gontai saat kembali masuk. Di dalam, Angel sudah menunggunya seperti polisi yang siap mengintrogasi.
“Apa perasahabatan itu harus pakai kecup-kecup manja?” Angel tetap ber Nadira mendelik galak padanya, “Well, kamu berhutang satu penjelasan padaku.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Oot
Pas SMA pasti saling suka mereka
2020-07-14
1
Kadek
jangan lupa mmpir ya kk
2020-07-09
1