Episode 3

Danish tergesa-gesa turun dari mobil. Ia menarik-narik sang ayah yang masih sibuk dengan ponselnya. Semalam ayahnya memberitahu bahwa hari liburnya akan dihabiskan di tempat Nadira. Danish sangat gembira. Bahkan ia merengek-rengek pada pengasuhnya untuk memilihkan pakaian terbaik.

Kali ini Hamish tak salah pilih hari. Pintu mahoni berlonceng itu siap menyambut siapa pun. Meski dari luar terlihat banyak pengunjung, tetapi itu lebih baik daripada harus berhadapan dengan pintu besi yang seolah memenjarakan tempat itu. Ada seorang pegawai sedang sibuk membersihkan kaca depan. Hamish tak terlalu memedulikan sampai pegawai itu memanggilnya.

“Hamish?”

Bukan seorang pegawai, ternyata itu Nadira sendiri. Wanita itu terlihat santai dengan kaus putih, celana biru selutut, dan sneakers. Rambutnya tergulung serampangan. Tak lupa alat pembersih jendela di kedua tanganya. Hamish sedikit tercengang dengan penampilan Nadira yang begitu berbeda dengan kemarin.

“Aku kira kamu pelayan.”

“Mana ada pelayan pakai celana pendek,” tawa Nadira pecah lalu tatapan beralih pada Danish, “Hei, cantik, sudah sehat?”

Danish mengangguk cepat.

“Yuk, masuk. Masa kita ngobrol di tempat panas-panas gini.”

Nadira meletakkan peralatan kebersihan selagi Hamish memilih tempat duduk. Ia sendiri yang langsung membawakan buku menu untuk kedua tamu itu.

“Wah, aku jadi gak enak ditraktir terus.”

“Dih, siapa bilang? Bisa bangkrut aku,” tawa Nadira pecah, “Tapi untuk si cantik ini boleh deh.”

“Bagus deh, soalnya dia bilang kangen sama kamu. Dari kemarin merengek-rengek ke sini.”

“Masa? Kalau gitu sini peluk tante dulu.”

Danish menatap ragu pada ayahnya. Wajah gadis kecil itu langsung gembira ketika Hamish mengangguk. Ia berlari menuju Nadira dan mendekapnya erat.

“Ayo bilang makasih sama tante sudah ditolongin kemarin.”

“Makasih ya, Tante. Sudah ngobatin aku kemarin.”

“Sama-sama, cantiiik,” Nadira tak dapat menahan rasa gemasnya pada gadis kecil itu, “Uwuu, anak kamu lucu banget sih.”

“Kayak bapaknya-lah.”

Nadira memberikan ekspresi seperti mau muntah. Mereka pun memesan makanan dan percakapan kembali berlanjut.

“Aku gak nyangka bakalan ketemu kamu di sini,” ujar Hamish.

“Banget. Aku kira kamu masih di luar negeri.”

Hamish tersenyum. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, “Gak nyangka kamu bisa jadi owner kafe.”

“Ah, ini juga baru dua tahun kok. Sebenarnya ini rumah makan punya om-ku, tapi karena kurang laris, aku rombak jadi kafe kekinian. Butuh setahun untuk ubah semua itu, malah kredit sama om-ku masih berjalan sampai sekarang.”

“Aku pikir kita bakalan ketemu di rumah sakit. Bukannya dulu kamu bilang mau jadi perawat.”

Tawa Nadira kembali membahana, “Ihh, bahas-bahas masa lalu pula. Malu jadinya. Aku tuh gak lulus ujian masuk sekolah keperawatan. Terus banting stir ke mana-mana deh.”

“Tapi kamu kuliah dulu atau langsung kerja waktu itu?”

“Ya, kuliah dulu,” Nadira seperti tak mau membahas masa itu. Topik pun langsung beralih, “Terus kamu sekarang kerja dimana?”

“Di perusahaan tekstil, Tanaka Co.”

Nadira bersiul, “Aku dengar perusahaan Jepang itu keren banget. Hmm, biar kutebak, kamu pasti seorang direktur?.”

“Sayang, ramalanmu untuk nanti. Kalau sekarang posisiku masih seorang wakil direktur,” Hamish terkekeh melihat ekspresi takjub Nadira. Ia tak mau membahas lebih dalam soal pekerjaannya dan mulai mengalihkan pembicaraan, “Ngomong-ngomong, kok kamu bisa sedia pen allergic sih?”

“Aku punya keponakan dan dia juga punya alergi yang sama. Jadi, setiap dia main ke sini, suka gak sengaja makan menu yang ada kacangnya. Padahal sudah diawasi, tapi selalu aja kecolongan. Makanya aku selalu siapin itu, soalnya dia suka mendadak datang.”

Hamish mengangguk. Ada sebuah pertanyaan yang menggantung dalam pikirannya. Ia ragu untuk bertanya, tetapi rasa penasarannya sangat besar.

“Kamu sudah menikah, Nad?”

“Belum. Juga bukan janda jika itu yang kamu pikirkan,” Nadira menjawab tenang, tetapi reaksi berbeda justru ditunjukkan oleh Hamish.

“Masa sih? Kok bisa?”

Bahu Nadira terangkat, “Karena jodoh di tangan Tuhan, Ham,” ujarnya sembari tertawa.

Bibir Hamish terkatup rapat. Sejujurnya ia masih ingin bertanya, tetapi ia yakin itu akan merusak pertemuan ini. Mungkin ia butuh momen yang intens supaya Nadira bisa memberikan jawaban pasti.

Di sela-sela perbincangan mereka, ada sebuah adegan yang menarik perhatian Hamish. Yaitu ketika Nadira mengelap mulut Danish yang kotor akibat es krim. Ia melakukannya sangat alami, seperti memperlakukan anak sendiri. Danish pun merasa sangat nyaman dan akrab dengan wanita itu. Sesuatu yang tidak pernah terjadi jika Danish bersama Agatha.

Pertemuan itu berlangsung tak terlalu lama. Ketika matahari mulai menuju ke barat, Hamish mengajak Danish untuk berpamitan.

“Tante, kalau aku datang lagi ke sini boleh gak?”

Nadira berjongkok seraya mengacak pucuk rambut gadis itu, “Tiap hari ke sini juga boleh kok.”

Danish bersorak riang. Kali ini ia tak hanya memeluk, ia spontan langsung mencium pipi Nadira. Wanita itu kaget. Namun, ia sangat suka.

“Lama-lama aku culik anak kamu,” ujar Nadira sambil melambaikan tangan ketika Danish masuk ke mobil.

“Otak kamu masih kriminal aja,” Hamish terkekeh, “Eh, kita bisa ketemuan lagi gak? Kali ini tanpa Danish?”

“Duuh, pacarmu gak bakal marah tuh?”

“Gak kok,” ujar Hamish, “Dinner ya? Hari Rabu kamu kosong’kan?”

“Kok tahu?”

“Aku pernah ke sini hari Rabu dan ternyata sepi.”

Nadira tertawa terbahak-bahak. Tawanya masih membahana bahkan ketika mobil Hamish sudah melaju pergi.

Terpopuler

Comments

Aniest.nisya

Aniest.nisya

semngat thor..

maaf baru mampir ya thor..

sukses slalu🧡

2020-08-19

1

Oot

Oot

Waduhhh, clbk nihhhhhh 😁😁😁

2020-07-14

1

Elisca Desvira

Elisca Desvira

Nadira penyayang sama anak-anak..

2020-07-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!