Kali ini Hamish disambut dengan penampilan chic Nadira. Ketika ia menjemput di kafe, Nadira terlihat santai dalam balutan jumpsuit bergaris dan heels yang cukup tinggi. Rambutnya diikat setengah dan tak lupa antingan bulat besar menghiasi wajahnya. Riasannya tak terlalu tebal dan sangat pas untuk diajak makan malam spesial.
“Aku pikir kamu bakalan pakai kaus dan sneakers lagi kayak kemarin.”
“Niatnya sih gitu,” Nadira terkekeh, “Ngomong-ngomong kita mau ke mana dulu?”
“Sebenarnya aku mau ngajak kamu nonton dulu kalau belum lapar,” Hamish mulai menjalankan mobilnya, “Will Smith lagi main film detektif loh.”
“Ihh, tau aja aku belum nonton film itu.”
Hamish sedikit jemawa saat Nadira memujinya. Dari dulu mereka suka nonton film bersama teman-teman yang lain. Mereka menyukai segala genre film dan hampir tiap pekan mereka menghabiskan waktu di bioskop.
Dua jam berlalu dan ketegangan film itu masih terasa. Sepanjang perjalanan menuju restoran mereka masih membahasnya. Bahkan menghubungkan dengan film dan aktor yang lain. Topik mengenai film itu selesai ketika pelayan memberikan buku menu. Hamish pun memulai perbincangan yang bersifat pribadi.
“Eh, kamu kuliah dimana sih? Kok gak ada yang cerita pernah satu kampus dengan kamu.”
“Aku kuliah di salah satu universitas swasta dan ngambil jurusan MIPA biologi. Memangnya kenapa?”
“Habisnya kamu kayak menghilang di telan bumi selepas kuliah. Kita putus kontak setelah dua tahun berpisah. Kamu jarang balas email aku. Terus walaupun kamu punya medsos, kayaknya kamu gak terlalu aktif. Kamu juga gak datang pas reuni lima tahun lalu dan sejujurnya aku ragu, waktu itu kamu datang gak ke pernikahanku. Gara-gara itu aku pikir kamu udah meninggal.”
Nadira tertawa terbahak. Bersamaan dengan itu seorang pelayan mengantarkan minuman. Ia menyeruput minumannya sebelum menjawab pertanyaan Hamish.
“Bisa dibilang itu masa-masa sulitku. Aku dihadapkan pada suatu masalah yang besar dan membuatku merasa harus menarik diri dari orang-orang yang pernah mengenalku. Kuakui aku minder dengan kalian yang menikmati masa-masa muda.”
“Nah, sekarang’kan kamu sudah sukses. Punya kafe lagi. Kenapa gak mencoba untuk menghubungi teman-teman lama?”
“Mungkin karena aku terlalu lama menghindari kalian, jadi pasti canggung kalau harus berkomunikasi lagi. Apalagi di umur kita sekarang dengan statusku yang masih melajang, tentu akan menjadi big issue yang gak enak didengar.”
“Lah, terus kenapa kamu masih jomblo aja sampai sekarang? Kamu cantik, pintar, dan sukses. Kalau masalahnya cuma calon, aku bisa combalangin kamu dengan cowok-cowok keren di kantor atau kenalanku. Sebut aja tipenya, aku bisa cariin.”
Nadira tertawa seraya mengibas-ngibaskan tangannya, “Percuma, Ham. Aku gak tertarik sama cowok.”
“Ka—kamu lesbian sekarang?” Hamish menatap Nadira tak percaya, tapi tawa sahabatnya itu seperti membantah prasangkanya.
“Orang-orang di sekitarku akan lebih bersyukur kalau aku seorang lesbian.”
“Bentar, bentar,” wajah Hamish yang berkerut menandakan bahwa ia sedang berpikir serius. Ekspresinya penuh selidik, “Jangan bilang kamu…” Hamish memelankan suara dan mendekatkan wajahnya, “A—aseksual?”
Kali ini Nadira tak bisa ledakan tawanya. Pengunjung yang ada di sana sampai menoleh ke arah mereka. Ia pun terpaksa menahan dengan konsekuensi air matanya tak berhenti mengalir.
“Apa statusku sebegitu pentingnya bagimu, Ham?” ujar Nadira seraya menghapus air matanya. Hamish terlihat cemberut karena ia menjawab sambil bercanda.
“Aku cuma pengen tahu keadaanmu. Mungkin banyak yang berubah sejak kita berpisah.”
“Ayolah, kita sudah di umur 35. Biarkan orientasi seksual menjadi rahasia masing-masing. Kamu bebas menganggapku lesbian atau aseksual, dan aku tidak akan terganggu.”
Meski Nadira menjawabnya dengan ringan, tapi Hamish masih ingin menyelediki lebih jauh. Perhatiannya terpecah saat pelayan mengantarkan makanan.
“Kamu yakin pacarmu, eh siapa namanya, oh iya, Agatha, gak bakal cemburu?”
Hamish sedikit lega saat Nadira kembali berbicara, “Gak apa. Dia lagi di luar kota. Ada fashion show katanya.”
“Wow, dia model? Hebat juga kamu nyari cewek dan aku yakin mamanya Danish pasti lebih cantik.”
“Begitulah,” Hamish menatap heran Nadira, “Kamu gak penasaran dengan mamanya Danish, maksudku yaa… tentang statusku sekarang.”
“Waktu kamu memperkenalkan Agatha, aku sudah yakin kalau statusmu adalah duda. Karena aku yakin, kamu bukan tipe-tipe lelaki mau dan bisa berpoligami,” Nadira tertawa, “Aku gak bakal tanya kenapa kamu harus kehilangan istrimu. Pasti sangat berat untuk cerita dan kita baru saja ketemu. Gak etis rasanya kalau harus nanya-nanya masalah yang kayak gitu.”
“Wah, kok aku jadi ngerasa bersalah banget ya, pas nanya-nanya statusmu.”
“It’s okay, itu cuma kebiasaan kita aja,” ujar Nadira, “Sejujurnya aku lebih penasaran dengan nama anakmu. Bisa-bisanya kamu kasih nama Danish, padahal dia cantik banget.”
“Iya sih, namanya memang laki banget, tapi sebenarnya itu gabungan dari nama kami berdua. Daniar dan Hamish. Kalau digabung jadi Danish.”
Akhirnya Nadira mengangguk puas. Ekspresinya menunjukkan seperti seorang arkeolog yang menemukan mumi Firaun.
“Kamu sendiri kenapa namain kafe kamu dengan nama granny? Apa ada hubungannya sama nenekmu?”
“Oh, kalau itu sih lucu,” Nadira bahkan sudah tertawa lebih dulu sebelum menjelaskan, “Jadi, gini. Aku tuh suka banget nonton film sejarah. Saking ngefansnya, aku pengen punya rumah yang bentuknya jadul-jadul gitu. Nah, waktu aku ambil alih tempat itu, aku jadi kepikiran untuk desain arsitekturnya dengan gaya jadul tadi. Pas hampir selesai, keluargaku pada datang. Terus mereka bilang seleraku kayak nenek-nenek. Ya udah deh, aku namain aja jadi granny. Sesuai sama seleraku.”
Hamish ikut tertawa, “Tapi penampilanmu gak kayak nenek-nenek tuh.”
“Kalau dandanan sih suka-suka. Kadang aku juga bisa kayak nenek-nenek.”
“Gak kok. Kamu cantik. Terutama malam ini.”
Mendadak Nadira kehilangan kata-kata setelah Hamish dengan santai memujinya. Pipinya perlahan merona. Ia hanya bisa tertawa untuk menghilangkan kecanggungan.
ooOoo
“Oh ya, Ham. Sekarang kamu tinggal dimana?”
“Di Sakura Townhouse. Kenapa nanya-nanya?”
“Loh, sekarang’kan kamu mau nganter aku pulang. Kamu bakal tahu rumahku, tapi masa aku gak tahu rumahmu. By the way, rumahmu elite juga di situ.”
Hamish tak menanggapi kalimat terakhir Nadira. Ia berfokus pada stirnya seraya menyetel lagu. Nadira kembali bersemangat karena lagu-lagu yang diputar adalah yang sering mereka dengarkan ketika SMA. Mereka bersenandung ria dan sesekali mengikuti gerakan sesuai video klip.
Mobil mereka berhenti di salah satu lampu merah. Hamish mengecilkan volume karena ada sebuah panggilan untuknya. Dari cara bicaranya Nadira menebak kalau si penelepon adalah Danish. Namun, setelah menutup telepon wajah Hamish berubah murung. Bersamaan dengan itu lampu hijau menyala dan mobil pun kembali melaju.
“Ada masalah?” tanya Nadira hati-hati.
“Danish, ya biasalah anak kecil lagi merajuk,” ujar Hamish, “Dia bilang, gak bakal mau pentas kalau aku gak datang. Padahal besok ada meeting penting.”
“Pentas apa?”
“Balet. Dia semangat banget waktu latihan. Cuma aku gak tahu kalau dia mengharap sama aku banget. Duh, mana Agatha lagi di luar kota.”
Nadira hanya tersenyum tipis seraya menepuk ringan bahu Hamish. Mendadak perhatian Nadira tertuju pada sebuah baleho yang menampilkan seorang aktor Korea. Pria itu menjadi brand ambassador sebuah deodorant. Tentu saja bagian tubuh depannya sengaja dibuka agar terlihat lebih menarik. Aktor tersebut adalah idola Nadira
sejak dulu, maka tak heran jika ia memilih memperhatikan baleho itu ketimbang Hamish yang ada di sampingnya.
“Ngeliatin oppa-oppa, Nad?”
Nadira tersentak sembari terkekeh malu, “Duh, ketahuan deh,” ia buru-buru menambahkan sebelum Hamish mengejeknya, “Iya, iya, aku tahu kalau aku terlau tua untuk ngefans korea-korean, tapi dia sudah jadi idolaku sejak dulu. Sampai sekarang belum ada oppa yang lebih keren dari dia. Gara-gara dia, aku jadi tergila-gila sama cowok sixpacs.”
Hamish seperti mendapat sebuah pencerahan dari kata-kata Nadira barusan. Namun, ia menunda membicarakannya sampai mobil tersebut tiba di depan pintu pagar rumah Nadira.
“Thank’s ya, Ham. Makan malamnya enak banget. Filmnya juga oke punya.”
“Gak sebanding dengan pertolonganmu selama ini.”
“Apaan sih, Ham? Aku cuma tolong sekali kok.”
Hamish mengeluarkan jemarinya seperti berhitung, “Kamu itu ya, cantik, baik, pintar, dan suka menolong,” kemudian ia menyimpan semua jarinya, “Tapi sayang pelupa.”
Nadira hanya menggeleng heran seraya keluar dari mobil. Sebelum pergi, Hamish menyempatkan diri untuk mengatakan hal yang dari tadi mengganggu pikirannya.
“Nad, aku gak percaya kalau kamu lesbian apalagi aseksual. Kamu masih sama seperti dulu.”
Mobil Hamish berderu kencang dan meninggalkan Nadira yang terheran-heran di depan pagar. Masih dengan keheranannya, ia memutuskan untuk masuk. Begitu sampai di kamar, ia langsung menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Setelah mengurus kafe dari pagi dan menghabiskan jalan-jalan malamnya, ternyata membuat tubuhnya cukup kehabisan energi.
‘Lah, terus kenapa kamu masih jomblo aja sampai sekarang? Kamu cantik, pintar, dan sukses….’
Itulah alasannya kenapa Nadira malas berhubungan dengan orang-orang dari masa lalu. Kalau bukan karena Danish, mungkin ia juga sudah menghindari pria itu. Sayangnya, Danish terlalu imut untuk diabaikan.
‘Nad, aku gak percaya kalau kamu lesbian apalagi aseksual. Kamu masih sama seperti dulu.’
Kata-kata Hamish terus menguasai pikirannya. Ia menghela napas seraya beringsut dari tempat tidurnya. Langkahnya terhenti ketika sebuah cermin besar memantulkan wajah dan seluruh anggota tubuhnya.
‘…. Kamu cantik. Terutama malam ini.’
Nadira hanya bisa tersenyum melihat bayangan dirinya pada cermin. Dirinya masih bergejolak tiap kali ia menerima pujian. Ia harus terus berusaha untuk berdamai pada ketidaksempurnaan yang ada dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Ayunina Sharlyn
semangat thor...
salam Yuana stay with me
2020-07-14
1
Elisca Desvira
kekurangan apa Thor,.. apa mungkin Nadira pernah sakit.. terus gak bisa punya anak..
2020-07-13
1
Kadek
nitip rate 5 ya kk
2020-07-09
1