16

Yudistira keluar dari ruang meeting diikuti oleh Arkan sekretarisnya. Ada banyak agenda yang dibicarakan hari ini, hingga meeting yang seharusnya dijadwalkan hanya selama satu jam, molor menjadi dua jam.

Ada banyak hal yang membuat Yudistira merasa tidak puas. Salah satunya adalah laporan dari kepala manajer keuangan. Ada indikasi adanya penyelewengan dana, dan itu membuat pria berumur dua puluh delapan tahun itu murka.

Kepala manager langsung dipecat secara tidak hormat saat itu juga. Selain itu juga diharuskan mengembalikan dana perusahaan yang telah diambil, berikut dengan dendanya. Hanya ada dua pilihan, bayar denda atau di blacklist dari seluruh perusahaan. Itu tentu ancaman yang bukan main-main. Yudistira tidak pernah bermain-main dengan keputusannya.

Mungkin sang manajer lupa, atau mungkin juga terlena. Menganggap dirinya tak akan ketahuan. Atau mungkin juga merasa bahwa Yudistira tidak akan bertindak padanya, karena statusnya yang adalah paman jauh dari sang CEO.

Sayangnya dia salah. Tidak ada nepotisme dalam kamus Yudistira.

Berjalan dengan masih menahan kesal dan kemarahannya. Yudistira segera masuk ke dalam ruangannya diikuti oleh Arkan. Dia harus meletakkan beberapa berkas yang dibawanya ke meja sang CEO.

Sesampainya Yudistira di ruang kerjanya, dia langsung duduk begitu saja di kursi kebesarannya. Tanpa menoleh ke kiri maupun ke kanan. Rasa marahnya masih menggumpal di dada. Rasanya memecat Heru Prayogo, pamannya itu tidak cukup membuatnya merasa puas.

“Saya meletakkan berkas Anda di sini, Tuan.” Arkan sang sekretaris segera menata berkas yang dia bawa dari ruang rapat ke meja Yudistira.

“Hemm,” jawab Yudistira tanpa membuka mulut.

“Saya akan menyuruh seorang OB untuk membawakan Anda teh hijau.” Arkan tahu tuannya masih berusaha menahan emosi.

“Hemm.” Lagi-lagi hanya jawaban singkat yang didapat oleh Arkan. Pria berusia dua puluh tujuh tahun kepercayaan Yudistira itu pun segera berlalu dari hadapan tuannya.

Arkan yang hampir membuka pintu dan hendak keluar menghentikan langkahnya. Tatapannya beralih ke sebuah sofa panjang di sudut ruang. Kenapa ada seorang wanita tertidur di sana. Sejak kapan ruangan ini boleh dimasuki oleh seorang wanita? Pertanyaan-pertanyaan bermunculan di dalam benaknya.

“Tuan?” Arkan kembali membalikkan badannya dan menatap ke arah Yudistira.

Yudistira yang semula bersandar sambil memejamkan matanya kembali membuka mata dan menatap ke arah sekretaris yang memanggilnya. Tatapan matanya seolah bertanya, “Ada apa?”

Arkan tidak menjawab tetapi pandangan matanya mengarahkan tuannya untuk melihat ke arah sofa.

Yudistira mengeraskan rahangnya. Dia jelas mengenal siapa yang sedang tertidur di sofa. Parwati Dewi, gadis yang gemar berlenggak lenggok memamerkan lekuk tubuhnya di atas catwalk. Membiarkan setiap mata menikmati tubuhnya. Pekerjaan yang sangat dibenci oleh Yudistira.

Pria itu bangkit dari tempat duduknya lalu mendekat ke arah sofa di mana model cantik masih tertidur pulas. Berdiri di berkacak pinggang tepat di depan sofa. Dan memandang Parwati Dewi dengan raut datarnya.

Dan entah apakah karena kelelahan, memang benar-benar mengantuk, ataukah karena begitu nyamannya ruangan Yudistira. Parwati Dewi bahkan tidak menyadari kehadiran orang dalam ruangan itu. Bahkan sama sekali tidak mendengar percakapan antara Yudistira dengan sekretarisnya.

“Ambilkan aku segayung air!” Perintah Yudistira tanpa menoleh ke arah sekretarisnya.

“Maaf, untuk apa?”

Yudistira menoleh dan menatap tajam ke arah sekretarisnya. Arkan menggaruk tengkuknya merasa telah melakukan kesalahan besar. Peraturan jika berhadapan dengan sang CEO adalah, hanya harus melakukan perintah tanpa bertanya. Dan kali ini dia salah.

“Maaf.”

Arkan pun segera melangkah menuju kamar mandi sang CEO, untuk melakukan perintah, dan beberapa saat kemudian sudah keluar dengan membawa apa yang diminta oleh atasannya itu. Walaupun bingung untuk apa tetapi dia seperti bisa menduga-duga. Segayung air untuk orang yang sedang tidur. Memangnya apalagi jika bukan untuk…

“Ini, Tuan!” Arkan mengulurkan tangannya menyerahkan apa yang telah dibawanya dari kamar mandi. Yudistira menerimanya dengan gerakan cepat sehingga ada sebagian dari air yang memenuhi gayung tercecer. Yudistira tidak peduli dan sedetik kemudian…

Byuurr…

“Aaaa…. hujan… hujan… hujan…” Parwati Dewi, si gadis model yang sedang naik daun, yang katanya terkenal hingga ke internasional. Terbangun dari tidurnya dan berteriak dengan kencang. Dia gelagapan karena segayung air menyiram wajahnya.

Arkan menerima kembali gayong yang telah kosong dari tangan atasannya, mundur beberapa langkah sambil menelan ludahnya dengan susah payah. Sebagai orang yang telah mendampingi Yudistira selama tiga tahun, dia memang sangat tahu bahwa Yudistira adalah orang yang kejam.

Seperti apa yang ada di hadapannya saat ini. Parwati Dewi adalah seorang wanita. Dan Yudistira sama sekali tidak melihat hal itu sebagai bahan pertimbangan.

Parwati Dewi terdiam saat menyadari apa yang terjadi. Mengusap wajahnya basah kuyup, sambil menatap Yudistira yang berdiri dengan raut dingin di hadapannya.

“Apa yang kau lakukan padaku?” Parwati Dewi menatap ke arah Yudistira dengan raut sedihnya. Wanita itu menggelengkan kepalanya, tidak percaya lelaki di hadapannya bisa melakukan hal seperti ini padanya.

“Bangun dan pergilah! Aku tidak suka orang yang lancang!”

Parwati Dewi menggelengkan kepalanya mendengar ucapan dingin pria di hadapannya. Kapan pria ini baru bisa bersikap manis padanya. Apa yang harus dia lakukan agar bisa menarik hati pria ini. Ini bahkan sudah bertahun-tahun. Tetapi sedikitpun dia tidak bisa menarik perhatiannya.

Parwati Dewi menoleh ke arah sekretaris Arkan yang berdiri tak jauh dari Yudistira. “Tinggalkan kami berdua, ada yang ingin aku bicarakan dengannya,” perintah Parwati. Wanita itu bahkan menebalkan muka. Yudistira benar-benar telah menjatuhkan harga dirinya bahkan dihadapan sekretarisnya. Parwati tidak mau lagi ada orang yang melihat ketidak sukaan Yudistira padanya.

Arkan bergeming dengan dua tangan terlipat di belakang punggung. Baginya yang utama adalah perintah dari sang CEO. Jika Tuan Yudistira tidak menyuruhnya untuk pergi, itu artinya dia harus tetap berada di sana.

Parwati Dewi mendengus kesal melihat sikap Arkan, tetapi bodo amat.

“Kapan kau bisa membuka hatimu untukku? Apa sedikitpun aku tidak memiliki nilai lebih di matamu?” Parwati Dewi menghiba.

“Aku bilang pergilah! Jangan menunggu ku habis kesabaran!” Yudistira tetap dengan raut dinginya.

“Kenapa? Aku datang ke sini untuk mengunjungi tunanganku. Apa itu tidak boleh?” Wanita itu bangkit, lalu berdiri tepat berhadapan dengan Yudistira. “Atau jangan-jangan kau lupa kalau kita sudah bertunangan?” Parwati Dewi berbicara sambil mengusap air matanya.

“Kamu. Hanya Kamu, dan bukan aku. Tidak akan pernah ada kita diantara Aku Dan Kamu. Hanya kamu yang menganggap bahwa kita sudah bertunangan. Ingatlah bahwa aku tidak pernah menerima perjodohan yang diajukan oleh ayahmu.” potong Yudistira.

“Kenapa? Berikan aku satu alasan saja. Apa yang membuat aku tak pernah bisa meraih hatimu. Kita bahkan sudah bersama sejak kecil, dan aku selalu berusaha untuk menjadi yang unggul di antara semua, hanya agar aku bisa menarik sedikit saja perhatianmu. Atau mungkin ada orang lain yang menjadi penyebab kau bersikap seperti ini padaku?”

“Tidak ada alasan apapun. Aku hanya tidak bisa menyukaimu. Dan tidak akan pernah bisa.”

“Katakan wanita mana yang membuat kau tidak bisa berpaling padaku!”

“Parwati Dewi! aku ingatkan padamu! Jangan pernah mengikut campur urusanku. Jangan pernah menguji batas sabarku." Yudistira merasa geram karena menurutnya Parwati terlalu lancang.

"Ayahmu baru saja membuat masalah di ruang meeting. Aku tidak memberikan hukuman lebih karena masih memandang kalian sebagai keluarga jauh ayahku. Apa kau ingin aku membuat kau dan keluarga kalian semua menjadi gembel?” teriaknya marah.

“Apa, Apa maksudmu? Kesalahan apa yang telah dibuat oleh ayahku?”

“Pulang dan tanyakan itu pada ayahmu! Atau kau ingin ada security yang mengantarmu?” Yudistira mundur dari tempatnya berdiri.

“Arkan! panggil security ke sini untuk menyeretnya keluar dari tempat ini!” perintahnya pada sang sekretaris.

“Baik.”

“Tunggu!” Parwati Dewi berseru sebelum Arkan benar-benar memanggil security. Dia masih punya otak. Jika dia keluar dari sini dengan diseret oleh security, maka hancurlah reputasi dia di hadapan karyawan Yudistira.

Wanita itu mengambil tisu dari tas tangannya untuk membersihkan wajahnya yang tadi disiram dengan kejam oleh Yudistira. Lalu beranjak pergi setelah merapikan diri.

“Aku tidak akan menyerah. Apapun caranya aku harus bisa bersanding dengan Yudistira,” gumam Parwati itu sepanjang perjalanannya. Gadis itu memasang senyum ceria di wajahnya. Tak ada yang boleh tahu bahwa dia baru saja diusir. Tak ada yang boleh tahu kalau Yudistira bersikap tidak baik padanya.

“Apa yang sebenarnya baru saja dilakukan oleh ayahku? Kenapa Yudistira sepertinya benar-benar marah?”

Terpopuler

Comments

tse

tse

bikin pengumuman bahwa wanita yang bernama sapa tadi itu..tidak boleh masuk ke perusahaannya lagi selamanya....

2024-11-09

3

Noey Aprilia

Noey Aprilia

Ya ampyuuunnn....
mdel intrnsional d guyur air s'gayung?????kbyang dong gmn???
lgian,ngeyel sihhh....udh d ksih tau yudistira ga ska sm dia,mna bpknya jg kthuan korupsi....
mstinya malu woooyyyy.....

2024-11-09

1

Cicih Sophiana

Cicih Sophiana

gak punya malu aja cewe sampe merendahkan diri di depan ciwo..

2024-11-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!