2.

Sebagai hadiah ulang tahun ke sembilan belas, Rodrigo menyiapkan kado amat mahal untuk Dyon cucunya. Mereka bahkan terbang jauh ke Berlin dari Paris demi survey langsung tempatnya.

"Selamat datang di tempat kami tuan Rodrigo, dan tuan Dyon." Sambut pasangan suami istri pemilik yang hendak menjual lahannya.

"Terima kasih, tuan dan nyonya Hoffmann. Tempatmu lebih bagus dari sebuah foto di website. " Puji Rodrigo usai berjabat tangan, tak lupa Dyon juga melakukannya demi sopan santun.

"Kami akan mengajak anda berkeliling, mari." Sunny mempersilahkan tamu penting mereka meninggalkan beranda menuju kandang kuda, tempat latihan hingga padang  rumput sebagai pakan alami.

Sementara di sebuah kamar, seorang pria tengah sibuk mengacak-acak isi lemari pakaian. Mencari benda yang sangat ingin dia miliki, apalagi kalau bukan sebuah dokumen bernilai tinggi.

"Sial, dimana Rodiles menyembunyikan sertifikat itu? Bahaya jika dia yang menyimpannya." Umpat nya, yang tak lain adalah Gerald.

Mendengar sebuah percakapan samar-samar, Gerald bergegas keluar mencari sumber suara. Ternyata niat orang tuanya menjual peternakan kuda bukan omong kosong belaka. Buktinya sudah ada calon pembeli di sana.

"Fuck Hoffman! " Gerald menggeram kesal memperhatikan keempatnya dari jauh. Tampak berbicara serius guna mendapat kesepakatan.

Sejujurnya Gerald tidak benar-benar dalam mengancam Hana. Dia hanya tidak ingin Hana keluar dari keluarga Hoffman. Maka dari itu Gerald perlu memegang satu-satunya alat untuk mengancam Hana maupun orang tuanya. Jika sudah laku, Gerald akan kehilangan satu-satunya alasan untuk tetap dekat dengan Hana.

Ya, Gerald memiliki perasaan pada gadis yang di asuh oleh orang tuanya sendiri. Sejak memasuki rumah, Gerald sudah terpikat pada Hana kecil yang saat itu berusia sepuluh tahun.

Yang pasangan Hoffman pikir, Gerald menginginkan tempat itu karena tak mau berbagi dengan Hana soal warisan. Nyatanya putra mereka telah jatuh cinta pada adik angkatnya. Gerald tidak kekurangan uang sama sekali, dia memiiki dua jalur pemasukan. Baik bersih maupun kotor.

"Aku terserah cucuku. Jika dia suka aku akan membeli nya. " Kesimpulan Rodrigo di akhir perbincangan. Mereka tengah mencicipi susu pasteurisasi hasil dari peternakan. Selain kuda, ada juga sapi.

"Kami ambil. Terima kasih grandpa. " Ucap Dyon, keputusannya sudah bulat tentang rencana pengembangan kedepannya.

"Ge, kemarilah! Mereka adalah pemilik baru peternakan kita." Teriak Tuan Albert sengaja, meminta anak semata wayangnya mendekat.

"Dia Gerald Hoffman, putra kami." Kata Sunny memperkenalkan Gerald pada Rodrigo dan Dyon.

Dyon merasa familiar melihat wajah Gerald yang tampak dingin dan menyeramkan. Dia perlu mencari tahu informasi mengenai pria yang kini berdiri angkuh, kedua tangannya berada di dalam saku jaket kulitnya.

"Sayang sekali, aku tidak berniat menjualnya. Kalian pulang saja! " Perintah Gerald seenaknya. Dyon mengernyit heran, apa maksud pria itu?

"Maaf tuan Gerald, tapi orang tua anda sudah setuju. Lagi pula semua dokumen sudah berada di perjalanan menuju kantorku, uangnya sudah kami transfer barusan. " Rodrigo menjelaskan secara terperinci proses jual beli tersebut bukanlah sebuah permainan.

"Oh ya? Kita lihat saja, aku akan mengajukan gugatan pengadilan untuk mendapat kembali apa yang menjadi milikku." Tatapan tajam Gerald tertuju pada orang tuanya. Dia marah, kenapa mereka tega menjual rumah penuh kenangan sejak dirinya bayi.

"Cukup Ge! Ini masih atas nama diriku. Aku yang berhak mengaturnya." Sunny juga tak rela sejujurnya, tapi ini semua demi ketentraman masa depan Hana maupun Gerald.

Di tengah suasana tegang, deru mobil Hana mengalihkan perhatian semua orang. Keterkejutan tampak jelas dalam sorot mata Dyon, namun segera ia berhasil mengendalikan dirinya.

"Nek, kakek, uncle ada apa? " Tanyanya polos, melihat sekilas entitas pria dingin berdiri diantara keluarganya.

"Hana, maaf. " Satu kata dari mulut kakek Albert sudah mampu menjelaskan maksud pertemuan itu. Hana sedih, bagaimana bisa mereka menjualnya dengan mudah?

Dengan begitu Gerald akan semakin membencinya.

"Ini semua gara-gara kau Rodiles! " Gerald bergegas mendekat, menarik paksa lengan Hana menjauh menuju taman belakang rumah. Langkah kakinya nyaris tak seimbang mengikuti kecepatan Gerald.

"Uncle lepas, sakit. " Pinta Hana berusaha melepaskan cengkraman Gerald. Kantung belanjaan berbahan karton bahkan tergeletak begitu saja di hadapan Dyon.

Ingin rasanya Dyon menyusul mereka, menyelamatkan Hana dari sikap keras pria yang ternyata pamannya.

"Nona tadi satu kampus dengan cucuku." Beritahu Rodrigo, dia bisa melihat kedua tangan Dyon mengepal kuat seakan tengah menahan amarah.

"Hana adalah putri asuh kami, dia juga membantu mengurus saat sekolahnya libur." Ungkap Sunny menjelaskan.

"Jika berkenan, anda dan tuan Dyon bisa menikmati makan malam di rumah kami. Ada dua kamar kosong di paviliun, seharusnya nyaman untuk menunggu esok hari. " Albert menawarkan penginapan demi memecah suasana canggung.

Dyon berjongkok, merapikan isi belanjaan Hana yang berceceran. Dia sempat memegang bra berenda yang masih terbungkus plastik. Dari ukuran Dyon tahu itu milik Hana.

"Grandpa bisa kembali ke hotel bersama Driver. Aku masih ingin melihat-lihat." Dyon menjawab lebih dulu dibanding Rodrigo.

"Baiklah, enjoy your time. Aku akan pamit." Setelah menepuk punggung sang cucu, Rodrigo lantas beranjak menuju tempat parkir. Tak lupa berpamitan pada suami istri Hoffman.

Dyon malah mencari keberadaan Hana dan pamannya. Menuju taman belakang rumah, pemisah antara kediaman utama dan Paviliun.

"Uncle, ini salahku. Seharusnya aku tidak mengirim dokumen begitu saja, tapi mereka bilang untuk memindahkan atas namamu." Sejak tadi Hana berusaha meyakinkan Gerald yang marah besar, ternyata benar Hanalah yang menyimpan sertifikat tanah selama ini.

"Dengar Rodiles, sejak kau menginjakkan kaki dirumah ini hidupku jadi berantakan. Aku terpaksa keluar dari rumah, kehilangan hakku atas tanah ini dan kau... " Tangan Gerald terayun ke arah leher Hana untuk mencekik, namun segera Dyon menahannya erat.

"Jangan sentuh dia! " Kata Dyon penuh penekanan. Maksudnya, Dyon tidak suka ada pria berani memukul seorang gadis. Apalagi Hana sepertinya bersikap baik pada Gerald.

"Kau hanya orang asing yang tidak tahu apa-apa. Pergi kau! " Balas Gerald tak mau kalah.

Gerald hendak melayangkan tinju ke wajah Dyon jika Hana tidak melerai.

"Stop uncle! " Teriak Hana. "Tolong jangan lakukan itu, dia temanku. " Aku Hana. Dia merutuki ucapannya, bisa-bisa Dyon marah karena dia sok akrab padanya.

Gerald tidak suka Hana membela pria lain di hadapannya. Tak ingin kecemburannya terbongkar, dia akhirnya memilih pergi meninggalkan mereka berdua.

"Tolong maafkan Gerald. Dia pria baik, hanya... "

"Emosi." Potong Dyon dingin.

"I guess, ya. " Lirih Hana hampir tanpa suara.

"Dyon... " Panggil Hana menghentikan langkah Dyon yang ingin pergi. " Selamat, karena kau telah menjadi pemilik baru peternakan ini." Lanjutnya.

Tak ada tanggapan dari pria itu, membuat Hana mendesah frustasi. Dyon memang tipe pria dingin dan irit bicara. Padahal Hana hanya berniat menjalin keakraban.

***

Menjelang malam harinya, Hana membantu Sunny memasak di dapur. Membuat pizza homemade, apple pie, hingga menata meja makan. Katanya dinner kali ini spesial, tapi Hana tidak banyak bertanya.

"Hana, panggil temanmu untuk makan bersama. " Perintah Albert, dia baru dari gudang anggur setelah setengah jam memilih yang terbaik untuk menyambut pemilik baru.

"Teman? " Hana belum mengerti.

"Ya Tuhan anak ini,,, " Sunny memukul lengan Hana yang kini mengaduh pura-pura kesakitan.

"Teman kampusmu, dia pemilik baru tempat ini Hana. Tuan Dyon ada di paviliun nomer satu, cepat panggil." Hana pikir Dyon sudah pergi sejak tadi, ternyata dia tinggal.

"Baiklah nek. " Akhirnya Hana pasrah menuruti.

Hana menyusuri jalan setapak menuju paviliun. Ia begitu cantik meski hanya mengenakan crop rajut putih dan celana bahan berwarna senada. Ada tiga kamar yang biasa di sewakan ketika pengunjung merasa terlalu malam untuk kembali ke kota. Dyon memutuskan menginap hanya demi melihat Hana lebih lama.

Entahlah, dia merasa penasaran terhadap gadis itu.

Tok tok tok...

Sudah tiga kali Hana mengetuk pintu, namun tidak ada sahutan dari dalam. Alhasil Hana membukanya begitu saja.

"Sorry... " Segera Hana berbalik saat melihat Dyon baru selesai mengenakan kain pembungkus miliknya.

"Kau ternyata lebih tidak sopan dari yang aku kira, nona Hoffman. " Sindir Dyon tanpa ragu. Tangannya tetap bekerja, memakai kaos dan celana bahan hitam.

"Um, ya. Itu salahku, sungguh maafkan aku." Hana mengakui attitudenya tadi memalukan.

"Apa kau juga sering melihat pamanmu bertelanjang? " Hana membalikkan badan, melayangkan tatapan tajam pada Dyon.

"Kami tidak tinggal satu atap, jangan asal menghina." Tak Terima, Hana memberanikan diri melawan Dyon si dingin dan kaku.

"Pergilah, aku akan menyusul." Malas berdebat, Dyon mengusir Hana dari kamarnya.

Tanpa kata Hana keluar dengan membanting keras pintu kamar. Dia benar-benar marah pada Dyon yang sok tahu, merendahkan dirinya seenak jidat.

"Ya Tuhan, dia pikir dia siapa? Menyebalkan." Tangannya mengepal memukul udara melampiaskan kekesalan.

"I can hear you... " Suara Dyon terdengar mendekat dari arah belakang.

"Whatever." Balas Hana memutar bola matanya jengah.

Sudut bibir Dyon tertarik melihat tingkah seorang Hana Rodiles. Dia sangat menikmati suasana di tempat baru miliknya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!