Pagi itu, cahaya matahari menyelinap pelan melalui jendela kaca Kastil Elowen. Burung-burung berkicau di kejauhan, dan embun pagi masih menggantung di pucuk-pucuk daun. Namun Eveline tak bisa menikmati ketenangan itu. Hatinya lah yang lebih gaduh dari pagi manapun.
Ia berdiri di hadapan cermin antik, memandangi wajah yang belum sepenuhnya ia terima sebagai dirinya. Rambut perak panjang menjuntai lembut melewati bahunya, dan mata biru bersinar yang menatap balik padanya tampak seperti milik orang lain. Wajah cantik dengan kulit pucat tanpa cela itu kini adalah dirinya, tubuh Eveline Eldoria, karakter minor dalam novel "Want to Be a Princess."
Eveline dari dunia modern tak pernah menyangka bahwa kelulusannya dari Oxford akan berakhir di tubuh tokoh yang seharusnya telah lama mati. Namun, hidup terus berjalan, bahkan di dunia yang asing.
Meskipun dunia ini tampak penuh dengan aturan dan kekuatan yang sudah ada sebelumnya, ia tahu satu hal yang pasti: uang adalah kunci untuk mengubah takdirnya. Wanita hanya bisa dijodohkan untuk keperluan politik dan kedudukan mungkin menjadi takdir yang tidak bisa dielakkan dalam dunia novel ini, tetapi itu tidak berarti ia harus menyerahkan seluruh hidupnya begitu saja pada keadaan.
Tak tahan lagi hanya berdiam diri, Setelah bertanya-tanya kepada anna tentang wilayah-wilayah disana. Eveline memutuskan untuk meninggalkan kastil. Ia membutuhkan uang, dan juga informasi. Kota kekaisaran Mercia menjadi tujuan pertamanya. Ia membawa beberapa perhiasan dan barang-barang berharga yang pernah dia sembunyikan, itu merupakan hadiah hadiah dari mendiang ayahnya, ia memutuskan untuk menjualnya, satu-satunya harta yang bisa ia manfaatkan untuk bertahan hidup.
Keuangannya menipis, dan ia tahu ia tidak bisa terus mengandalkan sisa uang di kastil. Ia butuh dana untuk membangun kembali masa depannya.
Bersama pelayannya, Anna, dan ksatria kepercayaannya, Edward, mereka menempuh perjalanan panjang selama hampir tujuh jam dengan kereta kuda menuju ibu kota. Jalanan yang mereka lewati menampilkan bentang alam menakjubkan, ladang bunga liar berwarna-warni, hutan pinus yang rimbun, dan lembah-lembah hijau yang seolah menyimpan rahasia waktu.
Anna tampak senang akhirnya keluar dari kastil, sementara Edward tetap waspada, sesekali melirik ke arah sekeliling dengan tangan selalu siap di gagang pedangnya.
Siang itu, ibu kota Kekaisaran Mercia dipenuhi hiruk-pikuk para pedagang dan pelancong. Kereta kuda berderet di sepanjang jalan berbatu. Di antara kerumunan, sebuah kereta kuda sederhana berhenti di depan sebuah penginapan kecil bernama The Silver Hearth.
Eveline menuruni kereta dengan langkah ringan. Bersamanya, pelayan setianya, Anna, dan ksatria pelindungnya, Edward. Setelah melakukan perjalanan hampir tujuh jam dari Kastil Elowen, mereka akhirnya tiba di ibu kota. Selama perjalanan, Eveline menyaksikan pemandangan ladang gandum yang menguning, hutan rimbun dengan sinar matahari menyelinap di antara ranting, dan desa-desa kecil dengan anak-anak yang melambai pada kereta yang melintas.
"Akhirnya sampai juga," gumamnya sambil memandang ke arah penginapan. Bangunannya terbuat dari batu bata merah dengan jendela kayu yang hangat. Tidak mewah, namun cukup layak dan nyaman untuk tempat beristirahat.
Selama dua hari ke depan, ia berencana menjual barang-barang tersebut di pasar bawah tanah yang sering didatangi para pedagang dan bangsawan incognito. Tempat itu juga merupakan sumber informasi yang bagus. Jika beruntung, ia bisa mendapatkan kontak pedagang kapas dari timur, seperti yang ia ingat dari novel yang telah ia baca.
Saat melewati kerumunan di dekat balai utama kota, seorang pria bertubuh tinggi melintas dengan kuda hitam gagah yang berderap cepat. Kerumunan langsung memberi jalan. Eveline terpaksa mundur beberapa langkah dan tanpa sengaja tersandung keranjang milik seorang pedagang tua.
Ia terjatuh tepat di jalur kuda.
"Hati-hati!" teriak seseorang.
Dalam hitungan detik, sang penunggang kuda menarik tali kendali, menghentikan kuda hanya beberapa inci dari wajah Eveline. Debu beterbangan, dan dunia seakan terdiam. Ia mendongak dan matanya bertemu dengan sepasang mata merah darah menatap tajam ke arah dirinya.
Itu dia. Tak salah lagi.
Tubuh tinggi berbalut mantel hitam, dada bidang dengan armor ringan, rambut hitam, dan alis tebal yang tajam seperti pedang. Aura kejam dan dingin menguar dari tubuhnya. Eveline tak perlu menebak. Pria di hadapannya adalah Duke Hogard Windsor, sang Grand Duke dari Timur, si gila perang. Pria dalam novel yang digambarkan memiliki kekuatan luar biasa.
Dalam novel, ia adalah karakter yang ditakuti. Darah dingin. Tanpa belas kasihan. Namun, di balik ketakutannya, Eveline teringat bahwa dalam satu bagian cerita, karakter asli dirinya yang seharusnya sudah mati, pernah menyelamatkan pria ini saat sekarat.
Namun keadaanya sekarang bukan bagian dari cerita.
Duke Hogard menatap Eveline sejenak, matanya menyipit tajam seolah mencoba mengukur siapa dirinya. Lalu ia berbicara dengan suara tenang, "Tidak terluka?', suaranya berat dan dalam, seperti gema dari gua batu.
Eveline, yang masih duduk di tanah, cepat-cepat berdiri dan membungkuk. "Maaf, Tuan. Saya tak melihat ke mana saya melangkah."
Hogard memperhatikan gerak-geriknya. Tak ada ketakutan palsu atau usaha untuk menarik perhatiannya seperti wanita-wanita istana lainnya. Matanya menyapu seluruh tubuh Eveline, bukan dengan pandangan mesum, tapi penuh analisa. Ia bisa mengenali dari cara gadis itu membawa diri, dari kualitas bahan jubahnya yang meski tua tapi berasal dari kain mahal, dan dari sikapnya yang terlalu tenang di depan seorang bangsawan berpengaruh.
"Berhati-hatilah," katanya singkat, lalu memacu kudanya lagi dan menghilang di kerumunan.
Eveline masih terpaku beberapa saat, jantungnya berdebar kencang. Itu adalah pertemuan yang terlalu berbahaya untuk dirinya.
Edward segera menghampirinya. "Nona Eveline, Anda tak apa-apa?"
Eveline mengangguk, masih gemetar. Ia baru saja selamat dari kemungkinan tertabrak kuda, dan lebih dari itu, ia baru saja bertemu dengan karakter paling kejam dalam cerita yang ia tahu luar dalam.
Dua hari berlalu dengan cepat. Ia berhasil menjual beberapa perhiasan dengan harga baik dan mendapatkan cukup uang untuk kebutuhan awal. Namun yang lebih penting, pertemuan dengan Duke Hogard Windsor membuatnya sadar: ia tak bisa terus berpura-pura menjadi gadis buangan tanpa arti.
Setelah kembali ke Kastil Elowen, Eveline mulai membuat perubahan. Ia mulai memeriksa kondisi gudang, merapikan taman yang sudah lama terbengkalai, dan memanggil tukang desa sekitar untuk memperbaiki bagian-bagian kastil yang rusak. Ia mempelajari pembukuan tua dan mencari tahu bagaimana ayahnya dulu mengelola tanah.
Anna terkejut dengan perubahan majikannya. "Nona, Anda tampak berbeda... sejak dari ibu kota."
Eveline tersenyum kecil. "Mungkin karena aku sadar, dunia ini... tak akan menunggu siapa pun."
"Mari kita tanam beberapa bunga Anna. Tempat ini harus hidup kembali".
Edward memperhatikannya dari jauh, menyadari bahwa Eveline yang sekarang tampak lebih mantap dalam melangkah. Ia bukan lagi gadis yang terbangun dengan ketakutan dalam tubuh asing. Ia mulai menjadi tuan rumah sejati Kastil Elowen.
Eveline juga mulai mencatat segala hal dalam buku harian tentang perbedaan dunia ini dengan dunia asalnya, tentang politik kerajaan, sistem perdagangan, dan hubungan antarbangsawan. Ia menyadari, meski berasal dari masa depan, ia tidak boleh gegabah membawa ilmu modern ke sini. Tapi, ia juga tidak ingin membuang ilmunya sia-sia.
Sementara itu, di istana pusat Alverium, Grand Duke Hogard Windsor masih memikirkan wanita yang ia temui di ibukota. Ia telah melupakan banyak wajah selama bertahun-tahun berperang. Tapi bukan yang satu ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments