Amanda melangkah ragu di lorong lantai dua. Langkahnya menggema di antara dinding rumah besar yang baru ia tempati sejak pagi tadi. Rumah itu terlalu luas, terlalu asing. Ia sudah membuka empat pintu, tapi belum satu pun yang tampak seperti kamar yang disiapkan untuknya.
Pintu-pintu berjejer seragam, hanya dihiasi sedikit pernak-pernik yang tak membantu. Pandangannya menelusuri lagi barisan pintu—hingga matanya menangkap satu yang mencolok: di atas permukaan pintu kayu itu, tergantung sebuah tulisan tangan di kertas berwarna merah muda, hurufnya dibuat dengan spidol hitam tebal: “Kamar Vellyn Gemoy”.
Amanda menghela napas panjang. “Siapa pula Vellyn gemoy…” gumamnya setengah geli, setengah putus asa.
Tapi dorongan ingin tahu mengalahkan ragu. Ia memutar kenop pintu dan mendorongnya pelan.
Begitu pintu terbuka, rasa ingin tahunya berubah menjadi keterkejutan luar biasa.
Di tengah kamar, tepat di atas karpet berbentuk panda, sesosok tubuh lelaki membungkuk ke belakang dalam posisi yang tak wajar. Punggungnya melengkung ekstrem, kepala hampir menyentuh lantai sementara kedua tangan menahan badan di belakang. Posisi itu tampak seperti... kayang?
Amanda terjatuh terduduk, matanya membelalak, jantungnya berdebar hebat. Nafasnya tercekat.
“YA AMPUN, SAHA MANEH!? INDIT SIA JURIG!”
(Siapa kamu? pergi kamu hantu)
teriaknya, takut dan tidak tahu siapa sosok itu.
Ternyata itu adalah..
Jehan, kakaknya. Ia menoleh sambil tetap dalam posisi menakutkan itu, wajahnya berkeringat tapi senyum jahil muncul di bibirnya. “Lho, ngapain si lo teriak? Gue lagi latian. Lusa ada ujian praktik senam lantai, tau!”
Amanda masih di lantai, tak tahu harus tertawa atau marah. Rumah ini benar-benar awal yang... unik.
Amanda berdiri terpaku di ambang pintu, napasnya masih belum stabil sejak kejutan barusan. Ia menatap Jehan yang kini duduk santai di tepi ranjang, menyeka keringat di dahinya dengan handuk kecil.
“Em a-anu…” gumam Amanda pelan, mencoba mengatur nada suara agar tak terdengar terlalu bingung. “Kalau ini kamar Lo… kenapa di luar pintunya ada tulisan ‘Kamar Vellyn Gemoy’?”
Jehan langsung mendongak, alisnya terangkat tajam seolah pertanyaan itu adalah bentuk lelucon yang tidak lucu. “Hah? Lo serius nanya begitu?”
Amanda mengangguk perlahan, semakin gugup. Perasaan aneh kembali menghantamnya. Sejak tersadar di dunia ini, semuanya terasa janggal.
Jehan berdecak kesal, lalu melemparkan handuknya ke samping. “Ya ampun, Vellyn… lo ini bener-bener pikun deh. Minggu lalu lo ngerengek ke Papi minta kamar gue. Katanya kamar gue lebih cozy, lebih estetik, padahal mah sama aja anjir”
Amanda menegang. Vellyn? Jadi… tubuh ini memang milik gadis bernama Vellyn?
Jehan melanjutkan, masih dalam nada sebal. “Padahal kamar lo yang lama itu enak, deket taman, jendelanya gede. Tapi ya udahlah, Papi kan gak bisa nolak lo kalo udah ngeluarin jurus mata panda ala drama Korea itu.”
Ia tertawa kecil, meski masih terdengar lelah.
“Sumpah, gue masih gak ngerti kenapa lo mau banget pindah ke kamar gue. Tapi ya udah, karena lo anak kesayangan papi yang katanya paling gemoy dan gumush , semua harus ngalah,” tambahnya sambil menggeleng pelan.
Amanda hanya diam. Suaranya tercekat di tenggorokan.
Ia baru sadar—dirinya memang bukan Vellyn. Ia adalah Amanda. Tapi entah bagaimana, kini ia berada di dalam tubuh gadis lain… di tengah keluarga yang tak dikenalnya, tapi mengenalnya seolah ia bagian dari mereka.
Dan sekarang, ia harus mencari tahu kenapa dan bagaimana ia bisa terperangkap dalam hidup orang lain.
...-------...
Amanda merebahkan dirinya di atas kasur lebar itu, membiarkan tubuh nya tenggelam dalam empuknya busa dan tumpukan bantal wangi lavender. Meskipun pikirannya penuh pertanyaan, rasa lelah yang menggantung di pundaknya memaksa ia untuk sejenak diam.
Tangan kanannya menyentuh sesuatu di bawah bantal—benda keras, dingin. Ia menariknya keluar dan mendapati sebuah ponsel. Casing-nya berwarna merah muda dengan gantungan kecil berbentuk kelinci tergantung di ujungnya. Pasti milik Vellyn, pikir Amanda.
Dengan jantung berdebar, ia menekan tombol daya. Layarnya menyala, dan kelegaannya bertambah saat mendapati ponsel itu tidak dikunci dengan sandi.
"Untung nggak pakai password," gumamnya pelan.
Ia mulai membuka satu per satu aplikasi. Yang pertama ia buka adalah Instagram. Ikon berwarna ungu-oranye itu menyala terang di layar. Amanda menekan dan menunggu akun terbuka.
Akun itu bernama @Vell_luv. Tapi yang membuat Amanda mengernyit, bukan hanya foto profilnya yang kosong—tak ada satu pun postingan yang bisa dilihat. Bukan arsip, bukan private, benar-benar kosong. Seolah akun itu hanya dibuat untuk eksis, tapi tidak digunakan.
Amanda mendesah pelan. "Orang ini... anti kamera banget, ya?"
Ia menelusuri lebih jauh, membuka bagian following dan followers. Jumlahnya ratusan, tapi hampir semua akun yang diikuti tampak seperti selebriti, akun dekorasi kamar, kucing lucu, dan... akun-akun artis Korea.
Jari lentik itu bergulir membuka aplikasi lain, Amanda—atau kini, Vellyn—mengalihkan perhatiannya ke aplikasi WhatsApp. Ikonnya hijau cerah di layar, dan dengan satu ketukan, ia masuk ke dalam dunia pesan-pesan pribadi yang bukan miliknya.
Daftar chat muncul. Beberapa grup keluarga, beberapa teman sekolah—namun satu nama langsung menarik perhatiannya.
Reza>3 😘
Amanda mengernyit, jari telunjuknya menekan chat itu dengan hati-hati, seperti menyentuh sesuatu yang rapuh. Begitu terbuka, ia terdiam.
Deretan pesan panjang memenuhi layar. Semua dari Vellyn.
"Pagi, Reza!"
"Kamu udah makan, belum?"
"Aku lihat kamu tadi di koridor... tapi kamu gak lihat aku, ya?"
"Kamu sibuk banget, ya? Gak apa-apa kok..."
Pesan-pesan itu dikirim hampir setiap hari, kadang lebih dari satu kali. Namun semuanya punya satu kesamaan: hanya dua centang abu-abu. Terkirim, tapi tak pernah dibaca. Tak pernah dibalas.
Jangankan balasan, dibaca saja tidak. Tapi Vellyn tetap mengirim, tetap berharap. Entah karena keras kepala, atau karena benar-benar jatuh hati. Yang jelas, hati gadis ini jelas sedang menggantung di tempat yang salah.
Amanda—dalam tubuh Vellyn—menggeleng pelan, rasa prihatin menyusup halus ke dadanya. Ia menatap layar ponsel yang masih memajang deretan pesan tanpa balasan dari Reza>3 😘, lalu mengembuskan napas panjang.
Ada sesuatu yang menyentuh dalam diamnya itu. Sesuatu yang bukan milik Vellyn, tapi miliknya sendiri. Kenangan lama yang tiba-tiba muncul begitu saja, seperti kabut yang datang tanpa suara.
Di dunia asalnya, Amanda pernah berada di posisi yang sangat mirip. Ia menyukai seseorang—seorang kakak kelas di sekolah. Lelaki yang menurutnya sempurna dalam banyak hal: sopan, cerdas, dan selalu tersenyum ketika lewat di lorong.
Waktu itu, Amanda mengumpulkan keberanian untuk mengiriminya pesan. Bukan sekali, bukan dua kali. Hampir setiap hari ia menulis sesuatu: pertanyaan sepele, komentar basa-basi, bahkan sekadar “semangat ya hari ini!”
Namun, balasan tak pernah datang.
Tanda centang selalu dua, tapi tak pernah berubah biru.
Lalu suatu sore, saat Amanda sedang membuka Instagram, ia melihatnya—foto sang kakak kelas itu sedang merangkul seorang perempuan. Wajah mereka terlihat bahagia, dan di bawah foto itu tertulis caption sederhana namun menghantam:
“Akhirnya, resmi juga. Love you, sayang.”
Saat itu Amanda hanya bisa diam. Jempolnya menggantung di layar. Tidak menangis. Tidak marah. Hanya hening.
Dan sejak hari itu, ia berhenti. Bukan hanya berhenti mengirim pesan—tapi berhenti berharap.
Kini, melihat chat Vellyn yang nyaris sama persis dengan kisahnya sendiri, Amanda merasa seperti sedang menatap versi masa lalu yang lain. Ia tidak tahu siapa Vellyn sebenarnya, tapi dari caranya mencintai dalam diam… mereka mungkin tidak begitu berbeda.
...****************...
(Ya kurleb sprti itulah gambarannya)
Kagett akuu tuhh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments