KAMU TEGA MASS!

Kantin yang semula dipenuhi suara tawa, obrolan seru, dan denting sendok beradu dengan piring tiba-tiba sunyi seketika. Seolah ada tombol yang ditekan untuk menghentikan seluruh kehidupan di ruangan itu. Semua mata serempak menoleh ke arah pintu masuk.

Lima sosok pria melangkah masuk dengan aura mengintimidasi. Mereka bukan sembarang murid-mereka adalah pusat perhatian, simbol kekuasaan tak tertulis di sekolah ini. Mereka tampan, dingin, dan tak tersentuh. Dan di antara mereka, satu nama selalu disebut pertama: Reza.

Reza berjalan di depan, tubuhnya tegap dan tatapannya tajam menembus udara. Di sisi kirinya, ia merangkul seorang gadis-basah kuyup, kotor, dan gemetar. Gadis itu menangis pelan, air mata bercampur dengan tetesan hujan di pipinya. Namanya Luna.

Langkah Reza panjang dan tergesa, seolah marah pada waktu itu sendiri. Tangannya mencengkeram lengan Luna, bukan untuk menyakiti, tapi cukup erat hingga tak ada ruang bagi penolakan. Luna terseok, berusaha menyamakan langkah, namun sesekali tersandung oleh jejak Reza yang terlalu besar untuk diikuti.

Semua yang melihat tak bersuara. Diam, antara penasaran, takut, dan tidak ingin terlibat. Karena jika Reza sedang marah-bahkan langit pun sepertinya tahu untuk tidak menantangnya.

Langkah Reza berhenti tepat di depan meja yang dihuni empat gadis penuh gaya dan aroma kesombongan. Di antara mereka, sepasang mata menatap Luna dengan penuh kebencian dan ejekan tersembunyi. Vellyn.

Tanpa berkata apa-apa, Reza mengangkat tangannya dan menghantam meja itu dengan keras.

Brakkk!

Suara dentuman membuat seluruh isi kantin kembali menegang.

"Cukup!" bentaknya, suaranya tajam seperti cambuk.

Vellyn mengangkat alis, masih bersikap seolah tak bersalah. "Apa? sekarang kamu mau jadi pahlawan, Reza?"tanyanya sinis.

"Gue udah diam terlalu lama," ucap Reza. " lo pikir gue nggak tau apa yang kalian lakuin ke Luna? Setiap hari? Ngehina, mempermalukan, nyakitin dia. Dan kali ini. Kalian nyiram Luna pake air bekas lap pel! Mau sampe kapan kalian kaya gitu hah?!"

Reza sebenarnya berusaha menahan bau yang di sebabkan oleh gadis di samping nya

"Uuhh pantesan bau"

"Gue pikir bau apaan ternyata bau nya si Luna"

"Anjir gue pikir lo kentut "

"Makanya jangan asal nuduh. Gue bilang cium aja bokong gue kalo ga percaya"

" Najis monyet"

Begitulah lontaran perkataan dari para penghuni kantin.

Vellyn berdiri, berhadapan langsung dengan Reza. "AKU LAKUIN ITU KARNA AKU SUKA SAMA KAMU, REZA!" teriaknya, nadanya pecah. "TAPI KAMU MALAH MILIH DIA?! DIA SIAPA? CUMA ANAK MISKIN BEASISWA YANG SEHARUSNYA NGGAK LAYAK ADA DI SEKOLAH INI!"

Suasana mendadak semakin tegang. Beberapa murid mulai berdiri dari kursi, seakan tak percaya apa yang baru mereka dengar.

Luna terdiam di belakang Reza, tubuhnya mengecil dalam pelukan ketakutan. Tapi sebelum Reza sempat bicara, Vellyn melangkah maju dan mendorong Luna dengan kasar.

Tubuh Luna jatuh ke lantai dengan tidak elitnya, tangannya menahan tubuh yang nyaris membentur keras ubin. Tangisnya pecah, ia menangis dengan keras seperti bayi bagong yang tidak diberi makan selama tiga bulan.

Reza mendadak bergeming. Sorot matanya berubah. Dingin. Berbahaya.

Tanpa banyak pikir, tangan Reza terangkat... dan mendarat di pipi ellyn.

Plak!

Suara tamparan bergema. Kantin terdiam total. Bahkan waktu seolah berhenti sejenak.

Vellyn mematung. Pipi kirinya merah menyala. Matanya membelalak, tak percaya Reza benar-benar melakukan itu.

Tamparan itu bergema lama di telinga semua orang, tapi hanya satu orang yang merasakan perihnya lebih dari sekadar fisik. Vellyn.

Matanya melebar, pipinya panas, bukan hanya karena tamparan, tapi karena rasa malu yang mencabik harga dirinya di hadapan semua orang. Napasnya tercekat, dadanya sesak. Ia tak sempat berkata apa-apa. Tak ingin. Tak sanggup.

Dengan tangannya yang gemetar memegang pipi, Vellyn menatap tak percaya pada Reza

"Kamu tega Za!!"

Ia berlari keluar kantin. Isak tangisnya pecah begitu kaki meninggalkan ambang pintu. Semua tatapan menusuk punggungnya, seperti ribuan jarum yang menghakimi. Tapi tak satu pun yang lebih menyakitkan dari kenyataan: Reza menamparnya. Orang yang selama ini dia suka.

Reza masih berdiri di sana, mematung. Tatapannya kosong tertuju pada telapak tangannya sendiri, seolah tak percaya bahwa dia-Reza-benar-benar menampar seorang perempuan. Gadis yang dulu sering tertawa bersamanya. Gadis yang, meski menyebalkan, tetap bagian dari lingkaran yang pernah dekat.

"Sumpah... gu-gue nggak sengaja," gumamnya lirih, tapi tak ada yang mendengarkan.

Empat sahabatnya pun hanya bisa menatapnya penuh kecewa.

Haikal Arkatama, yang paling dulu bicara, mendesis pelan, "Lo udah kelewatan, Za."

Aldan Jenandra mengangguk pelan, tak mampu menyembunyikan ekspresi kecewanya. "Gue ngerti lo marah. Tapi bukan gini caranya."

Lintang Argantara yang memang paling bawel dan mulutnya paling tajam , menatap kesal ke arah Reza. "Lo tau lo kayak apa barusan? Kayak cowok boti yang main tangan ke cewek. Gue nggak nyangka lo bakal serendah itu. Mangkal aja sana di depan lampu merah sambil joged bang jali! Cocok tu sama lo!"

Bintang Argantara saudara kembar sekaligus adik dari Lintang yang jarang ikut berkomentar dan jarang berekspresi, hanya mengangguk pelan. Tapi sorot matanya ikut berbicara-penuh rasa kecewa dan tidak percaya.

Satu per satu, mereka pergi. Tak ada yang menoleh lagi ke Reza. Meninggalkannya sendiri di tengah kantin yang kini kembali sunyi, tapi kali ini, bukan karena kekaguman... melainkan karena keterkejutan dan kecanggungan yang tak bisa dilupakan.

Reza masih berdiri di tempatnya. Terdiam. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya... ia merasa kalah. Bukan oleh orang lain. Tapi oleh dirinya sendiri.

...--------...

Vellyn masih terisak sambil berlari, napasnya tercekat di dada. Air mata terus mengalir, memburamkan pandangannya, tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin menjauh. Dari Reza. Dari teman-temannya. Dari semua tatapan murid-murid yang kini hanya akan mengenalnya sebagai "Cewek yang ditampar Reza".

Langkahnya tak tentu arah. Sepatu kulitnya yang biasanya melangkah anggun di koridor kini berlari tanpa kendali. Tangan kanannya menutupi wajah, mengusap air mata yang tak henti menetes, seakan tangisnya tak ingin berhenti.

Ia tidak menyadari bahwa dirinya kini sudah keluar dari area kantin. Lapangan luas yang sepi siang itu menjadi tempat pelariannya. Namun, yang tidak ia lihat-karena pandangan tertutup dan pikirannya kacau-adalah tiang bendera yang berdiri kokoh di tengah lapangan.

DENG!

Suara nyaring menghentak udara saat kening Vellyn menabrak besi dingin itu dengan cukup keras. Tubuhnya terhuyung.

"Aduh..." desisnya pelan. Matanya berkunang. Dunia berputar. Tapi sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, bibirnya masih sempat menggerutu lemah,

"Ngalangin aja lo... tiang..."

Dan setelah itu, gelap. Vellyn jatuh terduduk lalu ambruk ke tanah, tak sadarkan diri, dengan pipi masih merah dan kening mulai membiru. Angin siang mengibas lembut rambutnya, seakan memberi simpati... atau mungkin mengejek.

Suara "DENG!" tadi cukup keras untuk memecah perhatian siswa-siswa yang sedang berlalu lalang di sekitar lapangan. Beberapa dari mereka langsung menoleh, lalu mulai mendekat ketika melihat sosok tubuh tergeletak di bawah tiang bendera.

"Eh... itu Vellyn, kan?" bisik salah satu siswa dengan nada tak percaya.

"Dia pingsan?" tanya yang lain, tapi tak satu pun berani menyentuhnya. Mereka hanya mengerumuni, menatap, berbisik-bisik... seperti menonton sebuah drama langsung yang tak mereka sangka bisa terjadi pada gadis paling populer di sekolah.

Beberapa dari mereka bahkan sempat merekam, entah karena refleks atau keinginan menyebarkan kabar-dalam dunia sekolah, segala sesuatu menyebar lebih cepat dari angin.

"Eh, Rizky! Lo kan anak PMR, bantuin dong!" seru seorang siswi yang akhirnya sadar situasi ini nggak bisa dibiarkan begitu saja.

Rizky, yang memang mengenakan rompi kecil bertuliskan PMR di dadanya, mengangguk cepat dan mulai melangkah maju. "Iya, gue gendong ke UKS ya-"

Namun belum sempat dia menyentuh Vellyn, suara dalam dan tenang terdengar dari belakang.

"Biar gue aja."

Semua kepala menoleh bersamaan. Suara itu... tidak asing. Tegas, tapi berat, dan penuh beban.

Rizky terdiam. Ia menatap pemuda itu sebentar, lalu perlahan mundur, memberi ruang.

...-------...

***********

Istighfar lo Rezaa 🤬

Terpopuler

Comments

fjshn

fjshn

kenapa gak boti aja?

2024-10-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!