Syukuran dan Sebuah Pengakuan

Suara mesin mobil menyala di halaman rumah. Cika melirik ke jendela dan menelan ludah. Tubuhnya dibalut gamis dusty pink yang lembut, rambutnya digelung rapi, dan wajahnya sudah dipoles sedemikian rupa dengan make-up flawless yang ia pelajari dari tutorial YouTube. Tapi perasaannya tetap tidak tenang.

“Udah siap?” tanya Al dari balik pintu kamar, suaranya ringan tapi matanya menyiratkan kekhawatiran. Ia mengenakan batik lengan panjang, rambutnya disisir rapi, dan aromanya seperti sabun mahal dan parfum maskulin.

Cika mengangguk. “Iya... kayaknya.”

Al tersenyum tipis lalu membuka pintu lebih lebar, memberi isyarat untuk keluar. “Ayo, sebelum Mama telpon lagi.”

Cika menghela napas. Dalam hati dia membatin, semoga semua baik-baik saja. Ini adalah kali pertama dia akan bertemu keluarga Al. Mertua, ipar, kakek-nenek dari kedua pihak—semuanya akan ada di sana. Dan hari ini, Al bilang dia akan mengungkapkan bahwa mereka sudah menikah.

Cika tidak tahu harus merasa apa. Senang karena diterima, atau takut karena ini bisa jadi awal mula badai.

---

Rumah keluarga Al berada di daerah Jakarta Selatan, bergaya klasik dengan sentuhan modern. Saat mobil mereka berhenti di halaman depan, Cika melihat banyak mobil lain sudah terparkir. Beberapa anak-anak berlarian di halaman, mengenakan pakaian pesta. Dari dalam rumah terdengar suara ramai, riuh rendah tawa dan percakapan.

Begitu turun dari mobil, seorang wanita paruh baya dengan kebaya biru muda keluar menyambut mereka. Wajahnya cantik dan berwibawa. Al langsung memeluknya. “Ma, ini Cika.”

Ibu Al—yang kemudian diketahui bernama Bu Santi—melihat ke arah Cika. Ada jeda satu detik yang membuat jantung Cika nyaris berhenti, sebelum wanita itu tersenyum hangat dan meraih tangannya.

“Masya Allah, cantik banget kamu, Nak. Kenapa Al nggak bilang dari dulu?” suaranya lembut tapi nadanya menyiratkan kekecewaan.

Cika sempat terpaku sebelum membalas senyum itu dan menjawab sopan, “Terima kasih, Tante. Eh, Bu…”

“Panggil Mama aja, sayang.” Bu Santi menggandeng tangannya masuk ke dalam rumah.

Di dalam, suasana syukuran berlangsung meriah. Beberapa anggota keluarga sibuk menata makanan, yang lain ngobrol atau mengurus anak-anak. Aroma opor ayam dan rendang menguar dari dapur. Ada tenda kecil di halaman belakang tempat para tamu duduk sambil menikmati hidangan.

Seorang pria tinggi dengan wajah mirip Al menghampiri mereka. “Yah, akhirnya muncul juga. Ini Cika, ya?” Dia menatap Cika ramah sambil menjabat tangan. “Gue Aldi, kakak pertamanya Al.”

“Iya, Mas Aldi. Salam kenal.”

“Wah, panggil Mas aja udah bikin gue merasa muda lagi,” canda Aldi yang langsung disambut tawa kecil.

Tak lama, datang pula seorang wanita elegan mengenakan dress panjang. “Kamu Cika? Aku Rina, kakak ipar kamu,” katanya sambil memeluk Cika erat. Di belakangnya, seorang bayi digendong oleh pengasuh. “Itu anakku, Kenzie. Hari ini syukurannya dia.”

Cika mengangguk sopan dan mencoba menyerap semua informasi itu. Rasanya cepat sekali—semua sambutan hangat itu. Tapi tetap saja, ada perasaan ganjil di dadanya. Seolah dia masih ‘tamu’, belum benar-benar bagian dari keluarga itu.

Dari jauh, seorang pria muda melambaikan tangan, wajahnya ceria. “Al, sini dong! Lama banget!”

“Itu adik gue, Dimas,” bisik Al. “Masih kuliah, tapi suka sok paling dewasa sendiri.”

Cika hanya tertawa kecil. Dalam hati, ia mengakui, keluarga Al memang terlihat harmonis. Dan ia mulai bertanya-tanya, kenapa Al mau menikah kontrak? Dengan keluarga sedekat dan serapi ini, tekanan seperti apa yang membuatnya mengambil keputusan impulsif?

---

Saat waktu makan hampir usai dan sebagian besar tamu sudah pulang, Al berdiri di tengah ruangan bersama Cika di sampingnya. Semua keluarga inti duduk di ruang tengah—Bu Santi, Pak Heri (ayah Al), kedua kakek-nenek dari pihak ibu dan ayah, serta saudara-saudara kandungnya.

Al menatap mereka satu-satu. “Ma, Pa... semuanya. Aku mau kasih tahu sesuatu.”

Suasana mendadak hening.

“Cika dan aku... kami sudah menikah.”

Cika menunduk. Suara hatinya berdegup kencang.

Seketika, semua mata tertuju pada mereka.

“Apa?” Bu Santi setengah berteriak. “Kapan? Kenapa kita gak dikasih tahu?”

Al menarik napas panjang. “Beberapa minggu lalu. Maaf... ini keputusanku sendiri. Waktu itu semua serba cepat.”

Pak Heri ikut bicara, suaranya tenang tapi tegas. “Al, kita ini keluargamu. Kenapa kamu memutuskan sesuatu sepenting ini tanpa diskusi dulu?”

Al menatap ayahnya. “Aku tahu, Pa. Dan aku salah soal itu. Tapi ini... adalah sesuatu yang aku rasa benar waktu itu. Aku kenal Cika, aku percaya sama dia. Aku nggak mau buang waktu.”

Semua terdiam. Cika merasa ingin menghilang.

Kakek dari pihak ayah, Pak Jaya, mendengus. “Anak muda zaman sekarang memang suka gegabah. Tapi... kalau kamu sudah menikah, ya kami harus menerima.”

Nenek dari pihak ibu, Bu Mirna, mengangguk. “Yang penting tanggung jawab, Al. Kamu bimbing istrimu baik-baik.”

Bu Santi, walaupun masih tampak kecewa, akhirnya memeluk Cika. “Kamu sudah jadi anak Mama sekarang. Tapi mulai hari ini, jangan ada rahasia lagi, ya?”

Cika nyaris menangis mendengar itu. Ia memeluk wanita itu dan mengangguk pelan.

---

Sore menjelang. Acara selesai. Para tamu pulang. Cika duduk di balkon samping rumah besar itu, menatap taman kecil sambil memegang segelas teh manis. Angin sore sejuk, tapi pikirannya berputar cepat.

Al datang dan duduk di sampingnya. “Maaf, ya. Hari ini bikin kamu tegang.”

Cika tersenyum kecut. “Nggak apa-apa. Aku cuma... bingung. Kenapa kamu mutusin buat cerita sekarang?”

“Karena aku nggak mau terus-terusan bohong,” jawab Al, jujur. “Dan aku juga nggak mau keluargaku pikir aku main-main.”

Cika mengangguk pelan.

“Terima kasih udah sabar,” lanjut Al. “Dan terima kasih udah ikut peran ini dengan baik.”

Peran. Kata itu menyentil hatinya.

“Aku hanya berharap... kita nggak saling menyakiti ke depannya,” gumam Cika lirih.

Al memandang wajahnya lama. “Aku juga.”

Dan untuk pertama kalinya hari itu, tidak ada kebohongan di antara mereka. Hanya dua orang asing yang mencoba hidup dalam satu peran bernama suami istri.

---

Episodes
1 Tawaran Tak Terduga di Cafe Glossy
2 Jangan Menyesalinya
3 Bersama di Bawah Langit yang Sama
4 “Takdir di Balik Kontrak”
5 Syukuran dan Sebuah Pengakuan
6 Rasa yang Belum Bernama
7 Status yang Menggantung
8 Bukan Rumahku, Tapi Rasanya Seperti Rumah
9 Antara Cinta dan Profesionalitas
10 Hati yang Bersembunyi
11 Rahasia yang Tak Ingin Dibuka
12 Luka dari Masa Lalu
13 Jarak yang Tak Tertulis
14 Pelindung yang Tak Diundang
15 Jarak yang Menyayat
16 Tanda Tanpa Kata
17 Rahasia yang Terkuak
18 Antara Karier dan Hati
19 Di Ujung Pilihan
20 Kontrak yang Dilanggar
21 Belajar Menjadi Istri, Belajar Menjadi Suami
22 Mimpi dan Jalan Tengah
23 Surat dari Masa Lalu
24 Menyambut Pagi, Menyusun Hari
25 Dua Dunia, Satu Hati
26 Saat Kita Bertengkar
27 Kehilangan Kecil, Luka yang Tak Terduga
28 Kalau Kita Siap, Kita Bisa
29 Tamu dari Masa Lalu
30 Rumah yang Ramai
31 Ujian yang Tak Diduga
32 Mimpi yang Dipilih
33 Menanti Hadirnya Cinta Kecil
34 Lahirnya Seseorang Bernama Kita
35 Pelan-Pelan Jadi Orang Tua
36 Rumah Ini Bertumbuh
37 Luka Lama yang Kembali
38 Kembali ke Akar
39 Surat dari Masa Lalu
40 Antara Kota dan Kampung
41 Keputusan Dua Arah
42 Toko Buku, Kafe, dan Kelas Cerita
43 Epilog — Rumah yang Kita Bangun
44 Season 2 — Bab 1: Pelan-Pelan Tapi Jauh
45 Season 2 — Bab 2: Jarak yang Kita Biarkan
46 Season 2 — Bab 3: Sesederhana Duduk Berdua
47 Season 2 — Bab 4: Di Antara Sisa Waktu
48 Season 2 — Bab 5: Mengantar, Menunggu, Menerima
49 Season 2 — Bab 6: Di Hari Ketika Aku Rindu
50 Season 2 — Bab 7: Yang Tak Dikatakan, Tapi Terasa
51 Season 2 — Bab 8: Pulang Pelan-Pelan
52 Season 2 — Bab 9: Ada yang Tumbuh di Antara Diam
53 Season 2 — Bab 10: Sebelum Kata 'Maaf' Jadi Terlambat
Episodes

Updated 53 Episodes

1
Tawaran Tak Terduga di Cafe Glossy
2
Jangan Menyesalinya
3
Bersama di Bawah Langit yang Sama
4
“Takdir di Balik Kontrak”
5
Syukuran dan Sebuah Pengakuan
6
Rasa yang Belum Bernama
7
Status yang Menggantung
8
Bukan Rumahku, Tapi Rasanya Seperti Rumah
9
Antara Cinta dan Profesionalitas
10
Hati yang Bersembunyi
11
Rahasia yang Tak Ingin Dibuka
12
Luka dari Masa Lalu
13
Jarak yang Tak Tertulis
14
Pelindung yang Tak Diundang
15
Jarak yang Menyayat
16
Tanda Tanpa Kata
17
Rahasia yang Terkuak
18
Antara Karier dan Hati
19
Di Ujung Pilihan
20
Kontrak yang Dilanggar
21
Belajar Menjadi Istri, Belajar Menjadi Suami
22
Mimpi dan Jalan Tengah
23
Surat dari Masa Lalu
24
Menyambut Pagi, Menyusun Hari
25
Dua Dunia, Satu Hati
26
Saat Kita Bertengkar
27
Kehilangan Kecil, Luka yang Tak Terduga
28
Kalau Kita Siap, Kita Bisa
29
Tamu dari Masa Lalu
30
Rumah yang Ramai
31
Ujian yang Tak Diduga
32
Mimpi yang Dipilih
33
Menanti Hadirnya Cinta Kecil
34
Lahirnya Seseorang Bernama Kita
35
Pelan-Pelan Jadi Orang Tua
36
Rumah Ini Bertumbuh
37
Luka Lama yang Kembali
38
Kembali ke Akar
39
Surat dari Masa Lalu
40
Antara Kota dan Kampung
41
Keputusan Dua Arah
42
Toko Buku, Kafe, dan Kelas Cerita
43
Epilog — Rumah yang Kita Bangun
44
Season 2 — Bab 1: Pelan-Pelan Tapi Jauh
45
Season 2 — Bab 2: Jarak yang Kita Biarkan
46
Season 2 — Bab 3: Sesederhana Duduk Berdua
47
Season 2 — Bab 4: Di Antara Sisa Waktu
48
Season 2 — Bab 5: Mengantar, Menunggu, Menerima
49
Season 2 — Bab 6: Di Hari Ketika Aku Rindu
50
Season 2 — Bab 7: Yang Tak Dikatakan, Tapi Terasa
51
Season 2 — Bab 8: Pulang Pelan-Pelan
52
Season 2 — Bab 9: Ada yang Tumbuh di Antara Diam
53
Season 2 — Bab 10: Sebelum Kata 'Maaf' Jadi Terlambat

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!