Jangan Menyesalinya

Marvin masuk ke ruangan Al, dia melihat Al sedari tadi tidak fokus pada pekerjaan yang sedang dilakukannya, yang tidak seperti biasanya.

Al menghentikan gerakannya, dia menyahuti Marvin dan menyuruhnya keluar setelah mengambil berkas yang dia bawa. Matanya selalu tertuju pada sudut meja di mana sebuah proposal yang diterima dari Cika berada.

Ponselnya terus berbunyi sampai ia menyerah lalu mengangkatnya.

"Halo, Pa? Kenapa?"

"Kenapa lambat sekali kamu angkat? Sedari tadi Papa telepon, Mama juga telepon kamu. Kamu sibuk sekali sampai untuk mengangkat telepon saja tidak sempat?"

Suara bernada kesal itu membuat Al mengerutkan dahi. Dia mengusap kepalanya yang berdenyut.

"Em, Al agak sibuk, kenapa, Pa?" tanyanya, menyela omelan yang tidak akan berhenti.

"Minggu depan, Papa tidak mau tahu. Kamu harus membawa Sherly, Cheryl, atau siapapun itu ke rumah! Papa sudah tua, dan kamu tidak muda lagi! Apa gosip yang Papa dengar, kalau kamu gay itu beneran? Jika sampai minggu depan kamu belum juga mendapat pasangan, Papa pastikan mantan gila kamu itu akan menjadi pasanganmu atau jodoh yang mana pun kamu pilih. Papa gak mau tahu, Papa mau kamu membawa pasanganmu minggu depan!"

Al sakit kepala mendengar perkataan sang papa, "Em, nanti Al pikirkan, jangan bawa mantan gila Al atau siapapun itu. Al akan membawa menantu untuk Papa dan Mama!" ujarnya sembari melirik proposal di sudut meja.

"Oke, Papa tunggu!" Dengan itu, sambungan terputus.

Al merebahkan punggungnya ke belakang, bersandar di kursi dengan kepala menatap langit-langit ruangan.

Empat hari kemudian, Al mengunjungi ruang administrasi dan berpapasan dengan Cika, gadis yang beberapa hari ini menghantui pikirannya dengan perkataannya.

Kartu nama Cika yang tersembunyi di kantong celananya ia remas kuat, namun langkahnya mantap melewati gadis yang gugup saat melihatnya.

Al menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan mencari Cika. Lift terbuka, namun di lobi tidak terlihat keberadaan gadis itu.

Al bertanya pada karyawan yang menjaga lobi dan mengetahui jika Cika belum pergi. Al berjalan ke arah toilet yang berdekatan dengan tangga darurat, langkah Al berhenti saat sayup-sayup mendengar isak tangis dari sana.

Al mendekat, dia membuka pintu dan mendapati Cika terduduk di anak tangga terakhir dengan kaki terjulur. Al dengan cepat mengatur ekspresinya.

"Sedang apa?"

Mendengar suara Al, Cika yang tersadar, dia berpaling lalu dengan cepat menghapus air matanya.

"Kemari lah, sepertinya kita perlu bicara."

Al membantu Cika berdiri dan membawanya ke ruangannya, mengabaikan pandangan karyawan lain yang menatap ke arah mereka.

Cika menjadi gugup saat mendapati perhatian dari karyawan kantor. Dia menyembunyikan wajahnya dengan rambut panjangnya di bahu Al dan mengikuti Al masuk ke dalam lift.

Sepanjang perjalanan, Al dan Cika tidak berbicara, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, suasana menjadi canggung. Namun, Al terus memapah Cika hingga ke ruangannya.

"Duduklah, tunggu sebentar." Setelah membantu Cika duduk di sofa ruangannya, Al mencari alat P3K dan mengobati kaki Cika yang terluka. "Sakit?"

Cika menggeleng. Dia menatap gerakan Al yang menjadi lebih lembut saat tadi Cika meringis kecil.

"Terima kasih," ucap Cika setelah Al selesai mengobati dirinya.

"Em." Al menyimpan peralatan P3K lalu duduk di depan Cika.

"Apa kamu serius dengan proposal yang kamu ajukan?" tanya Al setelah lama terdiam dan saling menatap.

Cika mengangguk dengan yakin.

"Kenapa saya?" tanya Al lagi dengan nada datar, seolah tidak tertarik.

Cika menatap Al dan kembali mengatakan alasan seperti lima hari yang lalu.

"Kamu butuh uang dan tempat tinggal? Dan karena saya paling cocok?" Al mengangguk saat melihat Cika setuju dengan pernyataannya.

"Kamu tidak takut?"

Cika menggeleng. Alasannya, dia mengira Al tidak akan menyukainya dan Al juga orang yang terkenal, maka tindak tanduknya pasti akan dijaga, namun Cika tidak mengatakan pikirannya.

"Tidak."

Al merebahkan tubuhnya ke sofa dan menatap Cika dengan tatapan lekat.

"Saya harap kamu tidak menyesal."

Cika menatap Al dengan tatapan tegas, seolah sangat yakin akan keputusannya.

"Besok temui saya di KUA jam sepuluh pagi, dan kamu masih punya waktu untuk memikirkan ulang keputusan mu."

Cika mengangguk. Al beranjak ke meja kerja dan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda tanpa mengusir atau memberi perintah pada Cika.

Cika melirik Al yang mulai sibuk lalu pandangannya melihat seluruh ruangan. Ruangan kantor berdinding hitam putih bernuansa minimalis itu menarik perhatiannya, tidak seperti kantor presiden atau CEO di drama. Kantor Al sangat kecil untuk kantor yang dijabarkan di novel atau drama; ruangannya pun hanya dilengkapi satu set meja kerja, satu set sofa, serta satu set alat elektronik komputer. Dekorasinya juga sangat sederhana, Cika hanya melihat sebuah kamar mandi dan ruang ganti di pojok ruangan.

Ruangan Al juga tidak terletak di lantai paling atas. Di lift, angka hanya ada 20 lantai dan kantor Al terletak di lantai 15. Dari sofa, Cika bisa melihat pemandangan kota dari dinding kaca yang menghadap keluar.

Cika berpaling saat tanpa sengaja matanya dan mata Al bertemu. Dia menunduk dan pandangannya tertuju pada kaki yang terbalut perban.

Cika berdehem, dia bangkit dan berpamitan setelah tidak mendapat respon dari Al.

Al mendongak saat pintu tertutup, dia menatap ke arah pintu lalu menghela nafas berat.

Keesokan harinya, Cika mendatangi kantor KUA yang telah ia dan Al sepakati. Cika melirik jam tangannya dan melihat ke arah Al yang sudah berdiri di depan pintu KUA. 'Sangat cepat,' batinnya, karena Al datang sepuluh menit lebih awal dari waktu janjian.

Cika menghampiri Al.

"Jangan menyesalinya, karena setelah kita masuk, keputusan ada di tangan saya."

Cika mengangguk, dia menatap Al dengan pandangan yakin.

Dua jam kemudian, Al dan Cika keluar dari KUA dengan masing-masing memegang buku nikah yang baru mereka dapatkan. Cika menatap buku nikah di tangannya dengan tatapan bingung, sangat tidak nyata, sampai suara Al menginterupsi pikirannya.

"Mau diantar kemana?" tanya Al sembari mengeluarkan kunci mobilnya.

Cika hendak menolak, namun pandangannya tertuju pada buku nikah yang Al pegang.

"Antar ke kosan, ambil barang-barang."

Al mengangguk, mereka berjalan ke arah mobil sedan hitam milik Al dan masuk.

Cika memandang pemandangan jalanan lewat kaca mobil.

Al melirik Cika dan tidak mengatakan apa-apa.

Dua puluh menit kemudian, Al dan Cika sampai di kosan Cika. Siang hari, penghuni kosan terlihat di pekarangan.

"Eh, Neng Cika dari mana atuh? Tumben pulang siang," sapa Sri, pemilik kos yang sedang duduk bersama beberapa penghuni kos lain di bangku pos jaga.

"Iya, biasanya kan malam, ya? Itu di belakang siapa, Neng? Cowok baru ya? Neng jadi pindah? Syukur deh udah dapat tempat tinggal baru ya? Semoga jangan ulangi lagi ya," ujar salah seorang penghuni yang berpakaian seksi yang adalah sepupu si pemilik kosan.

Cika hanya menanggapi seadanya. Dia menarik Al ke dalam agar tidak menghiraukan perkataan mereka.

Al hanya diam, mengabaikan mereka dan mengikuti Cika ke dalam.

Keduanya tidak berbicara. Al membantu membawa satu kotak kardus serta satu koper Cika ke dalam mobil. Cika mengikuti dengan dua tas kecil dan satu koper kecil di belakangnya.

Cika menghampiri pemilik kos dan menyerahkan kunci padanya.

"Terima kasih untuk enam bulan ini, Bu."

Sri hanya mengangguk.

Cika menarik nafas panjang lalu berjalan ke arah mobil Al.

"Sudah?" tanya Al, dan mengambil barang yang Cika pegang.

Cika mengangguk. Mereka masuk ke mobil dan melaju pergi. Walaupun sayup-sayup, Cika masih mendengar percakapan Sri dan yang lain tentang dirinya.

Cika melihat ke belakang lalu menghembuskan nafas pelan. Dia menutup mata dengan tangan yang meremas rok selutut nya.

Cika tidak tahu kenapa mereka sejahat itu padanya, saat dia tidak melakukan kesalahan fatal.

Pekerjaannya sering mengadakan lembur , dia jadi sering pulang malam beberapa Minggu kebelakang, beberapa kali dia bertemu suami ibu kos, Pak Adi di jalan karena itu tetangga yang melihat salah paham, juga dia hanya menyapa lalu bergegas pergi tanpa berbincang dengan Pak Adi, tapi gosipnya melebar luas dan menjadi lebih buruk lagi.

Juga beberapa kali Arya atau Ardi teman kerjanya mengantar Cika pulang yang kebetulan tempat mereka tinggal tidak jauh dari sini, dan itu menimbulkan gosip yang lebih besar.

Cika jadi merasa bersalah karena gosip dia pun sering pulang dengan taksi atau ojol agar tidak menimbulkan gosip lain.

Namun karena kejadian beberapa itu semuanya memburuk. Cika menghela nafas berat sambil memandang keluar jendela.

Al menoleh melirik ke arah Cika sebelum kembali berpaling dan fokus mengemudi.

Terpopuler

Comments

<|^BeLly^|>

<|^BeLly^|>

Nggak bisa bayangkan hidup tanpa cerita dan karakter dalam karya ini!

2024-09-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!