Al merasa badannya seperti tertimpa sesuatu. Ia mengerutkan kening, mencoba mengusir kantuk yang masih menyelimuti. Perlahan, matanya terbuka, menatap langit-langit putih dengan cahaya oranye redup menyinari kamar. Saat ia menunduk, matanya membelalak. Sebuah lengan melingkar erat di dadanya. Ia menoleh—Cika. Gadis itu membenamkan wajahnya di dada Al, sementara tangan dan kakinya memeluk erat tubuh pria itu.
Al mendesah pelan. Detik itu juga, pikirannya berlari, mencoba menebak reaksi Cika bila ia terbangun dalam posisi seperti ini. Pastinya, situasi akan menjadi canggung dan rumit. Malu. Salah tingkah. Dan bisa jadi, bencana.
Alih-alih membangunkannya, Al memilih bergerak perlahan, berusaha melepaskan diri tanpa membangunkan sang istri kontrak. Dengan sangat hati-hati, ia mengangkat tangan dan kaki Cika, membetulkan posisi tidur gadis itu agar tetap nyaman. Setelah berhasil lepas, ia menghela napas lega, menatap Cika sejenak sebelum melangkah keluar kamar. Pagi itu, Al bersiap ke kantor—meninggalkan kehangatan yang tak sengaja terjalin semalam.
Cika terbangun beberapa jam kemudian. Ia melirik sekeliling kamar dan mengerutkan dahi. Tak ada Al. Ia menguap lebar sebelum mengambil ponsel. Matanya membulat—sudah siang! Biasanya, ia tak tidur selama ini. Tapi pagi ini berbeda, ia merasa tubuhnya segar, rileks. Mungkin karena malam sebelumnya ia merasa benar-benar aman. Ia tersenyum. ‘Kapan lagi bisa bermalas-malasan begini,’ batinnya.
Setelah puas bermalas-malasan, Cika bangkit dari tempat tidur. Ia mendapati kamar dalam keadaan rapi, semua tertata rapi. Bahkan pakaian kotor yang semalam ia tinggalkan kini sudah tidak ada. Mungkinkah Al yang membereskannya? Hatinya menghangat.
Lima belas menit kemudian, Cika sudah siap dengan dress selutut berwarna pastel. Ia melangkah ke dapur dan matanya membelalak. Di meja makan, ada ayam goreng sambal merah yang harum menggoda, lengkap dengan segelas susu putih.
"Wow!" serunya sambil menutup mulut, terharu. Tak disangka, Al meninggalkan sarapan untuknya. Pria itu benar-benar penuh perhatian. Suami kontrak yang... terlalu sempurna.
Tak lama, telepon Cika berdering. Nama Syifa muncul di layar.
“Bagaimana? Jadi berangkat? Kamu nggak balas pesanku dari tadi,” suara Syifa terdengar.
“Jadi dong. Kamu harus temani aku beli perlengkapan buat ketemu mertua besok.”
“Mau aku jemput?”
“Enggak perlu. Kita ketemu di mall aja.”
Cika menutup telepon, membawa piring kotor ke wastafel dan mencucinya sendiri. Setelah memastikan make-up-nya rapi, ia pun berangkat.
Sementara itu, di kantor, Al tampak tidak fokus. Beberapa kali ia memandangi layar komputer tanpa benar-benar membaca isinya. Marvin, asistennya, memperhatikan perubahan itu.
“Pak, Anda baik-baik saja?” tanya Marvin hati-hati.
Al mengangguk pelan. “Aku butuh waktu sendiri. Tolong jangan ganggu dulu.”
Setelah Marvin keluar, Al menghela napas berat. Bayangan Cika yang memeluknya erat tadi pagi kembali terlintas. Entah mengapa, detik itu terasa... berbeda.
Cika dan Syifa akhirnya bertemu di mall. Mereka langsung berbelanja keperluan Cika untuk kunjungan ke rumah mertua. Setelahnya, mereka mampir ke salon untuk perawatan total—tentu saja, semua dibayar dari uang Al.
Mulai dari body scrub, mandi uap, pijat relaksasi, body mask, manicure-pedicure, facial, hingga styling rambut. Semua dijalani Cika dan Syifa dengan senyum puas.
Setelah itu, mereka mengakhiri hari dengan makan di restoran.
“Kamu beruntung banget bisa dapet cowok kayak Al,” ujar Syifa, sambil memotong ayamnya. “Mapan, perhatian, tempat tinggal aman, uang juga cukup. Tapi... kalian udah beneran jadi suami istri belum?” ia menyipitkan mata. “Udah... malam pertama?”
Pertanyaan itu membuat Cika melotot. “Astaga, kamu ini!” serunya.
Syifa terkekeh. “Penasaran, dong!”
“Al itu... gay.” Cika berbisik, memastikan tak ada yang mendengar. “Itu sebabnya dia setuju dengan rencana pernikahan kontrak ini.”
Syifa menggeleng tak percaya. “No way. Gak masuk akal cowok sekeren dia gay.”
“Dia gak pernah nyentuh aku. Sama sekali,” ujar Cika datar. “Mungkin emang dia cuma butuh istri formal buat ngadepin keluarganya.”
Syifa termenung. “Atau... dia cuma belum siap. Mungkin dia bukan gay, tapi terlalu sibuk sama kerjaan.”
“Mungkin,” ujar Cika sambil menunduk. “Tapi dia terlalu baik. Tadi pagi kamarnya udah rapi, bajuku udah dicuci, dijemur juga. Dia bahkan ninggalin sarapan. Kalau kayak gini terus, aku bisa baper.”
Syifa terdiam. Dalam hati, ia merasa khawatir. Kalau Cika jatuh cinta dan ternyata Al tidak bisa membalas perasaan itu, luka yang muncul bisa lebih dalam dari yang dibayangkan.
“Kamu harus hati-hati,” kata Syifa akhirnya. “Jangan sampai kamu jadi korban dari harapan sendiri.”
Cika mengangguk. “Aku tahu. Kami nggak punya batas waktu di perjanjian itu. Semuanya tergantung Al. Kalau dia minta cerai, ya cerai. Aku nggak bisa minta lebih.”
“Dan kamu siap untuk itu?”
“Belum tentu. Tapi aku akan mencoba. Aku cuma bisa jaga perasaan, bersikap profesional. Kalau nanti aku mulai jatuh cinta... aku harus siap. Kalau harus bicara baik-baik dan mengakhiri, aku akan lakukan.”
“Bagus,” ujar Syifa. “Kamu harus siap untuk skenario terburuk. Tapi kalau ternyata dia bukan gay?”
Cika termenung. “Mungkin aku akan bicara dari hati ke hati dengannya. Tanya apa dia juga merasa yang sama. Kalau iya, mungkin kami bisa mulai dari awal. Tapi kalau tidak... aku hanya ingin dia jujur. Aku bisa menerima apa pun keputusan dia.”
Syifa mengangguk. “Lalu, apa keputusan terbaik buat kamu sekarang?”
Cika menatap Syifa, senyum tipis mengembang. “Entahlah. Mungkin takdir yang akan menentukan. Aku hanya bisa menjalani dan menunggu—hingga Al yang bicara. Yang pasti, aku akan siap... untuk segalanya.”
Syifa memandang sahabatnya itu dengan rasa campur aduk. Kagum, khawatir, dan sedikit cemburu. Tapi sebelum sempat berkata lebih jauh, ia berkata, “Ngomong-ngomong... kamu tahu Jia?”
Percakapan serius itu pun perlahan larut dalam obrolan ringan mereka selanjutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments