Bab 4
Siang itu, suara ketukan di pintu kamar hotel Tania mengusik keheningan yang ada. Tania, yang sedang duduk di tepi tempat tidur sambil memeriksa beberapa dokumen di laptopnya, menoleh ke arah pintu dengan alis sedikit terangkat. Siapa lagi yang akan datang di saat seperti ini? Dengan perasaan penasaran, dia berjalan menuju pintu dan membukanya.
Di sana, berdiri Alex dengan wajah datar khasnya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana hitam, tampilannya rapi seperti biasa. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan hangat. Hanya tatapan yang nyaris kosong.
Tania berusaha menahan senyum, membayangkan Alex sebagai robot tanpa emosi. *Astaga, pria ini benar-benar tanpa ekspresi. Apa dia tidak pernah tersenyum? Atau setidaknya menunjukkan sedikit perasaan?* pikirnya sambil mencoba menahan tawa.
"Ada apa, Alex?" Tania akhirnya bertanya, suaranya terdengar datar mencoba menyamai nada bicara Alex.
Alex menghela napas ringan sebelum berbicara. "Aku ingin kau bersiap-siap. Kita akan pindah ke rumahku di London."
Tania menatap Alex dengan sedikit kebingungan. "Pindah? Kenapa tiba-tiba? Aku pikir kita akan tinggal di hotel ini untuk sementara waktu."
"Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di London. Dan lebih mudah bagiku jika kau tinggal di rumahku daripada bolak-balik ke sini," jawab Alex dengan nada yang sama datarnya.
Tania mendesah, menyadari bahwa keputusan ini tampaknya tidak bisa dinegosiasikan. "Dan kau baru memutuskan ini sekarang? Tidak ada pembicaraan sebelumnya?"
"Aku tidak melihat perlunya," jawab Alex. "Aku tidak berpikir kau akan keberatan."
*Ya, tentu saja, mengapa aku harus keberatan?* Tania membatin dengan nada sarkastik. Dia menggelengkan kepala, mencoba meredam kekesalannya. "Baiklah, aku akan berkemas. Berapa lama lagi kita berangkat?"
"Satu jam lagi cukup?" Alex bertanya, masih tanpa emosi.
Tania menatapnya dan menahan dorongan untuk tertawa lagi. *Satu jam? Ya, sepertinya aku bisa berkemas dalam waktu itu.* "Ya, aku bisa siap dalam satu jam."
Alex mengangguk ringan. "Bagus. Aku akan menunggumu di lobi." Dia kemudian berbalik untuk pergi, namun sebelum melangkah keluar dari kamar, dia menoleh dan berkata, "Jika ada yang kau butuhkan, hubungi saja aku."
Tania hampir tidak percaya dengan kata-kata Alex. *Wow, akhirnya dia menunjukkan sedikit perhatian.* "Terima kasih, Alex. Aku akan berusaha tidak terlalu merepotkanmu," katanya dengan nada yang sedikit lebih ringan.
Alex hanya mengangguk sekali lagi sebelum pergi tanpa berkata apa-apa lagi, meninggalkan Tania sendirian di kamarnya.
Setelah pintu tertutup, Tania tertawa kecil. "Dia benar-benar pria tanpa ekspresi," gumamnya sendiri. *Bagaimana bisa seseorang begitu datar dan tidak menunjukkan perasaan sama sekali?* Tania menghela napas, kemudian mulai berkemas.
***
Satu jam kemudian, Tania sudah siap dengan koper kecilnya di lobi hotel. Alex menunggunya di sana, duduk dengan tenang sambil memainkan ponselnya. Ketika melihat Tania mendekat, dia berdiri dan menatapnya sebentar, lalu tanpa kata-kata, dia mengambil koper Tania dan berjalan menuju pintu keluar.
Tania mengikuti Alex sambil memutar matanya. *Ya Tuhan, dia bahkan tidak bertanya apakah aku siap atau tidak. Langsung saja main bawa koper. Apa dia pikir aku boneka?*
Di dalam mobil, perjalanan menuju rumah Alex di London berjalan dalam keheningan. Tania yang duduk di sebelah Alex mencoba membuka percakapan, berharap bisa mendapatkan reaksi dari pria itu.
"Jadi, seberapa jauh rumahmu dari pusat kota?" Tania mencoba memulai.
"30 menit dengan mobil, tergantung lalu lintas," jawab Alex singkat.
"Oh," respon Tania, merasa sedikit kecewa karena percakapan itu tidak berlanjut. "Rumahmu besar?"
"Ya, cukup besar."
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Tania menghela napas dalam hati. *Astaga, dia benar-benar sulit diajak bicara.*
"Alex, kau tidak merasa aneh tinggal serumah dengan seseorang yang hampir tidak kau kenal?" tanya Tania tiba-tiba, berharap pertanyaannya akan memancing diskusi lebih lanjut.
Alex menoleh sedikit, tapi pandangannya kembali ke jalan. "Ini bukan tentang keinginan atau perasaan, Tania. Ini tentang situasi yang harus dijalani. Kita berdua tahu ini."
Tania menatap Alex dengan rasa penasaran. "Apa kau selalu berpikir begitu logis? Kemarin bahkan kau marah karena tidak setuju dengan pernikahan kita."
"Emosi tidak terlalu berguna dalam situasi seperti ini," jawab Alex dengan tenang.
Tania ingin tertawa lagi, tapi dia menahannya. "Aku tidak tahu apakah harus kagum atau merasa kasihan padamu, Alex. Hidup tanpa emosi terdengar sangat membosankan."
"Aku tidak butuh simpati," jawab Alex datar. "Aku butuh ketenangan."
Ya, Alex memang tidak pernah tertarik pada wanita karena menurutnya wanita hanya akan merepotkannya saja.
Tania menghela napas dan memandang ke luar jendela, memikirkan kata-kata Alex. *Bagaimana mungkin seseorang bisa hidup hanya dengan logika? Tapi entahlah, mungkin aku akan menemukan jawabannya selama enam bulan ini.*
Setibanya di rumah Alex, Tania mendapati rumah itu besar, elegan, dan terawat dengan baik. Sebuah rumah yang mencerminkan karakter Alex yang tampaknya tertib dan teratur. Namun, di balik semua itu, Tania merasa ada sesuatu yang hilang—kehangatan.
"Mari kita masuk," ajak Alex sambil membawa kopernya.
Tania mengikutinya masuk ke dalam rumah. Mereka berjalan melewati ruang tamu yang luas dan modern, sebelum akhirnya Alex berhenti di depan sebuah pintu.
"Ini kamarmu," katanya sambil membuka pintu dan menaruh koper Tania di dalam. "Aku di kamar sebelah. Jika ada yang kau butuhkan, kau tahu di mana mencariku."
Tania mengangguk sambil melangkah masuk. "Terima kasih, Alex."
Sebelum Alex meninggalkan kamar, Tania memutuskan untuk mencoba lagi. "Alex, apa kau pernah berpikir untuk setidaknya mencoba menikmati situasi ini? Maksudku, bukankah akan lebih mudah jika kita saling memahami?"
Alex menatap Tania sejenak, kemudian berkata, "Aku akan mencoba, Tania. Tapi jangan berharap terlalu banyak. Aku bukan orang yang mudah berubah."
Setelah itu, dia keluar dan menutup pintu dengan lembut, meninggalkan Tania sendirian di kamarnya.
Tania tersenyum kecil dan menggelengkan kepala. "Setidaknya dia bilang akan mencoba," gumamnya pelan. Mungkin, hanya mungkin, ada harapan untuk mencairkan hati pria tanpa ekspresi itu.
Tania keluar dari kamarnya dengan langkah ringan. Dia masih memikirkan percakapan singkatnya dengan Alex tadi. Rumah Alex begitu besar, dan dia merasa perlu menjelajahi setiap sudutnya untuk mengusir kebosanan. Saat dia menuruni tangga dan menuju ruang tengah, Tania melihat dua pelayan yang sedang sibuk membersihkan area tersebut.
"Selamat pagi!" sapa Tania dengan ramah.
Kedua pelayan itu berhenti sejenak, lalu tersenyum sopan. "Selamat pagi, Nyonya," jawab salah satu pelayan, seorang wanita yang terlihat sedikit lebih tua.
"Oh, tolong jangan panggil aku Nyonya. Namaku Tania. Aku hanya tamu di sini," kata Tania sambil tersenyum lebih lebar.
Pelayan itu mengangguk dengan hormat. "Baik, Nyonya Tania."
"Jadi," Tania mulai bertanya dengan nada menggoda, "bagaimana biasanya Alex bersikap di rumah? Dia selalu terlihat begitu... serius."
Pelayan yang lebih muda saling melirik sebelum menjawab dengan hati-hati, "Tuan Alex memang orang yang pendiam dan jarang berbicara kecuali jika ada hal penting. Dia selalu fokus pada pekerjaannya."
Tania mengangguk, tidak terkejut dengan jawabannya. "Ya, itu yang aku perhatikan juga. Dia sangat... kaku, ya? Seperti tidak pernah benar-benar rileks."
Sebelum pelayan itu sempat menjawab, terdengar suara deheman dari belakang. Tania langsung menoleh dan mendapati Alex berdiri di ambang pintu dengan tangan di sakunya. Raut wajahnya datar seperti biasa, tapi tatapannya seolah bertanya-tanya apa yang sedang dibicarakan oleh mereka bertiga.
"Oh!" Tania terkejut, jantungnya berdegup lebih cepat. "Alex! Aku hanya sedang mengobrol sedikit dengan mereka."
Alex hanya menggelengkan kepala pelan. "Aku sedang mencari dokumen di kantor. Jika kau butuh sesuatu, panggil saja pelayan," katanya datar, kemudian berjalan melewati mereka tanpa berkata lebih banyak.
Tania tertawa canggung sambil melambai sedikit. "Baik, terima kasih, Alex."
Setelah Alex pergi, Tania menghela napas lega dan kemudian menatap kedua pelayan itu dengan senyum jahil. "Wah, dia selalu muncul di waktu yang tepat, ya?"
Kedua pelayan itu tersenyum malu, dan pelayan yang lebih tua akhirnya berbicara, "Tuan Alex memang seperti itu, Nyonya Tania. Dia sangat perhatian pada setiap sudut rumah ini."
Tania memutar matanya sedikit, mencoba menyembunyikan senyumnya. "Ya, aku bisa melihat itu. Tapi dia benar-benar sulit diajak bercanda, ya? Bagaimana kalian semua bisa bekerja dengan seseorang yang begitu serius?"
Pelayan yang lebih muda tertawa pelan. "Kami sudah terbiasa, Nyonya Tania. Walaupun Tuan Alex terlihat serius, sebenarnya dia sangat baik hati dan peduli pada kami semua. Hanya saja, dia tidak terlalu pandai menunjukkan perasaannya."
Tania mengangguk sambil tersenyum penuh rasa ingin tahu. "Ah, jadi begitu. Jadi kalian tidak pernah melihatnya tersenyum atau tertawa?"
Pelayan yang lebih tua terdiam sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati, "Tuan Alex jarang sekali tersenyum. Tapi ketika dia melakukannya, itu benar-benar momen yang langka dan istimewa."
Tania merasa makin penasaran. "Hmm, mungkin aku harus mencoba membuatnya tersenyum. Siapa tahu aku bisa menjadi orang pertama yang berhasil dalam waktu dekat ini."
Pelayan yang lebih muda menutupi tawanya dengan tangan. "Itu tantangan yang sulit, Nyonya Tania, tapi jika ada yang bisa melakukannya, mungkin itu Anda."
Tania tertawa pelan. "Akan kucoba, meskipun aku tidak yakin bisa berhasil."
Dia kemudian menatap ke arah tempat Alex menghilang, lalu berbisik pada kedua pelayan itu dengan nada penuh rahasia, "Bagaimana kalau kita berusaha sedikit mengorek lebih dalam? Kalian pasti tahu sesuatu tentang dia yang aku tidak tahu, bukan?"
Pelayan yang lebih tua tampak ragu-ragu, tapi pelayan yang lebih muda tersenyum kecil. "Ada satu hal yang mungkin Anda tidak tahu, Nyonya Tania. Tuan Alex sangat suka minum teh di sore hari, terutama teh hijau dari Jepang. Dia selalu meminumnya sendiri di ruang kerjanya."
Tania mengangguk sambil mencerna informasi itu. "Teh hijau dari Jepang, ya? Hmm, mungkin itu bisa jadi cara untuk mendekatinya." Dia tersenyum lebar, merasa seperti seorang detektif yang baru saja menemukan petunjuk penting.
Pelayan yang lebih tua kemudian menambahkan dengan lembut, "Tapi ingat, Nyonya Tania, Tuan Alex memang orang yang sulit ditebak. Mungkin Anda perlu waktu untuk benar-benar mengenalnya."
Tania mengangguk setuju. "Ya, aku tahu. Tapi terima kasih untuk infonya, ini sangat membantu. Mungkin aku akan membuatnya kejutan dengan teh favoritnya."
Mereka bertiga tertawa kecil bersama sebelum Tania melanjutkan penjelajahannya di sekitar rumah, sementara kedua pelayan itu kembali ke pekerjaan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments