Episode 3

Setelah resepsi pernikahan yang panjang dan melelahkan, Alex dan Tania akhirnya tiba di hotel yang telah disiapkan oleh Diana. Mereka baru saja masuk ke dalam suite mewah yang dihiasi dengan bunga-bunga segar dan suasana romantis, sebuah tanda dari Diana bahwa malam ini seharusnya menjadi malam pertama bagi pasangan pengantin baru itu. Namun, Alex tampak tidak nyaman dan gelisah.

Alex melepaskan jasnya dengan cepat dan melemparkannya ke atas sofa. Tanpa melihat ke arah Tania, dia langsung menuju pintu keluar.

"Kau mau ke mana, Alex?" tanya Tania sambil melepaskan heels-nya. Dia sudah bisa menebak, tapi tetap saja dia merasa perlu untuk bertanya.

"Aku akan memesan kamar lain," jawab Alex singkat, tidak berhenti melangkah.

Tania menghela napas panjang, merasa frustrasi. "Alex, kita baru saja menikah. Setidaknya kita bisa mencoba berbicara, atau mungkin mencoba untuk lebih mengenal satu sama lain."

Alex menghentikan langkahnya di depan pintu, lalu menoleh sebentar ke arah Tania. "Aku tidak mau memaksakan sesuatu yang tidak aku inginkan. Dan aku tidak akan tidur di kamar yang sama denganmu malam ini. Atau kapan pun."

Tania mendekat, berusaha tetap tenang meskipun hatinya terasa berat. "Alex, aku tahu ini sulit bagimu, tapi setidaknya... berikan kesempatan. Kita bisa mulai dari hal kecil, seperti—"

"Aku tidak ingin ada kesan bahwa ini adalah pernikahan sungguhan," potong Alex dengan nada tegas. "Aku akan tidur di kamar sebelah. Jangan berharap lebih dari itu."

Tania terdiam sejenak, menatap Alex dengan tatapan lembut, meskipun ada luka di balik matanya. Dia tidak pernah mendapatkan sikap seperti ini dari teman-temannya.

"Alex, aku tidak meminta banyak. Aku hanya ingin kita bisa saling menghormati. Kita sudah terikat dalam pernikahan ini, dan meskipun kamu tidak menyukaiku, setidaknya... cobalah untuk menerima kenyataan jika sekarang kau adalah suamiku."

Alex hanya menggeleng, menunjukkan bahwa dia tidak tertarik untuk melanjutkan percakapan itu. "Aku sudah cukup menerima kenyataan ini dengan hadir di pernikahan kita. Jangan minta lebih."

Dia lalu membuka pintu dan melangkah keluar. Tania berdiri di ambang pintu, menatap punggung Alex yang menjauh. Dia tahu bahwa Alex membutuhkan waktu, tetapi tetap saja, sikap dingin ini membuatnya merasa sedikit kesal.

Setelah beberapa saat, Tania kembali masuk ke dalam suite, menutup pintu, dan duduk di tepi ranjang. Dia menatap cermin besar di depannya, melihat bayangannya sendiri yang tampak lelah. Dengan pelan, dia berbicara pada dirinya sendiri.

"Jika saja aku tidak punya kesepakatan dengan Nyonya Diana... pasti aku sudah kembali ke kantor sekarang. Aku seharusnya menangani kasus-kasus penting, bukan malah terjebak di sini, memohon perhatian dari seorang pria yang jelas-jelas tidak menginginkanku."

Tania menggelengkan kepalanya, merasa frustasi dengan situasinya. "Cuti dari pekerjaan untuk ini? Benar-benar menyebalkan."

Namun, dia ingat janjinya kepada Diana. Nyonya Diana telah memberinya keyakinan bahwa Alex akan belajar mencintainya jika diberi waktu dan kesempatan. Tania harus tetap pada rencananya, meskipun itu berarti harus bersabar dan menghadapi sikap dingin Alex.

Tak lama kemudian, telepon kamar berdering. Tania mengangkatnya dengan malas.

"Halo?"

"Tania, ini aku, Diana," suara Nyonya Diana terdengar lembut di ujung sana.

"Oh, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?"

"Bagaimana keadaan kalian? Apakah semuanya berjalan lancar?" tanya Diana dengan antusias.

Tania melirik ke arah pintu yang tadi dilalui Alex. "Semuanya baik-baik saja, Nyonya," jawab Tania, berusaha terdengar tenang.

Diana terdiam sejenak, seolah tahu ada sesuatu yang tidak beres. "Alex... Apakah dia baik padamu?"

Tania tersenyum kecil, meskipun itu hanya untuk menenangkan perasaan Diana. "Alex sedang berusaha, Nyonya. Saya yakin semuanya akan baik-baik saja. Saya hanya butuh waktu untuk membuatnya menerima saya."

Diana menghela napas lega. "Terima kasih, Nia. Aku tahu ini sulit, tapi aku percaya padamu. Alex hanya butuh waktu untuk terbiasa."

"Ya, Nyonya. Saya akan melakukan yang terbaik," jawab Tania dengan mantap.

Setelah menutup telepon, Tania meletakkannya kembali dan berbaring di tempat tidur yang terasa begitu luas dan sepi. Pikirannya melayang pada apa yang akan terjadi dalam enam bulan ke depan. Apakah dia akan berhasil menaklukkan hati Alex, atau pernikahan ini akan berakhir dengan perceraian seperti yang sudah dia perkirakan?

Tania menatap langit-langit kamar hotel itu, mencoba menenangkan pikirannya sebelum memejamkan mata. "Hanya enam bulan... Aku pasti bisa melakukannya," batinnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

***

Pagi itu, suasana restoran hotel terasa hangat dan nyaman dengan sinar matahari yang masuk melalui jendela besar, menerangi meja-meja sarapan yang penuh dengan berbagai hidangan lezat. Tania dan Alex duduk berhadapan di sebuah meja yang agak terpencil dari keramaian tamu lain. Meskipun suasananya tampak damai, di antara mereka ada ketegangan yang sulit diabaikan.

Tania dengan cekatan mengambil alih pesanan mereka. "Aku pesan croissant dan kopi untukmu, dan ada jus jeruk juga," katanya sambil memberikan senyum kecil yang tak direspons oleh Alex.

Alex hanya duduk diam, tatapannya tertuju pada layar ponselnya, jari-jarinya sibuk mengetik sesuatu tanpa henti. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, apalagi ucapan terima kasih.

Tania menatapnya sesaat, berharap mendapatkan setidaknya satu kata dari Alex. Namun, yang dia dapatkan hanyalah keheningan yang terasa dingin. Dia menghela napas perlahan, mencoba menahan rasa frustrasinya. Dalam hatinya, Tania mulai menggerutu.

*Kenapa sih pria ini sulit sekali untuk diajak bicara? Seolah-olah aku ini tidak ada di sini. Apa susahnya bilang terima kasih? Setidaknya sedikit sopanlah, aku kan istrinya sekarang!*

Tania mencoba mengalihkan perhatiannya dengan meminum jus jeruk yang sudah dipesan. Namun, matanya tetap mengawasi Alex yang masih terpaku pada ponselnya.

Tidak bisa menahan diri lagi, Tania akhirnya bicara, "Alex, apa kau tidak ada hal lain yang ingin kau lakukan selain bermain ponsel?"

Alex tidak mengangkat wajahnya dari layar. "Aku ada pekerjaan," jawabnya datar.

Tania mendesah, tidak puas dengan jawabannya. "Kita ini sedang sarapan. Setidaknya, beri sedikit waktu untuk percakapan. Atau apakah kau begitu sibuk sampai-sampai tidak bisa meletakkan ponselmu sebentar saja?"

Alex tetap tidak menatapnya, tetapi kali ini dia menghentikan aktivitas di ponselnya. "Tania, ini bukan sarapan yang kuinginkan. Aku lebih suka menikmati waktuku sendiri, jadi tolong, jangan memaksaku untuk berbicara."

*Astaga, apa dia selalu begini?* Tania merasa darahnya mulai mendidih. Namun, dia berusaha tetap tenang. Dia tahu bahwa kehilangan kesabaran tidak akan membantunya sama sekali.

Dia mendekatkan kursinya ke meja dan menatap Alex, mencoba mendapatkan perhatian pria itu. "Kita tidak bisa terus begini, Alex. Aku tahu kau tidak menginginkan pernikahan ini, tapi ini sudah terjadi. Kita harus menjalani ini bersama. Kita harus mencoba berkomunikasi."

Alex akhirnya menatap Tania, tapi hanya sebentar. "Apa yang kau inginkan, Tania? Aku sudah katakan sejak awal, aku tidak ingin ini. Aku hanya setuju untuk menyenangkan ibuku."

Tania menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan sakit yang timbul dari kata-kata Alex. "Kau pikir aku ingin ini terjadi? Aku juga punya kehidupan, pekerjaan, dan rencana. Tapi kita sudah terjebak dalam ini bersama, jadi kenapa tidak mencoba untuk setidaknya saling menghormati?"

"Kalau itu yang kau inginkan, aku bisa bersikap sopan. Tapi jangan berharap lebih dari itu," kata Alex tanpa ekspresi.

Tania mendengus pelan. "Sopan? Kau bahkan tidak mengucapkan terima kasih ketika aku memesankan sarapan untukmu. Itu sangat dasar, Alex. Aku tidak meminta yang berlebihan."

Alex kembali menunduk pada ponselnya, mengabaikan komentar Tania. "Terima kasih atas sarapannya," katanya tanpa sedikitpun menampilkan emosi.

Tania hampir saja meledak, tapi dia menelan kekesalannya dan memilih untuk diam. *Pria ini benar-benar menyebalkan! Seolah-olah dia sengaja membuatku marah. Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Jika ini yang harus kulakukan, aku akan bertahan.*

Setelah beberapa saat dalam keheningan yang canggung, pelayan datang dengan membawa pesanan mereka. Tania mengambil napas dalam-dalam, memutuskan untuk mencoba satu kali lagi. Dia harus tetap kuat jika ingin menghadapi Alex.

“Alex, kita akan melakukan apa hari ini?” tanyanya dengan suara yang lebih lembut, berharap bisa memecah suasana dingin di antara mereka.

Alex mengangkat bahu. "Aku ada rapat online siang ini, setelah itu aku mungkin akan pergi ke gym."

Tania mengangguk, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya. "Baiklah. Aku mungkin akan jalan-jalan sebentar di sekitar hotel. Mungkin ada tempat menarik yang bisa dikunjungi."

“Kau bisa lakukan apa saja yang kau mau,” balas Alex tanpa sedikit pun mengalihkan perhatiannya dari ponsel.

Tania menghela napas untuk kesekian kalinya. Pagi ini terasa lebih panjang dari yang dia bayangkan. *Ya Tuhan, ini baru hari pertama, dan aku sudah merasa lelah. Bagaimana aku bisa bertahan selama enam bulan?*

Namun, dalam hatinya, Tania tahu bahwa dia tidak akan menyerah. Dia punya tekad, dan jika ada satu hal yang bisa dia andalkan, itu adalah kesabarannya. Meskipun Alex sulit dihadapi, Tania tahu bahwa dia harus mencoba yang terbaik. Lagipula, dia tidak akan membiarkan pernikahan ini berakhir dengan kegagalan tanpa perlawanan.

"Fighting!" seru Tania.

Alex mengerutkan keningnya melihatnya dan hanya menggelengkan kepalanya acuh.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!