Bab 5

Sedangkan di tempat lain, Wati terus saja meracau. Seluruh tubuhnya menggigil sambil meringkuk. Bahkan sekujur tubuh sudah ia tutup dengan selimut tebal dan berlapis, namun rupanya semua itu tak berhasil mengurangi hawa dingin yang menerpa dirinya.

Penampakan yang semalam ia lihat sungguh mampu membuat jiwanya terguncang. Apalagi semalam ia berada di rumah sendirian. Ibu mertuanya menginap di puskesmas karena sakit yang di deritanya kambuh lagi.

Seperti biasa, Wati yang malas merawat Ibu mertuanya hanya membiarkan Ibu mertuanya mengerang kesakitan sendirian di rumah, rumah milik mertuanya tentu saja. Untung saja ada Wanto, tetangga sebelah rumah yang selalu sigap membantu dan menolong Bu Ijah dengan membawanya ke puskesmas.

Wanto merupakan sahabat Sugeng, suami dari Wati. Hubungan Wanto dan Sugeng sangatlah dekat. Mereka bersahabat sejak lama, bahkan sejak mereka masih kecil. Wanto sudah menganggap Bu Ijah seperti Ibunya sendiri, begitu pula sebaliknya.

Semalam, Wati baru saja melakukan panggilan dengan Juragan Prapto melalui telepon genggam jadulnya. Seperti biasa, mereka akan menghabiskan malam dengan saling rayu dan bermesraan melalui suara. Hal itu sering mereka lakukan meskipun siang hari mereka sering bertemu untuk melakukan hal yang tak dibenarkan agama. Namun karena kejadian sumpah pocong yang kemarin malam di lakukan oleh Pak Murdi dan istrinya, membuat dua pasangan haram ini memilih untuk menunda terlebih dahulu kebiasaan mereka dan melakukannya lewat telepon saja.

"Abang, Neng mau kebelakang dulu sebentar, ya." pamit Wati di tengah-tengah obrolan mereka.

"Kenapa, Neng? Kenapa nggak disini saja? Abang kan masih rindu." goda juragan Prapto di sebrang sana.

Biasanya jika digoda seperti itu ia akan bersikap manis dan sok manja untuk menarik perhatian juragan Prapto, namun kali ini berbeda. Wati merasa ada kejanggalan di rumah belakang. Pasalnya saat ini berada di rumah sendirian. Namun seolah-olah ada orang lain di dalam rumah mereka.

"Si_siapa?" Wati berjalan perlahan menuju pintu dapur yang terbuka. Padahal ia sudah sangat yakin kalau tadi ia sudah menutup dan mengunci rapat pintu dapur sebelum melakukan panggilan kepada Juragan Prapto. Ia tak bodoh, ia tak ingin satu orang pun mengetahui kelakuan bejatnya dengan juragan Prapto selama ini. Meskipun tetangga sekitar sering melihat keduanya saling menggoda, namun tak satupun orang yang mereka biarkan tahu kelakuan bejat mereka di belakang.

Nafas Wati memburu cepat. Ia berniat untuk segera menutup pintu dapur kembali, namun sekelebat bayangan melintas cepat di hadapannya. Tangan Wati yang masih menggenggang telepon genggamnya gemetar hebat. Bahkan suara juragan Prapto yang masih terdengar di seberang sana tak ia indahkan. Mata Wati fokus mencari sosok bayangan yang baru saja melewati pintu dapurnya menuju samping rumah. Dengan tangan gemetar, ia meraih daun pintu yang terbuka lebar. Namun upayanya sia-sia. Daun pintu itu terasa berat seolah ada yang mehanannya. Sekuat tenaga ia mencoba untuk menariknya kembali, namun tetap saja gagal.

"Hehhh... jangan ganggu. Pergi kamu." teriak Wati seolah sedang berbicara kepada seseorang.

"Neng... Neng Wati. Ada apa?" terdengar suara juragan Prapto dari sambungan telepon.

"Ju_juragan, se_sepertinya ada hantu disini." ucap Wati takut. Ia memilih mundur, masuk ke dalam dan tak mengindahkan pintu yang tak berhasil ia tutup.

"Aaaaaaarrrkkkkhhh..."

Suara jerit Wati terdengar hingga luar. Namun tak satupun tetangga yang datang untuk melihat. Lebih tepatnya, tak ada tetangga yang mendengar suara jeritannya. Bahkan, panggilan telepon yang ia lakukan dengan juragan Prapto tiba-tiba saja terhenti.

Tubuh Wati terkulai, kakinya terasa lemas manakala melihat sosok terbungkus kain kafan sedang duduk santai di ruang tengahnya. Sosok itu duduk dengan posisi membelakangi tubuh Wati. Namun Wati tahu persis seperti apa sosok yang saat ini berada di hadapannya.

Temaram lampu kuning yang memang sengaja Wati pasang di ruang tengah, sebagai penambah kesan romantis saat juragan Prapto datang kerumah untuk melakukan perbuatan yang mampu membuat keduanya melayang ke surga dunia, mulai berkedip berulang kali. Sosok pocong tersebut berubah ukuran menjadi semakin besar dan semakin besar lagi setiap bohlam lampu kembali padam.

Wati berusaha berlari, namun kedua kakinya seolah tak memiliki tulang. Ia memilih untuk menyeret tubuhnya menuju kamar. Keluar rumah pun tak mungkin. Pasti tak akan ada satupun tetangga yang akan berani menolongnya. Mereka akan memilih menutup rapat rumah mereka agar terhindar dari teror pocong.

"Pergi... pergi..."

Wati berteriak keras manakala sosok pocong tersebut berdiri. Meskipun wajahnya membelakangi Wati, namun tak mengurangi rasa ketakutan yang di rasakan Wati.

Aroma busuk menguar, memenuhi seluruh penjuru rumah. Perut Wati serasa di aduk. Rasa mual tak tertahankan membuat ia terpaksa harus menahan nafas. Wati menyeret tubuhnya menuju kamar. Menutup pintu kamar rapat dan bersembunyi di balik selimut tebal miliknya.

Tubuh Wati bergetar hebat. Sakit kencangnya tubuhnya bergetar, sehingga menimbulkan bunyi derit ranjang yang cukup nyaring. Suara gemeletuk gigi Wati yang saling beradu terdengar tak kalah nyaringnya. Mendadak semua itu terhenti dengan sendirinya, manakala Wati menyadari ada sosok lain di sebelahnya.

Wati memberanikan diri membuka sedikit matanya. Terlihat dari balik selimut, sosok panjang dan besar sedang berbaring tepat di sebelahnya. Bukan guling, karena Wati tak pernah suka memakai guling.

Aroma busuk kembali tercium. Wati tak berani bergerak barang sebentar. Ia memilih untuk menahan nafas dari pada harus muntah saat itu juga. Sekuat tenaga Wati menahan nafasnya sendiri hingga tiba-tiba kepalanya terasa berat dan pusing.

"Wat... Wati..." suara ketukan pintu di luar membuat Wati tersadar. Perlahan ia membuka selimut tebalnya dan rupanya matahari sudah meninggi. Bergegas Wati bangun dan matanya mencari sosok yang semalam berada di sebelahnya.

"Waaattt... Watiii... Buka pintunya." suara gedoran pintu yang semakin kencang membuat Wati bergegas menuju pintu depan.

"Mbok Nah." Wajah Wati tampak pias.

"Kenapa kamu, Wat? Semalam kok teriak-teriak?" tanya Mbok Nah yang melihat wajah Wati masih sangat pucat.

"Kamu ini, ditanya bukannya jawab malah diam saja." Mbok Nah tampak kesal.

"Mbok, semalam ada pocong disini" akhirnya Wati membuka suara.

Plaaakkk...

Mbok Nah memukul lengan Wati yang tak tertutup pakaian. Seperti biasa, Wati selalu memakai pakaian kurang bahan jika di rumah.

"Sakit, Mbok." protes Wati.

"Jangan sembarangan kamu. Memangnya kamu lihat makhluk itu dimana?" tanya Mbok Nah tak kalah takut. Pasalnya, beliau juga melihat bayangan pocong itu berkeliaran di luar rumah. Hanya saja, sosok itu tak mendatangi Mbok Nah. Maka dari itu, Mbok Nah tak berani menolong Wati karena beliau tak berani jika harus berurusan dengan setan yang paling kejam itu.

"Kamu diapain?" tanya Mbok Nah penasaran.

Terpopuler

Comments

⍣⃝ꉣꉣAndini Andana

⍣⃝ꉣꉣAndini Andana

ditemenin semaleman mbok, tuh pocong baik, tau Wati di rumah sendirian jadi nemenin lah 😁

2024-09-24

1

Heri Wibowo

Heri Wibowo

Alhamdulillah akhirnya yang ditunggu muncul juga.
jangan lama-lama updatenya Thor.

2024-09-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!