Bab 3

"Huuuuu.... dasar sontoloyo. Tadi nanya-nanya. Giliran di kasih tahu malah ngeloyor pergi. Dasar edan." Wati mengomel karena Halimah pergi begitu saja saat dirinya belum selesai berbicara. Harga dirinya serasa di jatuhkan begitu saja oleh Halimah si janda miskin di kampungnya.

Wati kembali berjalan melenggang. Sesekali terdengar senandung lirih dari bibir tipisnya. Raut bahagia terpampang jelas di wajahnya.

"Selamat pagi Neng Wati." sapa seorang laki-laki dengan suara beratnya yang serak. Mendengar ada yang menyapanya, Wati lantas menghentikan langkah kakinya dan berlenggak lenggok gemulai seperti cacing yang baru saja di tabur garam.

"Eh juragan Prapto." Wati terlihat tersenyum malu-malu setelah menyadari siapa yang memanggil namanya.

"Neng Wati mau kemana pagi-pagi begini? Mana cantik pisan." Juragan Prapto menoel dagu Wati yang sedikit panjang. Wati yang mendapat godaan dari juragan Prapto langsung salah tingkah. Tubuhnya semakin meliuk-liuk tak karuan seperti cacing kepanasan.

"Mau belanja ke warung Ucup, Juragan." jawab Wati masih dengan gaya tubuhnya yang membuat siapapun yang melihat akan merasa geli bahkan jijik karena tingkahnya yang kecentilan.

"Kok juragan sih? Abang dong." juragan Prapto semakin mendekatkan diri pada Wati. Bahkan ia tak segan memamerkan kedekatan keduanya di depan umum. Ia tak peduli dengan tatapan sinis dari beberapa orang yang sedang berbelanja di warung Ucup. Bahkan jaraknya pun tak jauh dari dua insan tak tahu diri itu berdiri.

"Ih, juragan. Eh, maksudku, Abang. Malu kalau dilihat orang lain." Wati melirik ke kanan dan ke kiri, wajahnya berubah pias saat melihat banyak pasang mata menatap ke arahnya.

"Sudahlah, tak usah di pikirkan mereka. Mereka cuma orang miskin yang iri sama keromantisan kita berdua." Juragan Prapto dengan tak tahu malu menggandeng tangan Wati. Sedangkan Wati tampak sedikit risih dan mencoba melepaskan gandengan tangan Juragan Prapto.

Juragan Prapto memiliki lima orang istri. Namun sikap ganjennya tak pernah hilang, seolah ia tak pernah puas telah memiliki banyak istri di rumah.

Wati juga masih memiliki suami, namun ia tak pernah menolak jika Juragan Prapto memberikan perhatian lebih padanya.

Suami Wati bekerja di luar daerah sebagai kuli proyek. Sedangkan Wati tinggal bersama Ibu mertuanya yang sudah renta di kampung. Bahkan Wati tak pernah menghargai keberadaan Ibu mertuanya sendiri. Ia tak pernah peduli saat mertuanya menegur dirinya yang sering membawa laki-laki lain kerumah mereka.

"Neng, nanti malam Abang ke rumah, ya." Juragan Prapto tampak mengedipkan sebelah matanya pada wanita yang sering berdandan secara berlebihan itu.

Kumis lebat milik Juragan Prapto juga tak segan-segan mendarat di pipi milik Wati yang tertutup bedak tebal. Tubuh Wati seketika menegang mendapat perlakuan seperti itu. Ia lekas mengangguk cepat dan berpamitan untuk masuk ke warung milik Ucup. Seperti biasa, Juragan Prapto akan menyelipkan beberapa lembar kertas berwarna merah dengan angka sebagai nominal itu ke baju ketat milik Wati. Itulah yang membuat Wati mau berdekatan dengan Juragan Prapto meskipun laki-laki itu sudah memiliki banyak istri. Bahkan ia tak peduli julukan pelakor dan wanita gampangan yang di sematkan oleh banyak orang kepadanya. Selama suaminya tak tahu menahu soal kelakuannya, ia tak akan ambil pusing dengan omongan orang lain. Apalagi lembaran rupiah yang sering ia dapatkan dari Juragan Prapto, membuatnya semakin gelap mata.

"Eh Wati, kamu kok mau-maunya sama juragan Prapto." ucap salah satu Ibu-ibu yang sedang berbelanja di warung Ucup.

Wati melirik sinis, wajahnya yang sebenarnya tidak begitu cantik melengkapi begitu saja mendengar teguran dari salah satu tetangganya.

"Ingat Wati, kamu itu masih punya suami. Harusnya kamu sadar diri. Apalagi juragan Prapto juga punya banyak istri." ucap Ibu-itu itu lagi.

"Haaddduuuhhh.. udah deh jangan berisik. Lagian sibuk amat situ ngurusin hidup orang lain." bantah Wati tak terima.

"Kamu itu, di bilangin kok ngeyel. Jadi perempuan kok nggak ada harga dirinya." wanita itu memilih memberi jarak pada Wati karena kesal ucapannya di bantah oleh Wati.

"Eh Bu Parjo, dengerin ya. Kata siapa aku nggak punya harga diri? Nih lihat... Baru ketemu sebentar aja aku udah dapat segini. Gimana kalau aku ketemu setiap hari? Emang situ harganya berapa? Di tawarin gratis pun belum tentu ada yang mau." Wati membalas ucapan Bu Parjo panjang lebar dengan bibir mencibir. Bu Parjo yang semula ingin menjawab lagi ucapan Wati langsung di cegah oleh Ibu-ibu yang lainnya.

"Sudah, Bu. Biarkan saja." ucap Bu Sanah sambil mengusap lengan Bu Parjo agar lebih sabar.

"Tapi, Bu.."

Belum sempat Bu Parjo mengeluarkan suara, salah seorang wanita paruh baya menarik perlahan tangan Bu Parjo.

"Sssttt... sudah, Bu. Sabar." bisiknya.

Warung Ucup yang berada di perbatasan desa memang menjadi pilihan buat Ibu-ibu yang ingin berbelanja kebutuhan harian. Selain tokonya besar, disana juga menyediakan kebutuhan lengkap dengan harga murah.

"Oh ya, dengar-dengar semalam Pak Murdi sama istrinya meninggal karena di bantai pocong?" terdengar salah seorang wanita bertanya pada kerumunan Ibu-ibu yang sedang berbelanja sayur.

"Iya, kabarnya sih begitu. Tapi saya nggak yakin kalau mereka pelakunya." ucap Bu Parjo.

"Apalagi semalam ramai warga menghakimi mereka berdua sampai babak belur. Nggak tega aku lihatnya." Bu Susi menimpali.

"Semalam Bu Susi ikut warga juga?" tanya Bu Parjo yang di ikuti oleh pandangan tak suka dari Ibu-ibu yang lainnya.

Bu Susi menggeleng cepat.

"Enggak, Sumpah. Aku cuma lihat dari jauh. Tapi memang warga sana kejam-kejam. Brutal menghakimi Pak Murdi tanpa ampun."

Mereka saling beristighfar. Meskipun dalam hati mereka masih meragukan kabar yang beredar kalau Pak Murdi pelaku penganut ilmu hitam dan sering mengambil jari milik mayat yang baru di kubur, namun mereka juga tak memiliki bukti yang kuat untuk menyangkal. Yang mereka tahu, Pak Murdi memang sering berkeliling dengan membawa karung. Namun Pak Murdi dan Bu Prapti memang berkeliling untuk mencari barang bekas.

"Eh, kalian mau mengikuti jejak mereka berdua?" Tiba-tiba Wati yang tak di ajak mengobrol pun turut berbicara.

"Hati-hati kamu, Wat. Nanti malam di desamu di teror hantu pocongnya Pak Murdi." ucap Bu Parjo yang di jawab dengan cibiran dari bibir Wati.

"Nanti biar setannya Pak Murdi tak suruh ke rumah Bu Parjo duluan." ucap Wati sambil melenggang. Bu Parjo merasa kesal dan melempar salah satu sandalnya dan mengenai punggung Wati sehingga membuat wanita itu berbalik.

"Bu Parjoooo...."

"Apa? Awas kamu Wati, jangan lupa kunci jendela sama pintu kalau nggak mau di datengin pocong. Kamu pasti ikut andil dalam kejadian semalam, secara kamu selalu berbuat jahat sama Pak Murdi semasa hidupnya." ucap Bu Parjo membuat dada Wati bergemuruh hebat.

Terpopuler

Comments

Heri Wibowo

Heri Wibowo

apa?! lima orang istri! apa enggak keropos itu lututnya juragan?

2024-09-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!