"Aaammppuuunnn... kami tidak bersalah." ucap Sarti memohon belas kasihan. Namun karena provokator dari juragan Prapto,sehingga mampu membuat satupun warga yang memiliki rasa simpati pada Murdi dan Sarti.
"Juragan, mereka tetap tidak mau mengakui perbuatan bejatnya. Bagaimana ini?" teriak salah satu warga. Halimah yang merasa iba pada dua orang tetangganya itu memilih mundur dan memisahkan diri dari kerumunan.
"Mereka tidak bersalah." Halimah berteriak. Ia memberanikan diri untuk mengutarakan isi hati dan pikirannya sejak tadi.
"A_aku yakin mereka ti_tidak bersalah. Aku yakin." Halimah mengulangi ucapannya. Meskipun ada rasa takut saat mengutarakan pendapat, namun ia mencoba mengatakan apa yang ia yakini benar.
Semua mata tertuju padanya, tak terkecuali juragan Prapto.
"Jangan-jangan kamu bersekongkol dengannya." tunjuk juragan Prapto tepat di wajah Halimah. Wanita itu menggeleng kuat. Ia takut, takut jika nasibnya sama dengan kedua tetangganya itu. Halimah mundur, ia memilih kembali diam sambil menatap pilu Murdi dan Sarti yang sudah bersimbah darah. Wajah ya nyaris tak bisa dikenali karena amukan masa yang tak bertanggung jawab.
"Bawa dia ke lapangan. Lakukan sumpah pocong pada mereka." tunjuk salah satu warga.
Semuanya hening. Suara amukan yang tadinya saling bersahutan kini menjadi sunyi. Semua terdiam, masing-masing sibuk dengan isi kepala mereka. Tak begitu lama, terdengar saling bisik di antara mereka. Tentu saja diantara mereka ada yang setuju untuk di adakan sumpah pocong. Karena menurut mereka, hanya dengan cara itulah kebenaran akan terungkap.
Namun ada juga yang merasa ketakutan. Mereka takut jika sumpah itu terlaksana, maka akan ada kejadian yang membuat dua orang yang saat ini tak berdaya itu meregang nyawa jika memang semua yang di tuduhkan itu benar adanya. Namun jika mereka tak bersalah, bukankah itu artinya mereka telah berdosa karena telah menghakimi orang-orang yak bersalah?
Meskipun banyak di antara mereka yang ragu untuk melakukan ritual sumpah pocong, namun atas dorongan dari juragan Prapto dan para pesuruhnya, akhirnya dia manusia renta bernama Murdi dan Sarti itu di giring ke tengah lapangan. Dengan hanya beralaskan rumput kering, tubuh dua manusia itu di balut dengan kain putih dan di bungkus menyerupai pocong. Keduanya di letakkan begitu saja di tanah, tak ada perlakuan manis ataupun sedikit rasa iba pada mereka. Dengan disaksikan hampir seluruh warga desa, akhirnya pasangan Murdi dan Surti melakukan ritual sumpah pocong. Mereka berani mengucap sumpah dengan suara lirih karena menahan luka di sekujur tubuh.
Murdi dan Sarti berani bersumpah, jika apa yang warga tuduhkan selama ini adalah fitnah. Mereka juga bersedia, jika memang kenyataan mereka berbohong, maka keduanya dan semua keturunannya bersedia mendapatkan mala petaka yang bertubi-tubi.
Namun sebagai gantinya, jika memang semua tuduhan itu tak benar, maka akan di pastikan para warga yang ikut andil dalam ritual ini, akan mendapatkan balasan berupa mala petaka dan teror tak berkesudahan dari makluk yang saat ini mereka sebut.
Suasana mendadak suram. Langit yang tadinya cerah mendadak berubah gelap dengan sambaran kilat yang tiba-tiba saja muncul seolah mengaminkan sumpah dua makluk lemah tersebut.
Semua orang berbondong-bondong langsung bubar meninggalkan Murdi dan Sarti yang terisak. Keduanya saling menatap seolah sedang menguatkan satu sama lain. Tak ada yang membantu keduanya untuk bangun dan membersihkan diri. Semua seolah tak peduli, mereka langsung membubarkan diri seolah tak pernah terjadi apapun ditempat itu.
Halimah yang melihat tetangganya itu masih terbaring lemah, berniat untuk menolong melepaskan tapi pocong yang mengikat kuat tubuh mereka. Setelah dirasa aman, Halimah lekas berjalan mengendap dan berlari kecil untuk menghampiri dua orang yang masih tergeletak di tengah lapangan. Baru saja Halimah ingin memanggil nama Sarti, seseorang muncul dari balik rimbunnya alang-alang dengan membawa sesuatu di tangan.
Halimah mengurungkan niatnya. Ia kembali mundur dan langsung menundukkan kepala agar tak di lihat oleh orang yang baru muncul dari balik semak.
Ccrraaasssss....
Sebuah sabetan benda tajam mendarat berulang-ulang di tubuh Murdi dan Sarti. Halimah menutup erat mulutnya dengan kedua tangannya. Berusaha sekuat tenaga agar tak di lihat oleh manusia kejam yang tega membunuh kedua tetangga baiknya itu.
Hembusan nafas yang tak beraturan, di tambah suara degub jantung yang terdengar keras hingga seolah semua makluk bumi mendengar detak jantungnya, membuat dada Halimah terasa berat. Ia memilih untuk tetap bersembunyi dari pada berlari dan di ketahui oleh seseorang yang kini tengah menendang tubuh Murdi san Sarti bergantian. Tampak dari kejauhan jika tubuh mereka berdua sudah tak bergerak. Bahkan kain putih yang mereka kenakan kini sudah berubah merah bercampur tanah basah akibat genangan darah keduanya.
Halimah beringsut, tubuhnya luluh dan tak ingat apapun lagi. Ia tak sadarkan diri hingga pagi menjelang.
Mata Halimah mengerjap, menyipit karena silau oleh sinar matahari pagi. Rupanya ia pingsan terlalu lama. Bahkan tak ada yang menemukan dirinya yang tergeletak di sela-sela re rimbunan.
Halimah teringat kejadian semalam. Ia lekas mengintip ke sekitar dan sudah tak mendapati tubuh Murdi dan Sarti di tengah lapangan. Sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, Halimah lekas bangun dan berjalan menuju rumahnya. Ia sudah tak mendapati kedua tetangganya itu disana.
Awalnya Halimah berpikir bahwa apa yang dilihatnya semalam hanyalah mimpi. Namun semua itu terbantahkan dengan adanya genangan darah yang mengering di rerumputan tengah lapang. Dengan sedikit tergesa, Halimah berjalan kembali ke rumah.
"Jeng, kenapa kok kaya ketakutan gitu?" sapa salah satu tetangganya bernama Wati. Halimah hanya menggeleng. Ia berniat untuk lekas sampai kerumah.
"Eh, Jeng Wati." Halimah urung melangkahkan kaki, ia memilih memanggil Wati untuk mengetahui kelanjutan kejadian semalam.
"Kenapa, Jeng?" tanya Wati yang tampak biasa saja.
"Eemm... anu. I_itu." Halimah tak mampu meneruskan ucapannya. Di dalam ingatannya, masih jelas terekam bagaimana kejadian mengerikan semalam.
"Apa toh, jeng? Am em am em nggak jelas gitu?" Wati tampak kesal. Ia mendengus sebal dengan tingkah aneh Halimah.
"Sudah... sudah... kamu itu kenapa ketakutan kaya gitu? Apa kamu liat setan? Dimana?" Wati menatap Halimah yang masih ketakutan.
"Anu, itu, bagaimana kabarnya Murdi dan Sarti? Semalam aku tidak ikut ke lapangan." Ucap Halimah dengan perasaan tidak menentu.
"Tetanggamu itu udah mati, udah nggak bakal bikin onar lagi di kampung. Akhirnya kebenaran terungkap." celoteh Wati dengan senyum mengembang.
"Me_memangnya kebenaran apa?" Halimah memastikan.
"Ya itu, mereka mati karena sumpah pocong. Akhirnya tubuhnya habis di cabik-cabik oleh pocong" ucap Wati tanpa ada rasa belas kasihan sedikitpun.
Halimah menelan saliva dengan kasar. Tubuhnya menegang. Nafasnya kembali tak beraturan. Di cabik pocong? Padahal masih jelas di ingatannya bagaimana kedua tetangganya itu mati mengenaskan.
"Apa mungkin ini semua fitnah?" Halimah bergumam sendiri sambil pergi meninggalkan Wati yang masih bercerita panjang lebar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
jelas fitnah, biyarin nanti sekampung digangguin sama pocong /Frown/
2024-09-03
2
Heri Wibowo
Wow kejam amat sudah disumpah pocong dibunuh pula. Apakah Halimah mengetahui Siapa yang membunuh kedua pasangan itu. lanjut Thor.
2024-09-02
1