“Tadi itu hampir... kalau bukan karena gue, cewek loe mungkin bisa cacat seumur hidup!” Ujar bisma, dengan
tegas.
Morgan terlihat sedikit menghela napasnya.
“Sorry. And, thank you!” Jawab Morgan yang tak kalah tegas.
Aku hanya bisa memperhatikan mereka yang sedang bertikai.
“Gue gak ada niat sedikit pun, buat ngerebut cewek loe...” lirih Bisma, “tapi kalau dia ngasih celah, Why not?” lanjut Bisma.
Ia tersenyum licik dan berjalan pergi. Morgan menoleh ke arah samping membuang muka padanya. Bisma menghampiriku, kemudian memberikan secarik kertas padaku.
“Call me, ya?” gumam Bisma dengan nada yang nakal, sembari mengelus rambutku dan memberikan kertas tersebut.
Aku mengambilnya dalam keadaan setengah sadar, kemudian ia bergerak meninggalkanku dan Morgan.
Aku terdiam, tak bergeming. Morgan terlihat sedang berjalan ke arahku.
“Dikasih apa kamu sama dia?” tanya Morgan yang sepertinya tak senang dengan tingkah Bisma.
“Hmp....” Aku tak menjawab pertanyaannya, dan malah membuang muka, kemudian berlalu pergi meninggalkannya.
Aku kesal dengan hidupnya yang selalu mengatur dan selalu ada di saat yang tidak tepat.
***
“Ra....” Pekik kakak yang terdengar sampai ke kamarku yang berada di lantai 2.
Aku yang sedang bermalas-malasan, merasa terusik dengan pekikannya.
Manusia itu, tidak bisa ya memberikan aku sedikit ketenangan?
“Ra!” Pekiknya sekali lagi, membuatku gusar.
Aku harus menghampirinya, kalau tidak mau dimakan olehnya.
“Ribet amat, sih!” Lirihku sinis, sembari beranjak dari ranjangku.
Aku menghampirinya dengan berjalan gontai. Kenapa nasibku malang seperti ini?
“Apaan?” tanyaku sinis sembari mendelikkan mataku.
Ia mungkin saja tidak terima dengan sikapku, sehingga ia juga membalas tatapan mataku.
“Ini anak, susah banget dipanggilnya!” Bentaknya, membuatku membolakan mataku.
Aku tak sengaja melihat ke arah sofa. Terlihat seorang wanita asing, dengan memakai pakaian seperti seorang
sekretaris dan juga berdandan dengan dandanan yang hot, yang sama sekali tidak aku kenali. Aku menyipitkan mataku ke arahnya, yang sedang duduk bak tuan putri itu.
Bisa-bisanya kakak membawa orang ini!
“Siapa, loe?” tanyaku sinis.
“Ra, jangan kasar gitu, dong!” Bentak kakak, yang sepertinya tak senang dengan ucapan welcome-ku pada wanita ini.
“Apa salahnya? Aku cuma say hello aja, kok!” Bantahku, membuatnya semakin membelalak.
Aku tidak suka kakak membentakku karena orang asing, yang bahkan baru pertama aku temui itu.
“Gak usah pake say hello segala! Belanja ke mini market, Bibi lagi gak enak badan.” Titah kakakku.
Aku mendelik tak percaya.
Baru kali ini, aku diminta untuk membeli kebutuhan bulanan. Aku tidak terbiasa dengan itu. Biasanya, aku yang
meminta kakak untuk membelikan sesuatu yang kuperlukan, atau meminta Reza untuk....
Ah.
Sudahlah.
Aku tidak mau mengingat laki-laki itu lagi.
“Gak mau.” Tolakku tegas, sembari menyedekapkan tanganku.
“Mulai ngebantah, ya?” tanyanya, yang terdengar seperti sebuah ancaman bagiku.
Ya. Beginilah nasib anak bungsu.
Aku ingin cepat menyelesaikan pendidikanku, agar tidak terkekang dengan peraturan yang tidak jelas ini.
“Mana duitnya?” tanyaku sinis, membuatnya tersenyum.
Aku sangat benci dengan senyumannya itu.
“Nah, gitu dong.” Lirihnya dengan riang, sembari mengacak-acak rambutku.
Aku menepis tangannya karena risih.
“Apa si? Mana sini duitnya!” Sinisku.
Entah kenapa, rasanya ingin selalu menarik urat saat berbicara dengannya.
Ia merogoh saku celananya, dan mengambil beberapa lembar uang pecahan. Ia memberikannya padaku, lalu aku mengambilnya dengan cepat.
“Wets... biasa dong. Duit aja cepet,” godanya, membuatku ingin sekali memukulnya, “catatan barang yang harus
dibeli, udah kakak kirim di pesan masuk.” Sambungnya.
“Gak tau, ah!” Gumamku, yang merasa sudah jengkel dengannya.
Aku melewati wanita itu dengan membelalak ke arahnya, sembari menunjukkan dua jariku ke arah mataku, dan matanya, yang mengisyaratkan kalau aku sedang mengawasinya.
Aku pergi dengan perasaan kesal.
Enak saja dia, memerintah seenaknya seperti itu, tapi, ia malah asyik berduaan di sana.
Aku berjalan menuju mini market yang berada di depan komplek rumah. Karena asisten rumah sedang tidak enak badan, akhirnya aku terpaksa menuruti kakak untuk membeli kebutuhan bulanan di rumah.
“Kenapa si harus gue gitu? Kenapa gak dia aja yang jalan gitu? Asik pacaran aja di rumah!” Gumamku mendengus kesal.
Aku berjalan di keheningan malam.
Sunyi.
Tak ada yang mengeluarkan suara.
Aku menoleh ke arah jam tangan yang aku pakai, di tangan kiriku. Waktu menunjukkan pukul delapan lewat lima belas. Aku jadi agak merinding, karena sepanjang menyusuri jalan, tak ada orang sama sekali yang berlalu-lalang.
“Kenapa harus malem-malem gitu? Apa gak bisa besok pagi? Atau besok sore gitu?” gumamku yang kesal padanya.
“Lagian gue juga mau aja sih, kenapa mau aja disuruh sama dia?”
“Pluk....”
Aku dengan sengaja menendang botol yang ada di hadapanku.
“Huft....”
“Kalau bukan karena uang, gue juga gak akan mau disuruh gini sama dia!” Lirihku, semakin menjadi.
Aku mendengar sesuatu yang aneh.
“Rrrrrr... guukkk... guukkkk....”
Tiba-tiba muncul seekor anjing yang menggonggong dari arah depanku. Aku kaget dan bingung. Entah apa
yang harus aku lakukan?
Mengingat jalan di komplek ini sangat sepi.
“Ada anjing!” Teriakku.
Aku berlari ke arah belakangku. Sialnya, anjing itu terus menerus mengikutiku.
“Gimana ini?” Aku kebingungan dan panik.
“Tseeeet....”
“Aaaaaaaaaaaa....”
“Guuuk gukkkk....”
Anjing itu berlari kencang dan suaranya perlahan menurun sampai tidak terdengar lagi.
Namun ada yang lebih aku takut lagi!
Ada tangan hangat yang melingkar di pinggangku, dan tangan satunya menutup mulutku. Aku tak berani menoleh ke belakang.
Hanya bisa pasrah.
Siapa sebenarnya laki-laki ini?
Ia melepaskan pelukannya dan juga melepaskan tangannya dari mulutku yang sedari tadi ia bungkam. Aku membalikkan tubuhku ke arahnya. Ia lalu mengunciku di dinding.
“Loe gak papa?” tanyanya.
Baruku sadar, yang menolongku ialah....
“Bisma?” pekikku kaget tak percaya.
Ia tersenyum manis padaku.
“Kok loe bisa ada di--”
“Stt....”
Bisma menahan bibirku dengan jari telunjuknya, membuatku tidak bisa melanjutkan ucapanku.
“Rumah gue tepat di halaman depan gedung ini. Ini bagian belakangnya.” Jelasnya.
Aku heran sekaligus kaget.
“Oh ternyata tetangga yang baru pindahan itu, loe?” ucapku menyimpulkan sekaligus bertanya.
Ia hanya mengangguk kecil.
“Jadi lega, biar bisa berangkat ngampus bareng.” Ucapnya yang tak kusangka, akan mengatakan hal itu.
Aku tersenyum, kemudian suasana menjadi canggung. Baru kusadari, sejak tadi, ia mengunci tubuhku di dinding
dengan tubuhnya.
“Emm... Bis--”
“Ra....”
Aku terkejut, karena mendengar kami mengucapkan kata secara bersamaan.
“Loe duluan, Ra.” Ucapnya mempersilakan aku berbicara terlebih dulu.
“Oh gak, loe aja duluan.” Tepisku, membuatnya tertawa kecil.
“Hehe... okey deh.”
“Haaaaaa....” Ia menarik napas panjang.
“Ra....” Pekiknya dengan padangan yang sepertinya serius.
Aku memandanginya dengan seksama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Sarianti
hadewww ngak jelas tu orang
2021-07-17
0
EsKobok
hayolohh ga bisa lolosss
2021-07-14
0
Fatahillah Ahmad
anjay tiba2 nyium gitu 😳
2021-07-11
0