Sore itu, setelah wawancara selesai, Nadif duduk di pinggir jalan, termenung dan berbicara dalam hati.
"Kalau dulu gue lebih serius, pasti hidup gue nggak akan sesulit ini. Kalau gue bisa balik ke masa lalu, gue pengen banget perbaiki semua yang gue kacauin waktu muda dulu."
Setelah curhat sendiri, Nadif berdiri, menghela napas, lalu berjalan menuju stasiun untuk pulang ke Jakarta Selatan.
Di dalam kereta, dia memilih duduk di bangku dekat jendela. Hari itu cukup panjang, dan sekarang dia hanya ingin istirahat. Biasanya kereta penuh sesak di jam pulang kerja, tapi kali ini terasa lebih longgar.
Nggak lama setelah duduk, rasa lelah mulai mengambil alih, dan Nadif akhirnya terlelap. Tapi tiba-tiba, kereta yang awalnya berjalan normal mulai melaju dengan kecepatan yang nggak biasa.
Guncangan keras membangunkannya. Matanya masih berat, dan pemandangan di luar jendela terlihat kabur karena kereta yang makin ngebut. Dia mencoba fokus, mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Kereta yang tadi penuh mendadak kosong. Kursi-kursi yang biasanya penuh penumpang, sekarang kosong melompong. Nadif mulai cemas dan bingung.
"Apa yang terjadi?" pikirnya.
Dia mencoba menenangkan diri dengan memejamkan mata, berharap ini semua hanya mimpi. Tapi guncangan yang semakin kencang membuatnya sulit tidur lagi.
Saat dia membuka mata, kereta mulai melambat. Dan yang bikin dia terkejut, interior kereta tiba-tiba berubah. Dinding-dinding modern diganti dengan panel kayu cokelat tua, lampu neon digantikan oleh bohlam kuning lembut, dan kursi-kursi sintetis berubah menjadi kursi kulit cokelat dengan detail ukiran yang sederhana.
Nadif menoleh keluar jendela dan terperangah. Pemandangan yang familiar muncul di hadapannya-stasiun Tugu di Yogyakarta. Stasiun yang dulu dia datangi pertama kali ketika merantau sebagai mahasiswa baru.
Stasiun itu tampak sama persis dengan yang dia ingat, dengan peron ubin keramik putih bersih dan papan nama stasiun yang huruf-hurufnya sudah mulai pudar. Di sekitarnya, bangunan bergaya kolonial Belanda dengan dinding putih dan atap merah, serta lampu-lampu jalanan klasik yang memancarkan cahaya lembut.
Suara kendaraan yang tidak terlalu bising dan keramaian pedagang kaki lima di luar stasiun menambah suasana khas Yogyakarta.
Nadif melangkah keluar dari kereta dengan perasaan bingung. Dia berdiri di tengah peron, merasakan udara segar Yogyakarta yang sejuk dan familiar.
Pemandangan ini, suasana ini, sangat dia kenal. Ini adalah stasiun Tugu yang dia ingat saat pertama kali datang dari Purwokerto untuk memulai hidup baru sebagai mahasiswa.
Dengan perasaan campur aduk, dia mengingat kembali masa-masa awal merantau ke kota ini. Suasana di sekitar stasiun, aktivitas, dan suara khas Yogyakarta membangkitkan kenangan lama.
Tapi sekarang, rasanya seperti dia benar-benar kembali ke masa lalu, dan dia sama sekali nggak paham bagaimana ini bisa terjadi.
Nadif memandang ke arah kaca kereta. Bayangan dirinya dalam jaket hoodie hitam terlihat jelas di kaca. Anehnya, dia melihat dirinya yang berbeda. Bukan kemeja putih lusuh dan celana hitam yang tadi dikenakan, tapi jaket hoodie hitam yang modis. Dia terlihat lebih segar, lebih muda, dan lebih tampan, persis seperti saat dulu banyak wanita terpikat padanya.
"Ini mimpi kali, ya?" gumamnya.
"Barusan gue masih di Jakarta, sekarang tiba-tiba ada di Yogyakarta?"
Dia memandang peron dengan kebingungan. Keramaian orang-orang, suara pedagang kaki lima, dan lampu-lampu jalanan mengingatkannya pada masa-masa awal dia merantau. Deja vu yang kuat menghampirinya.
"Ini nggak mungkin. Gue baru aja di kereta menuju Jakarta Selatan. Kok bisa tiba-tiba ada di sini? Gue masih inget banget waktu pertama kali datang ke kota ini..."
Dia menggosok-gosok matanya, berharap ini hanya halusinasi. Tapi setiap kali membuka mata, semuanya tetap sama.
Kebingungan semakin mendalam saat dia melihat sekeliling-bangunan kolonial, papan nama stasiun yang pudar, dan lampu-lampu klasik yang menerangi malam.
Dengan penuh tanda tanya, dia melanjutkan langkahnya ke jalanan kota. Koper dan tas punggung di tangannya terasa berat. Dia menyeberangi jalan menuju Jalan Malioboro, yang nggak jauh dari stasiun.
Saat berjalan di Jalan Malioboro, suasana di sekitarnya seperti versi lama dari kota yang dia kenal. Jalan yang sibuk dan penuh warna ini tampak seperti belum banyak mengalami perubahan.
Toko-toko souvenir yang menjual barang-barang khas Yogyakarta masih sederhana. Lampu jalanan kuno dan trotoar yang nggak modern menambah kesan nostalgia.
Gerobak makanan yang menjual gudeg, bakpia, dan camilan lokal lainnya masih berjejer di sepanjang jalan, persis seperti yang dia ingat dari tahun-tahun lalu. Suara pedagang dan pengunjung memberikan nuansa akrab yang membangkitkan kenangan indah.
"Malioboro... Ini seperti waktu pertama kali gue datang gw dateng ke Jogja tahun 2012. Gw inget kalo udah banyak renovasi sejak itu sampai gw udah pindah ke Jakarta di tahun 2020. Tapi kenapa semuanya rasanya kayak balik lagi ke masa lalu?"
Dengan perasaan campur aduk dan rasa ingin tahu, Nadif terus melangkah di sepanjang Jalan Malioboro, mengamati setiap detail yang dulu sangat familiar.
Rasa penasaran semakin menguat, dan dia bertekad mencari jawaban atas kejadian aneh ini.
Saat menyusuri jalan yang sibuk dan penuh warna, harapan dan kebingungan bercampur, memandunya dalam pencarian kebenaran.
Suasana yang sangat mirip dengan pengalaman awalnya bertahun-tahun lalu membangkitkan kenangan penuh warna.
Pedagang kaki lima, pengamen dengan alat musik tradisional, dan lampu jalanan yang bersinar lembut di malam hari.
"Duh, beneran ini Malioboro di tahun 2024? Kok rasanya kayak gue balik ke masa lalu, ke Malioboro yang gue kenal di tahun 2012?"
Perasaan deja vu semakin kuat. Nadif merasa seolah waktu mundur, membawanya kembali ke awal perantauannya di Jogja. Untuk memastikan apakah ini hanya perasaannya atau sesuatu yang nyata, dia memutuskan untuk bertanya kepada seseorang.
Dia melihat seorang pejalan kaki yang sedang asyik dengan ponselnya yang punya layar kecil, merek Nokia yang kelihatan kuno. Nadif mendekatinya dan bertanya dengan nada sopan namun penuh rasa ingin tahu.
"Maaf, Pak. Boleh tanya, sekarang tahun dan tanggal berapa ya?"
Pejalan kaki itu berhenti sejenak, memeriksa ponselnya yang kecil. Setelah beberapa detik, dia menjawab dengan santai.
"Tentu, sekarang tanggal 5 September 2012."
Nadif terdiam, mencerna jawaban itu. Tahun 2012-artinya dia benar-benar kembali ke masa lalu. Rasa bingung membanjiri pikirannya. Dia terjebak antara kegembiraan dan ketidakpastian.
"Jadi ini benar-benar 2012. Gue benar-benar balik ke masa lalu. Ini mungkin kesempatan kedua gue buat merubah hidup. Gue harus manfaatin ini sebaik mungkin."
Dengan tekad baru dan perasaan yang campur aduk, dia melanjutkan langkahnya dengan semangat baru.
Dia bertekad untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu dan memanfaatkan kesempatan ini untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
NT.RM
Cerita nya bagus banget berasa di bawa kenyataan.
2024-08-27
3
NT.RM
Emang gitu Dif kebanyakan orang.
2024-08-27
1