🌻🌻🌻
Pernah terpikir menikah dengan seorang duda ketika diri belum pernah menikah sebelumnya, alias perawan? Sungguh diluar ekspektasi, pria lajang yang tampan dengan perekonomian mapan yang didambakan dan ditunggu-tunggu malah tidak didapatkan meskipun sudah menjaga dan berusaha mempercantik diri luar juga dalam selama ini. Nyatanya, Tuhan menuliskan cerita ekstrim dalam kisahku karena dinikahi oleh seorang duda.
Bukan duda biasa, pria usia 35 tahun itu memiliki anak. Tidak cukup satu, tapi empat anak dengan jarak usia mereka beberapa tahun saja.
Mengapa aku setuju dinikahi olehnya? Mungkinkah karena tampan dan kaya raya?
Benar, pria itu cukup tampan, tubuhnya masih tampak bagus, keren. Tetapi, perekonomian tidak sekaya itu. Namun, bisa dibilang sudah cukup untuk menghidupi keluarganya tanpa ada kekurangan, bisa digolongkan sederhana, tidak kaya dan tidak miskin.
Pertanyaan belum terjawab. Mengapa aku mau dinikahi olehnya?
Bukan karena tampan, karena anak bungsunya. Gadis kecil itu menempel seperti magnet sejak kami bertemu pertama kalinya di sebuah wahana trampolin di salah satu mall. Semua berawal dari ….
***
DUA MINGGU LALU ….
Seorang gadis kecil usia lima tahun berlari ke arahku yang kebetulan melewati area trampolin karena ingin menemui sahabatku yang anaknya tengah bermain di wahana yang sama. Gadis kecil berambut sebahu itu memelukku, memanggilku dengan sebutan “Ibu.”
Beberapa orang memperhatikan kami, tetapi dengan ekspresi biasa saja. Mungkin mereka mengira aku adalah ibu anak itu.
“Ibu …!” panggilnya dengan rengekan, menyedihkan untuk dilihat yang menarik ekspresi wajah prihatin tergambar di wajahku.
Tubuhku merendah, berusaha menghibur agar tangisnya berhenti. Kemudian, mempertanyakan keberadaan kedua orang tuanya, teurtama ibu yang mungkin tengah dicari-cari olehnya. Namun, gadis manis itu diam dan kembali memelukku sambil memanggilku dengan sebutan itu berkali-kali.
“Delia!” panggil bocah laki-laki yang berdiri di tepi trampolin.
Bocah laki-laki itu tampak jauh lebih tua dari gadis itu. Bocah itu dalam seragam olahraga sekolah dasar itu berlari menghampiri kami, menarik gadis kecil itu dariku yang tidak mau lepas.
“Bukan Ibu. Dia bukan Ibu,” ucap bocah laki-laki itu dengan ekspresi tampak kesal karena tidak mau meninggalkanku.
Cara bocah laki-laki itu bersikap dan berbicara, mungkin mereka adik-kakak, begitulah dugaan awalku. Rasa iba muncul di jiwaku saat melihat sikap gadis kecil itu.
“Dek …!” panggilku sambil berdiri.
Karena usiaku masih 23 tahun membuatku merasa belum cocok dipanggil Tante oleh mereka, apalagi aku belum menikah. “Kakak bukan ibumu. Lihat baik-baik. Tidak sama seperti ibumu, kan?” Gadis kecil itu hanya diam mencibir dalam tangisnya.
“Hmm … orang tua kalian di mana? Ibu kalian di mana? Biar Kakak antar kalian bertemu mereka.” Aku bertanya kepada kakak gadis kecil itu.
“Kami tidak punya Ibu,” ketus bocah laki-laki itu, berbicara dengan nada terdengar tidak sopan di telingaku. “Kita cari Ayah. Ayo!” Bocah itu menarik tangan gadis kecil itu yang tidak berhasil diajaknya sejak tadi, pelukan gadis itu erat di tubuhku. “Delia!” bentak bocah laki-laki itu sampai adiknya menangis.
Beberapa orang memperhatikan kami, kali ini sorot mata mereka sedikit dalam tidak seperti sebelumnya yang tampak abai. Kurendahkan kembali tubuhku, membujuk gadis kecil itu untuk menghentikan tangisnya dengan kata-kata yang akhirnya membuatku bisa membawanya keluar dari mall, mengikuti bocah laki-laki tadi yang memanduku setelah menyebutkan keberadaan ayah mereka. Sebelumnya aku bertanya kepada bocah laki-laki itu mengenai keberadaan ayah mereka.
Bocah laki-laki itu berhenti di samping sebuah mobil hitam yang lumayan bagus dari bagian luar. Namun, itu pengeluaran mobil mode lama yang tampak selalu dirawat baik.
“Di mana Ayah kalian?” Hanya kekosongan yang aku temukan di mobil itu.
“Delia! Devan!” panggil seorang pria yang membuat kami menoleh ke belakang, menemukan wujud seorang pria dalam setelan kemeja biru dengan celana hitam panjang berlari kecil ke arah kami, tampak cemas.
Pria itu memeluk kedua anak itu. Wajah cemas takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepada kedua anak itu tergambar jelas. Penilaian pertamaku dari pria itu cukup baik, sepertinya sifat penyayangnya kepada anak-anak itu cukup besar.
“Ayah sudah menyuruh kalian menunggu Ayah di sana, kenapa ke sini?” tanya pria itu.
“Maaf,” ucapku, mengalihkan perhatian pria itu dari kedua anaknya. “Tadi gadis cantik ini salah mengira saya ibunya. Jadi, saya bertanya kepada mereka mengenai orang tua mereka dan bocah ini bilang ayahnya ada di luar, jadi saya membawa mereka keluar,” terangku dengan senyuman.
“Begitu. Terima kasih,” ucapnya.
“Kalau begitu, saya pamit dulu.” Kepala aku anggukkan, lalu melanjutkan tujuan memasuki mall untuk bertemu sahabatku.
“Ibu …!” Gadis kecil itu mengejarku, memelukku dari belakang sampai langkahku terhenti di pintu mall.
“Delia …!”
Ayah anak itu menghampiri kami, berusaha menarik gadis kecil itu yang tidak mau lekang dari tubuhku sampai menangis tidak ingin berpisah dariku. Pria bertubuh tinggi dan putih itu berusaha membujuk dengan berbagai tawaran dari mainan sampai makanan favoritnya, tetapi hasilnya nihil. Gadis itu beranjak ke hadapanku, memintaku menggendongnya dan aku terpaksa mengikutinya karena merasa tidak nyaman dengan lingkungan sekitar di mana beberapa orang memperhatikan kami.
Kubawa anak itu keluar dari mall, berusaha membujuk untuk diam sambil menyeka air mata di pipinya dengan tangan kanan karena tangan kiri menggendongnya.
“Sudah … jangan menangis. Cantiknya jadi hilang,” ucapku sambil tersenyum.
“Dia bukan Ibu! Ibu sudah di surga,” ucap bocah laki-laki yang terlihat tidak suka dengan sikap gadis kecil itu sejak tadi.
Surga, berarti ibu mereka sudah meninggal. Cukup menaruh rasa iba di jiwaku mengetahui hal itu sampai gadis kecil ini bersedih. Mungkin kerinduan yang membuatnya sampai mengira aku adalah ibunya.
“Maaf,” ucap ayahnya sambil mengambil gadis bernam Delia itu dari gendonganku.
Delia masih saja tidak mau memisahkan dirinya dariku, gadis itu memeluk dengan kedua tangan menyilang di leherku. Kembali pria itu membujuk, begitu banyak tawaran yang dilontarkan sampai akhirnya ia berada di puncak kemarahan.
“Delia!” Gadis itu dibentak sampai membuatku kaget.
Volume tangis gadis itu bertambah.
“Jangan membentaknya. Itu tidak baik untuk mentalnya,” ucapku sambil mengelus punggung gadis itu.
Pria itu menarik napas dalam dan berusaha menenangkan perasaannya. Kemudian, pria itu menunjukkan senyuman ringan dan kembali membujuk.
“Kita kembali ke rumah, ya … Nenek pasti sudah menunggu kita. Nenek pasti sudah memasak banyak makanan kesukaan Delia,” ucap pria itu dengan lembut.
“Ibu juga ke rumah,” balas gadis itu.
Kembali pria itu menghela napas sambil memutar badan membelakangi keberadaan kami dengan kedua tangan berada di pinggangnya. Mungkin rasa bingung singgah di benaknya, bagaimana lagi cara untuk menghadapi kebingalan putrinya itu. Itu cukup membuatku merasa kasihan pada pria itu.
“Iya,” ucapku.
Pria itu memutar badan ke belakang dengan raut wajah kaget. Aku anggukkan kepala dengan menunjukkan gerakan mata, memberikan kode kepadanya agar menyetujui sesaat keinginan Delia.
🌻🌻🌻
Perasaanku merasa sedikit aneh saat seorang wanita usia setengah abad duduk menatapku dengan senyuman yang sejak tadi bersemi, di mana bocah laki-laki yang tadi kesal pada adiknya itu duduk di sisi kanan wanita itu, di ruang tamu. Delia yang sejak tadi menempel padaku masih tak lekang dariku, ia duduk di pangkuanku sambil memainkan bonekanya.
Ayah dari kedua anak itu membawa segelas air dari dapur dan disajikan di hadapanku. Kemudian, beranjak duduk di sisi kiri wanita itu yang aku rasa adalah ibunya.
“Usia kamu berapa?” tanya wanita itu padaku.
“Baru 23, Nek,” balasku, tersenyum dan menganggukkan kepala untuk berusaha terlihat ramah.
“Jangan panggil Nenek. Saya merasa aneh mendengarnya.”
Sedikit lucu mendengarnya berkata seperti itu. Tapi, aku bisa menghargai dan aku anggukkan kepala untuk mengiyakan.
“Sudah dua tahun sejak kepergian Listiana. Sejak saat itu juga anak-anak kehilangan sosok ibu dalam hidup mereka. Ini sungguh mengagetkan, Delia begitu lekat denganmu sampai memanggilmu ibunya. Padahal, sudah banyak orang yang ditemuinya selama ini sampai ….” Wanita itu menggantungkan perkataan dan menoleh ke arah ayah dari anak-anak itu. “Putraku aku carikan jodoh, meskipun hal itu ditolak keras olehnya. Semua karena anak-anak dan dirinya juga.”
Jadi begitu. Kepalaku hanya manggut-manggut mendengar sedikit cerita dari wanita itu yang juga sedikit membuatku mengerti dengan perasaan mereka.
“Kami bukan dari keluarga kaya. Putraku hanya pria biasa, bukan pria yang memiliki banyak uang. Tapi, maukah kamu mendampinginya dan menjadi Ibu dari anak-anak?” tanya wanita itu yang terlihat dengan terdengar tidak enak mengutarakan kalimat itu.
Cukup kaget telingaku mendengarnya sampai tubuhku membeku sesaat dengan kedua bola mata membesar. Posisi itu bertahan beberapa detik sampai akhirnya tubuhnya mengendur sambil tersenyum dan memperhatikan pria yang di sampingnya tengah menatap ibunya itu dengan ekspresi tampak menegur.
“Ini demi kebaikan kalian semua,” ucapnya kepada pria itu dengan suara kecil.
“Maaf, saya belum kepikiran sejauh itu. Saya ke sini hanya ingin membantu Masnya membawa Delia ke sini,” terangku dengan harapan wanita itu bisa memahami posisiku.
“Apa karena anakku seorang duda dan memiliki anak? Iya, Ibu bisa memakluminya. Wanita cantik dan masih perawan seperti Nak …?" Wanita itu menggantungkan perkataannya dengan ekspresi dan terdengar mempertanyakan namaku.
"Safina," jawabku.
"Wanita seperti Nak Safina tidak mungkin mau sama pria berstatus duda beranak." Wanita itu merendah yang membuatku malah merasa tidak enak hati.
Jujur perasaanku tidak tenang setelah kata menikah keluar dari bibirnya. Baru satu tahun aku lulus kuliah dan bekerja di salah satu sekolah sebagai seorang guru dan aku masih ingin menghabiskan waktu untuk membahagiakan diri sendiri sebelum mengurus suami, apalagi dengan adanya anak sekaligus. Selain itu, menikah dengan seorang duda tidak pernah terpikirkan olehku, itu sungguh jauh dari ekspektasiku.
Diposisi itu aku ingin sekali meninggalkan rumah itu, rasanya sungguh tidak nyaman. Untungnya ponselku berdering, sahabat yang ingin aku temui di mall menghubungi untuk bertanya mengenai keberadaanku. Sebelum menjawab sambungan telepon aku tersenyum dan menggeser bulat hijau yang bersanding dengan bulatan merah di layar ponsel.
"Iya? Sebentar lagi aku sampai di sana. Tunggu aku." Sengaja aku tidak berbicara panjang lebar dengan sahabatku yang cerewet itu.
Sambungan telepon aku matikan. Kemudian, Delia aku alihkan duduk di sampingku, lanjut aku berdiri sambil pamit undur diri meninggalkan rumah tersebut. Persetujuan mereka tidak aku tunggu, kakiku langsung berjalan ke arah pintu dengan tingkah terburu-buru agar mereka tahu kalau aku punya urusan penting. Namun, gadis kecil itu mengejarku, berusaha menahanku. Untungnya, sebelum memeluk tubuhku, ayahnya lebih dulu memeluknya, menggendongnya, dan menyuruhku lanjut meninggalkan rumah. Terdengar gadis itu menangis gila-gilaan memanggilku ibu, menyuruhku berbalik padanya.
Tidak lagi, aku tidak ingin terlibat dalam keluarga itu. Kakiku terus melangkah di halaman rumah itu sampai akhirnya keluar dari gerbang rumah yang tingginya hanya 1,5 meter, begitupun dengan pagarnya.
Keluar dari pagar itu, kakiku berhenti berjalan saat tubuhku hampir beradu dengan dua orang remaja dengan genre yang berbeda. Terdapat seorang gadis berseragam putih abu-abu, lalu yang satunya lagi seorang remaja laki-laki dalam setelan seragam putih biru tua.
Sejenak kami saling memandang dengan dahi mereka sedikit mengerut memperhatikanku.
Kuabaikan mereka dan melanjutkan perjalanan meninggalkan sekitaran rumah itu, berjalan di tepi jalan dengan kepala sesekali menoleh ke belakang, memperhatikan kedua remaja itu masih memperhatikanku sampai mereka memasuki gerbang rumah di mana aku keluar.
***
Benar-benar tidak bisa aku duga. Perkataan wanita tadi membuatku tidak bisa tidur, selalu saja kepikiran dengan tawaran dinikahi anaknya itu. Tubuh yang sudah terbaring sejak tadi kembali kubawa duduk dan sejenak diam untuk memikirkan cara menghentikan pemikiran itu.
Ponsel yang ada di atas meja berdering, itu mengalihkan perhatianku. Terdapat nomor baru di sana yang membuatku sedikit berpikir, siapa orang yang malam-malam begini menghubungiku? Sambungan telepon itu aku diamkan karena berpikir orang iseng yang melakukannya. Jika tidak, teman laki-laki Bella, sahabat yang tadi siang aku temui. Wanita itu kadang-kadang memberikan nomorku kepada teman-temannya untuk mendekatkanku dengan pria karena status yang jombloku.
Sambung telepon mati dan kembali berdering. Karena kesal, aku meraih ponsel tersebut dengan kasar dan menjawab sambungan telepon itu.
“Iya?”
“Dengan Bu Safina Lestari?” Suara seorang pria terdengar sopan dalam nada bicaranya.
“Siapa?”
Sejenak aku diam mendengar jawaban dari pertanyaanku. Ternyata orang yang menghubungiku adalah pria yang anaknya menempel padaku siang menjelang sore tadi. Bergegas kutepikan selimut sambil mengikat rambut sepinggang yang lurus terurai setelah menaruh ponsel di atas kasur yang sejenak aku mainkan untuk memesan ojek online. Kemudian, aku mengganti pakaian tidurku dengan dress sederhana, lalu mengambil kembali ponselku dan tas di sampingnya sambil memasukkan ponsel itu ke dalam tas tersebut seraya keluar dari kamar.
“Kamu mau ke mana?” tanya wanita cantik berdaster hitam yang baru keluar dari dapur, itu adalah ibuku yang tengah mengambil air minum yang akan di bawa ke kamar.
“Hmm … ada urusan mendadak. Kalau begitu, aku pergi dulu, Bu.” Kusalami tangah Ibu dan mengecup bibir, lalu bergegas keluar dari kamar dengan langkah terburu-buru.
Keluar dari rumah, ojek online yang aku pesan sudah berada di depan gerbang rumah.
“Jalan Andalas, Pak,” ucapku sambil memakai helm yang disodorkan pria itu, di mana perkataanku langsung dianggukkan oleh pria tersebut.
Tingkah seperti orang dikejar-kejar anjing itu tidak berhenti sampai motor si tukang ojek online itu ada, aku bahkan mendesaknya untuk cepat membawaku sampai di tempat tujuan. Kalian penasaran ke mana aku akan pergi?
🌻🌻🌻
Motor si tukang ojek berhenti di depan sebuah rumah sakit umum. Usai memberikan selembar uang pecahan lima puluh ribu, aku berlari memasuki pekarangan rumah sakit dan dikejar oleh tukang ojek itu sambil memanggilku dengan sapaan, “Mbak.”
Beberapa orang yang masih ada di rumah sakit memperhatikan kami.
“Iya, Pak?”
Sungguh memalukan, aku baru sadar kalau helm milik penumpang bapak itu masih terpasang di kepalaku. Kulepas helm itu sambil tersenyum cengengesan dan memberikannya, di mana mataku bermain memperhatikan sekeliling.
“Maaf, Pak. Saya lupa,” ucapku.
“Saya paham. Hati-hati,” balas Bapak itu yang memahami situasiku.
Ketika Bapak itu kembali ke motornya, perjalanan dengan keterburu-buruan itu masih berlanjut menuju gedung rumah sakit, berhenti sejenak di lobi untuk menemui resepsionis karena ingin menanyakan letak kamar orang yang ingin aku kunjungi. Jadi, keterburu-buruanku itu karena ingin mengunjungi seseorang.
“Kamar Mawar nomor 03 di lantai dua,” ucap perawat setelah aku menyebut nama orang yang aku tanyakan.
Siapakah? Nanti kalian tahu.
Kakiku lanjut berjalan menuju lift. Keluar dari lift, mataku melihat angka di depan pintu. Kumasuki kamar yang ada angka tiga di depan pintunya itu dan terdiam setelah menemuka keberadaan pria yang aku temui siang tadi, yang belum aku ketahui namanya itu tengah duduk di bangku besuk, di mana di atas ranjang terdapat Delia, anak yang memanggilku sebagai ibunya. Suara pintu yang aku sepertinya mengambil perhatiannya, mungkin sedikit kaget. Melihat wujudku tampak membuatnya sedikit tercengang kaget.
“Safina!” panggil seorang pria yang berdiri di sudut kanan kamar itu.
Sebenarnya kedatanganku ke rumah sakit ingin menjenguk anak Bella. Ibu dari anak itu mendesakku untuk datang ke rumah sakit dan aku tahu apa yang akan terjadi setelah berada di hadapannya nanti, semua kecemasan dan kekhawatiran terhadap kondisi anaknya yang saat ini tengah demam tinggi pasti akan dibagi denganku, menjadikanku kadang curhatnya. Namun, tidak disangka, aku akan bertemu dengan pria itu dan anaknya.
“Sini!” panggil pria itu, lagi.
Pria tersebut suami Bella yang juga teman dekatku. Pria itu tampak kesal dan bisa aku baca rasa kesal itu karena kicauan dari mulut sang istri yang terlalu cerewet. Wanita bermulut ember itu tengah menyalahkan sang suami karena gila kerja.
Aku menganggukkan kepala dan langkahku normal tidak seperti sebelumnya berjalan menuju ke arah mereka. Ternyata kamar itu bukan kamar VIP, itu kamar biasa di mana terdapat beberapa ranjang pasien di sana dan kebetulan penghuninya hanya mereka berdua, anak Bella dan anak pria itu.
“Fina …!” Bella berdiri dari bangku besuk dan memelukku, menangis seperti anak kecil. “Gara-gara es krim tadi siang, Tito demam,” ucap Bella seperti orang kekanak-kanakan.
“Jadi, kamu kasih Tito es krim? Tadi saat aku bertanya, kenapa berbohong? Salah sendiri malah menyalahkanku yang gila kerja. Aku kerja juga untuk memenuhi banyak tuntutanmu itu,” balas Raden, suaminya yang tadi menghubungiku.
Tangis Bella berhenti sejenak sambil melepaskan pelukan dariku, mungkin sadar telah keceplosan.
“Maaf,” ucap Bella dengan suara mendem.
“Sudah …! Kalian sudah punya anak, jangan bertingkah kekanak-kanakan. Sekarang kondisi Tito, bagaimana?” Ku perhatian anak usia tiga tahun yang terbaring dalam keadaan tidur di atas ranjang rumah sakit itu.
“Dokter sudah memberikannya obat. Keliatannya obatnya bereaksi,” jelas Raden.
Kutempelkan telapak tangan kanan di dahi bocah laki-laki itu dan aku bisa merasakan suhu tubuhnya yang memang panas, tetapi terlihat sudah berkeringat. Mungkin itu efek obat yang sudah berjalan.
“Ayah! Bagaimana kondisi Delia?” tanya seseorang yang terdengar dari sebelah dan membuatku melangkah mundur, melihat siapa orang yang bertanya. Tirai pembatas membuatku tidak bisa melihatnya secara langsung.
Gadis yang aku lihat di depan gerbang rumah pria itu berdiri di sana bersama remaja laki-laki yang juga aku lihat bersamanya tadi. Kemudian, ibu pria itu baru memasuki kamar bersama bocah laki-laki yang kesal kepasa adiknya itu. Wanita itu kebetulan menoleh ke sisi kanan, menemukan wujudku uang membuatnya berekspresi yang sama seperti aku menatap anaknya tadi.
Perlahan kakiku melangkah menghampiri mereka, mendekati keluarga kecil itu.
“Delia kenapa?” tanyaku sambil memandangi gadis kecil itu terbaring tampak lemah di atas ranjang sambil memanggil ibu yang membuatku tiba-tiba merasa bersalah.
“Sejak kamu pergi, Delia begini. Dokter bilang tifus,” terang wanita itu.
Cukup mengangetkan. Tidak disangka akan berakhir seperti ini.
Kudekati gadis itu dan membelai rambutnya. Tingkahku malah membuatnya membuka mata, membuat gadis itu bereaksi cepat duduk dari posisinya dan memelukku dan di situ aku bisa merasakan kelemahan tubuhnya.
“Ibu,” panggil gadis itu sambil menangis.
Wajah mereka yang ada di dekatku aku perhatikan, bisa aku baca setiap ekspresi yang tergambar dari wajah mereka. Mulai dari ayah anak itu yang diam tertunduk dalam beban pikirannya.
“Ini demi Delia, bisakah kamu menjadi ibunya?” tanya pria itu sambil mendongak pandangan ke arahku.
Ekspresi itu terlihat tampak dirinya terpaksa mengutarakan kalimat itu dengan raut wajah berharap juga tergambar. Ekspresi sedih juga ada, khawatir, cemas, tampak semua sudah tercampur yang aku rasa mengobrak-abrik perasaannya.
Pertanyaan itu benar-benar tidak bisa aku jawab. Jadi, aku hanya diam dan memperhatikan anak itu. Sebagai seorang guru bimbingan konseling, ilmu psikologi telah aku pelajari di bangku kuliah, perasaan pria itu bisa aku mengerti.
“Kamu mau menikah denganku demi anakku? Aku berjanji akan melakukan semua yang kamu perintahkan. Kamu mau uang tunjangan berapa setiap bulannya? Aku usahakan untuk mencarinya,” ucap pria itu yang tampak ragu.
“Ayah …!” panggil gadis yang tadi aku temui di depan gerbang rumahnya.
Ekspresi gadis itu menunjukkan rasa tidak suka, begitu juga dengan remaja laki-laki yang berdiri di sampingnya. Mereka mungkin keberatan dengan pernikahan itu. Dan, itu malah semakin membuatku jadi kacau setelah sempat sedikit mulai berpikir untuk menerima pernikahan itu. Sudah bisa kubayangkan kedepannya, pasti tidak akan nyaman berada di keluarga yang menerima keberadaanku hanya karena keterpaksaan, begitu juga sebaliknya.
“Diam,” tegur wanita usia lima puluhan itu kepada gadis tersebut.
Tunggu, gadis itu memanggilnya dengan sebutan ayah. Apakah gadis itu juga anak pria itu?
“Kakak benar, Nek,” tambah remaja laki-laki yang berdiri di samping gadis itu.
Kakak? Nenek? Mungkinkah remaja laki-laki itu juga anaknya? Bukan hanya dua anak, tapi empat anak? Melihat penampilan pria itu yang tampak masih mudah membuatku jadi penasaran dengan usianya. Mungkinkah pernikahan bersama mendiang istrinya terjadi ketika umurnya masih belasan tahun? Hal itu membuatku yakin untuk tidak menerima pernikahan itu. Namun ….
“Ibu …!”
Rengekan gadis itu kembali meruntuhkan perasaan yakinku karena kasihan.
“Kamu mau menikah sama duda?” bisik Bella yang tidak tahu sejak kapan sudah berdiri di sampingku. “Dia teman kerja Mas Raden, posisinya juga masih karyawan biasa.”
Di mana masa depan indah yang aku impikan selama ini jika aku menerima pernikahan itu? Bukankah aku malah menggiring diriku ke dalam jurang kegelapan?
“Ibu, jangan tinggalkan aku.”
Gadis kecil itu kembali menarik tekadku untuk tidak menerima lamaran tersebut. Hati ini entah mengapa begitu lemah menghadapinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!