Bab 2
Pagi itu, rapat mingguan kembali digelar, kali ini dengan suasana yang lebih serius. Darren Hayes Callahan, kakak Arav yang dikenal lebih ramah dan bersahaja, duduk di sisi kanan adiknya. Darren sering kali menjadi penyeimbang bagi sifat tegas Arav, terutama dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan. Namun, perhatiannya kali ini tertuju pada Kayla yang tampak sedikit gugup di ujung ruangan.
Saat rapat selesai, Darren menghampiri Kayla yang sedang merapikan dokumen. “Kamu baik-baik saja, Kayla? Sejak tadi pagi kelihatan nggak fokus.”
Kayla tersentak, tak menyangka Darren akan menyapanya. “Eh? I-iya, Pak Darren. Cuma kurang tidur saja.”
Darren tersenyum tipis, memperlihatkan sisi hangatnya yang membuat Kayla sedikit lebih tenang. “Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, mungkin aku bisa membantu. Jangan sungkan bilang, ya.”
“Terima kasih, Pak. Saya akan mengingatnya,” jawab Kayla sambil tersenyum kikuk. Ada sesuatu yang menyenangkan dalam cara Darren berbicara, seolah berbeda jauh dari aura dingin Arav.
Tanpa disadari, Arav memperhatikan dari kejauhan dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman saat melihat interaksi antara Darren dan Kayla. Perasaan aneh itu tumbuh tanpa ia sadari, dan tiba-tiba muncul pikiran bahwa ia tidak suka jika Darren terlalu dekat dengan Kayla.
Siang hari, saat jam makan siang, Kayla menerima pesan dari Arav. Ia diminta untuk datang ke ruangannya untuk membicarakan proyek yang sedang berlangsung. Kayla langsung merasa cemas. “Kenapa harus aku lagi?” gumamnya pelan, meski akhirnya ia berjalan menuju lantai atas dengan rasa was-was.
Sesampainya di depan ruang kerja Arav, Kayla mengetuk pintu dengan pelan. “Masuk,” suara tegas Arav terdengar dari dalam.
Kayla membuka pintu perlahan dan melihat Arav duduk di meja kerjanya dengan ekspresi serius. Tanpa menunggu lama, Arav mempersilakan Kayla duduk dan langsung to the point. “Aku ingin mendengar pendapatmu tentang penyusunan laporan terbaru ini. Aku tahu kamu biasanya nggak terlibat langsung, tapi kadang sudut pandang berbeda justru bisa memberikan masukan yang berguna.”
Kayla terdiam sejenak, sedikit terkejut dengan permintaan itu. “Tapi, Pak, saya kan cuma staf biasa. Apa pendapat saya penting untuk proyek sebesar ini?”
Arav menatapnya dalam-dalam. “Aku nggak tanya apakah kamu merasa penting atau tidak. Aku tanya pendapatmu. Jadi, apa yang menurutmu kurang dari laporan ini?”
Kayla merasa tegang, tapi mencoba tetap tenang. Ia membaca sekilas dokumen yang diberikan, lalu mulai memberikan masukan kecil. “Saya rasa, ada beberapa poin yang mungkin bisa diperjelas lagi, terutama bagian analisis data. Informasi yang diberikan terlalu umum, padahal klien mungkin butuh data lebih rinci untuk mengambil keputusan.”
Arav mendengarkan dengan serius. “Lanjutkan.”
Kayla mulai merasa lebih percaya diri saat melihat Arav benar-benar memperhatikan kata-katanya. Ia menjelaskan beberapa hal dengan lebih detail, dan Arav mengangguk pelan, menunjukkan bahwa pendapatnya dihargai.
Saat Kayla selesai, Arav mengangguk sekali lagi. “Bagus. Ini masukan yang berguna. Kamu boleh kembali ke tempatmu.”
Kayla bangkit dari kursinya dengan perasaan lega, namun ketika ia berbalik untuk pergi, Arav tiba-tiba berkata, “Dan satu hal lagi, Kayla. Jangan anggap dirimu selalu di bawah. Kamu punya kemampuan yang lebih dari sekadar staf administrasi biasa. Jangan sia-siakan potensi itu.”
Kalimat itu membuat Kayla tertegun. Ada kehangatan tak terduga dalam ucapan Arav yang membuatnya merasa… dipedulikan? “Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha lebih baik lagi,” jawab Kayla sebelum keluar dari ruangan.
Di luar, Kayla tak bisa menahan senyum kecil. Ada sesuatu dalam sikap Arav yang mulai membuatnya berpikir bahwa pria itu tidak sedingin yang ia kira.
Di sisi lain, saat malam tiba, Darren menemui Arav di ruang kerja pribadinya. “Kamu lagi mikirin sesuatu, Rav?” tanya Darren, mendekat sambil membawa dua gelas minuman.
Arav hanya menghela napas. “Bukan sesuatu yang penting.”
Darren tertawa pelan. “Bilang saja kalau itu penting. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu belakangan ini.”
Arav mendelik. “Kalau kamu cuma mau goda aku, lebih baik keluar.”
Tapi Darren tetap santai. “Kayla, ya? Gadis itu menarik perhatianmu?”
Arav menatap Darren dengan mata tajam. “Kenapa tiba-tiba ngomongin dia?”
Darren tersenyum misterius. “Karena aku juga tertarik dengan gadis itu. Ada sesuatu yang berbeda dari dirinya dibanding wanita lain di sini. Dia seperti nggak sadar betapa berharga dirinya.”
Mendengar itu, Arav mendadak merasa risih. “Darren, dia bukan orang yang selevel dengan kita. Jangan bermain-main dengan perasaan orang hanya karena kamu penasaran.”
Darren hanya tertawa lagi. “Santai saja, Rav. Aku hanya penasaran, sama seperti kamu. Tapi kalau sampai nanti benar-benar ada perasaan, aku nggak akan mundur hanya karena kamu juga tertarik. Kita lihat saja nanti.”
Perkataan Darren membuat Arav merasa ada sesuatu yang menekan dadanya. Ia tidak suka cara Darren bicara seolah Kayla adalah seseorang yang bisa diperebutkan. Namun, ia juga tidak bisa menyangkal bahwa perasaan aneh itu muncul setiap kali melihat Kayla bersama orang lain.
Malam semakin larut, dan Kayla duduk di kamarnya sambil menatap layar laptop. Pikirannya masih dipenuhi dengan kata-kata Arav. “Kenapa dia tiba-tiba ngomongin potensi segala?” batinnya, merasa semakin bingung dengan perhatian yang ia dapatkan belakangan ini.
Namun, di balik kebingungan itu, ada perasaan hangat yang mulai tumbuh di hatinya. Tanpa disadari, ia mulai mengharapkan lebih banyak interaksi dengan pria itu, meski ia tahu itu bisa menjadi sesuatu yang rumit.
Dan di sisi lain, Arav terjaga hingga larut malam. Tatapan tajamnya tertuju pada jendela besar yang menghadap kota, tapi pikirannya jauh melayang. Di tengah kesibukan dan tanggung jawab besar yang ia emban, ada satu pertanyaan yang mulai mengusik pikirannya: kenapa Kayla membuatnya begitu terganggu?
###
Kayla menghela napas panjang saat menginjakkan kaki di apartemennya. Pikiran tentang hari yang ia lalui di kantor masih terus menggelayuti benaknya. Interaksinya dengan Arav yang semakin intens membuatnya bingung sekaligus cemas. Apalagi, ucapan Darren yang penuh perhatian semakin memperkeruh perasaannya. Namun, Kayla tahu bahwa dia tidak boleh terlalu memikirkan hal-hal itu. Dia hanyalah seorang staf biasa di Callahan Corp, dan tidak seharusnya terjebak dalam intrik di antara dua bersaudara kaya raya tersebut.
Tetapi, kenyataannya tidak semudah itu. Semakin Kayla mencoba menjauhkan diri, semakin ia merasa terikat oleh sikap Arav yang kontras—di satu sisi dingin dan arogan, namun di sisi lain penuh perhatian secara tak terduga.
Di sisi lain kota, Arav duduk di meja kerjanya di rumah. Sisa malam yang tenang seakan hanya memperbesar kekacauan pikirannya. Darren dengan sikap santainya semakin memperburuk situasi dengan menyatakan ketertarikannya pada Kayla. Arav tahu betul bagaimana Darren bisa berubah serius ketika menyangkut urusan hati. Perkataan saudaranya tadi siang masih terngiang di telinganya.
“Kita lihat saja nanti.”
Arav mengepalkan tangannya tanpa sadar. Kenapa Darren harus mempermainkan situasi ini? Arav tidak ingin terjebak dalam perebutan yang bodoh, tetapi ada dorongan dalam dirinya yang membuatnya tidak mau menyerahkan Kayla begitu saja. Meski terdengar aneh, Arav mulai merasakan bahwa Kayla adalah seseorang yang lebih dari sekadar pegawai biasa. Ia melihat ketulusan dan kerja keras yang jarang ia temui di lingkungannya.
Tapi, apakah ia rela mengakui bahwa ia benar-benar peduli pada Kayla? Bagi Arav, itu bukanlah pilihan yang mudah diterima, terutama dengan status dan reputasinya sebagai seorang CEO yang dingin dan tak tersentuh.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments