Icha melotot marah ke arah suaminya.
Komandan Furqon itu terlihat langsung berkilah, “ Maksudku aku tunangannya!”
“Hah?” gumam Icha begitu kaget, apalagi tiba-tiba suaminya itu merangkul pundaknya.
“Baru tunangannya saja sok belagu!” ucap Alex dengan marah.
“Cari mati ini anak!” pikir Icha.
Benar saja Apa yang dipikirkan Icha, suaminya itu langsung melepaskan rangkulannya, dan melipat lengan bajunya.
Icha langsung meringis gupuh, apalagi melihat suasana di halaman kampus itu yang lumayan ramai, bisa-bisa ia jadi tontonan.
“Mas, kita pulang saja ya!” ucapnya berusaha meredam emosi suaminya, sembari menggandeng lengan suaminya itu dengan mesra.
Lelaki tampak menoleh ke arahnya dengan terkesiap.
“Tentu saja, Dek!” jawab suaminya itu terlihat mereda.
Berbeda dengan Icha…
‘Apa? Dek? Kampungan sekali’ pikirnya sambil meringis kecut kembali, sembari melirik beberapa orang yang saling berbisik memperhatikannya dengan dua lelaki itu.
Kemudian mengajak lelaki itu masuk ke dalam mobilnya.
Ia tak peduli lagi dengan apa yang dipikirkan oleh Si diktator itu tentangnya, yang penting ia bisa segera pergi dari sana.
******
“Kau kan sudah janji untuk tidak memberitahukan pernikahan kita pada siapapun,” protes Ica pada suaminya itu.
“Pada bagian mana, aku terdengar memberitahukan pernikahan kita, apa kau ingat apa yang aku ucapkan, aku hanya bilang bahwa kau itu adalah tunanganku, apakah itu yang kau maksud dengan memberitahukan pernikahan kita?” tanya balik suaminya.
“Tapi tapi kan itu sama saja,” jawab Icha marah.
Lelaki itu tiba-tiba mendekat ke arahnya perlahan, sembari menatapnya begitu tajam.
Icha yang tiba-tiba berdebar, segera menghindarinya dengan mundur perlahan.
Namun, segera juga lelaki itu terus saja menghampirinya.
“Akh!” jerit Icha kaget dalam hati karena mendapati punggungnya telah tertabrak ke dinding di belakangnya.
“Aku punya hak untuk tidak mematuhi perjanjian itu, karena kau adalah istriku. Katakan padaku! kau berlarian dengan lelaki itu kemudian aku harus diam saja. Bahkan aku menahan diriku dengan mengatakan kau adalah tunanganku. Padahal kalaupun aku mau bilang kau adalah istriku, aku berhak atas itu. Jangan terus mengujiku Aisyah, aku sudah pada tahap terlalu bersabar dan begitu menahan diri,” ucap lelaki itu.
Icha terdiam tak bisa berbicara apa-apa mendengar ucapan suaminya.
“Bukankah kau sendiri yang datang padaku untuk menikah, apa kau lupa? Sekarang kau sendiri yang memaksaku untuk merahasiakannya. Katakan padaku! apa kau merencanakan sesuatu tanpa sepengetahuanku,” tanya lelaki itu membuat Icha membelalak begitu kaget.
‘Tidak lelaki itu tak boleh tau’ pikir Icha kemudian meringis ke hadapan suaminya.
“Jangan tersenyum!” bentak lelaki itu membuat Icha terdiam seketika.
“Ada banyak penjahat yang sudah sering ku temui dengan berbagai kedok. Menurutmu, anak ingusan sepertimu apa bisa membodohiku?” lanjutnya bertanya.
Icha telah salah meremehkannya, lelaki itu bukan orang yang mudah. Tapi bagaimana bisa dia membandingkannya dengan penjahat di luar sana.
‘Keterlaluan!’ pikirnya
“Kenapa? Apa kau tersinggung aku membandingkanmu dengan para pembohong di luar sana?” tanya lelaki itu lagi, membuat Icha semakin bingung harus menjawab apa sepertinya setiap ekspresi, dan gerak-geriknya mudah terbaca oleh lelaki itu.
“Besok aku akan bilang pada orang tuaku supaya menyegerakan resepsi kita.”
“Jangan!” seru Icha seketika, Ia tidak menyangka lelaki itu bakal semarah itu dan memutuskannya.
“Kenapa aku harus menurutimu, bahkan beberapa hari ini saja aku memintamu untuk belajar shalat dan membaca Alquran, kau bahkan tidak menggubrisnya. Kau saja berani melawanku, Kenapa sekarang aku harus menurutimu?” tanya lelaki itu sambil menatapnya lebih tajam.
Icha menelan ludahnya mendengar kata-kata lelaki, sepertinya ia pada tahap tidak bisa melawannya sekarang.
“Oke! kalau kau mau aku belajar shalat dan baca Alquran, aku akan melakukannya.”
Lelaki itu tampak menatap matanya bergantian.
“Bagaimana aku tahu kalau kau akan melakukan shalat itu setiap waktunya, bahkan tanpa aku ada di sana?” tanya suaminya itu.
Icha terlihat bingung, matanya menerawang ke atas.
“Kau bisa pasang CCTV di kamar ini, jadi kau akan melihatku shalat sebanyak yang kau inginkan,” jawabnya simple, hanya itu yang terpikirkan olehnya sekarang.
Lelaki itu terlihat tersenyum, sekejap sepertinya niatnya telah kesampaian.
‘Dasar licik!’ pikir Icha, tapi tak berani untuk mengatakannya.
Ia kemudian menggeser badannya sedikit supaya bisa segera menghindari lelaki itu.
Namun tangan lelaki itu tiba-tiba menjulur hingga menghentak tembok di sampingnya, membuat Icha tersentak kaget dan seketika terhenti.
Ia pun kembali ke posisinya semula, sambil menatap lelaki itu dengan was-was.
“Satu lagi!” ucap lelaki itu membuat Icha kesal.
“Apalagi?” tanya Icha jengkel setelah memutar matanya ke atas mendengar perkataan suaminya barusan.
“Kamu kira kamu bisa bisa bersikap itu padaku saat ini?” tanya balik lelaki itu kembali, terdengar tengah mengancamnya.
Icha kembali meringis kecut.
“Jangan tersenyum!” hardik lelaki itu lagi, membuat Icha langsung berhenti meringis kembali.
“Panggil aku, Mas!” ucap lelaki itu perlahan sontak membuat Icha langsung membelalak kaget.
“Hah? Yang benar saja!” ujar Icha tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
“Kenapa, kamu tidak mau?”
Pertanyaan itu lebih terdengar seperti ancaman di telinga Icha, sayangnya Ia tak punya pilihan.
Icha akhirnya hanya bisa menggelengkan kepala.
“Kalau gitu panggil aku sekarang—Mas!” pinta lelaki itu.
“Harus sekarang?” tanya Icha, berharap lelaki itu berubah pikiran.
Namun suaminya itu malah menganggukkan kepalanya tanpa berkata sepatah kata pun.
Akhirnya dengan terpaksa dia mengucapkannya, “Mas!”
Tapi kenapa rasanya ucapan itu membuatnya malu, bahkan ia sampai menunduk kemudian tersenyum dengan menggigit bibirnya.
Tiba-tiba lelaki itu menilik wajahnya seraya berbisik, “kau terlihat menggemaskan dengan tersenyum malu seperti itu.”
Spontan Icha tersadar.
“Kata siapa aku malu?” serunya sambil menatap lelaki itu dengan jengkel.
Namun lelaki itu malah terkekeh menertawakannya.
“Dasar licik!” umpatnya tak sengaja kemudian kaget sendiri, tapi belum juga ia sempat menghindar…
Cup
Suaminya sudah menghentikan tawanya dan mengecup bibirnya.
Deg
Mata Icha seketika berhenti berkedip.
“Sudah aku bilang jangan mengumpatku, itu hukumannya!” ucap lelaki itu kemudian keluar dari kamarnya.
Icha langsung mengusap bibirnya, dan menghentak-hentak kakinya ke lantai sambil menjerit lirih tak karuan.
Namun lelaki itu tak menghiraukannya sama sekali, dan terus saja meninggalkan tempat itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments