‘Kalau saja baterai gue tadi nggak habis, sudah gue abadiin moment tadi, awas aja lain kali!’ pikir Icha sambil menatap tajam ke arah ibu tirinya tersebut.
“Kenapa kau melihatku seperti itu? apa kau sedang mengagumi kecantikanku?” ucap Si nenek lampir itu membuat Icha segera tersentak sadar.
“Aku? mengagumi kecantikanmu? Hah! Mimpi,” jawab Icha mengakhiri kalimatnya dengan tertawa terbahak-bahak, kemudian segera masuk ke dalam rumahnya diikuti wanita tersebut.
Tawanya langsung terhenti, ketika dia melihat ayahnya sedang berdiri menunggu kedatangannya dengan muka yang begitu marah.
Icha langsung mengangkat kedua bola matanya ke atas sambil melenguh pelan.
“Pulang-pulang mempermalukan keluarga, masih sempat-sempatnya memasang wajah mengesalkan seperti itu, mau jadi apa kamu?” tanya Papinya tersebut dengan menghardiknya begitu keras.
“Sudah Pi, sabar! namanya juga anak remaja,” ujar wanita itu, sok perhatian sambil menghampiri suaminya tersebut.
“Dasar wanita manipulatif!” gumam Icha kesal.
“Aisyah! yang sopan sama mamamu,” bentak Papinya itu begitu marah.
Terlihat wanita itu kembali mengelus dada Papinya tersebut sembari berkata, “sudah jangan marah-marah terus, nanti darahnya Papi naik!”
‘Menjijikkan!’
“Dia masih anak-anak, masih labil,” lanjut ibu tirinya itu lagi.
‘Hah! Anak kemaren sore nyebut gue anak-anak, nggak salah? Lu tuh yang labil!’
“kita sebagai orang tua harus lebih ngertiin Aisyah, mending kita cari solusi gimana supaya Aisyah bisa berubah,” saran wanita itu membuat Icha serasa pengen muntah.
Denger itu Mamamu! kurang sabar apa dia sama kamu yang nggak ada sopan-sopannya sama orang tua,” bentak Papinya itu lagi.
“Terserah!” ucap Icha kesal sambil kembali berlari menaiki tangga menuju kamarnya.
“Anak itu!”
Terdengar sayup-sayup Papinya yang begitu berang dengan sikapnya.
“Sudah Pi, sudah! dia lagi emosi, jangan kamu ikut emosi! nanti yang ada hubunganmu sama dia malah tambah berantakan. Kita pikirkan dulu solusinya, baru mengajaknya bicara, setelah kepala anakmu itu juga dingin,” saran wanita itu terdengar begitu bijak—mungkin di telinga Papinya, tapi tidak di telinga Aisyah yang tau betul sifat asli ibu tirinya tersebut.
******
“Aisyah! Papi mau bicara,” ucap Papinya itu dengan nada keras, sambil menghadangnya di depan tangga.
Tampak Si nenek lampir itu berdiri di belakangnya, sambil tersenyum cengar-cengir nggak jelas.
“Apalagi sih, Pi?” tanyanya kesal.
Padahal ia sudah siap dengan ransel mininya karena ingin hangout bersama Sandra, melepaskan segala beban di hatinya.
“Papi sudah menyita kunci mobil dan sepeda motormu, juga kartu ATM dan m-bankingmu sudah Papi blokir,” ujar lelaki itu terlihat begitu tenang dan percaya diri.
“Apa?” Tanya Icha begitu kesal, bagaimana bisa Papinya itu malah menekannya seperti itu.
“Kalau Papi mau mengancamku supaya aku nurut, Papi salah! aku nggak akan pernah nurut sama papi, selama wanita itu masih berada di rumah ini,” ancam balik Icha.
“Coba saja kau keluar dari rumah ini selamanya, kau tidak akan pernah bisa kembali, Dasar anak kurang ajar!” hardik Papinya itu kembali.
Wanita di belakangnya itu terlihat begitu menikmatinya, sembari mengangkat alisnya beberapa kali dengan tersenyum nyengir.
‘Tidak, aku harus tenang! kalau aku keluar dari rumah ini, wanita itu pasti akan merasa sangat menang, dan dia akan menguasai seluruh harta warisan Papi yang seharusnya dia tidak berhak sedikitpun’ pikir Icha kemudian menghela nafas panjang untuk menenangkan dirinya.
Ia kemudian berjalan menuju sofa di ruang keluarga tersebut, yang berada tepat di samping tangga, kemudian duduk di atasnya.
“Ternyata kamu benar, Sayang! Anak itu langsung menurut.”
Samar-samar terdengar suara Papinya itu berbisik pada ibu tirinya.
‘Lihat saja! gue akan rubah senjatamu itu makan tuannya sendiri’ gumam Icha dalam hati sambil tersenyum begitu manis di depan ibu tirinya itu.
Wanita yang sedang berjalan ke arahnya bersama suaminya itu, seketika terlihat was-was. Mungkin karena dalam sejarah keluarga mereka, baru kali ini Icha tersenyum padanya.
‘Sepertinya aku harus lebih banyak tersenyum padamu, Nenek Lampir!’ pikir Icha.
“Ouch!” teriak wanita itu sampai tersandung meja di depannya, saking tertegunnya melihat sikap Icha.
“Hati-hati mama! Kaki mama itu sangat berharga,” ucap Icha sok perhatian.
Ibu tirinya itu kini terlihat duduk di samping Papinya tersebut, sembari memegang tangan lelaki itu.
‘Rasakan, Dasar wanita licik!’ pikirnya sambil memasang wajah Iba.
“Nah begitu, Itu baru anak Papi, ya walaupun Papi tahu kamu melakukannya karena fasilitas dari Papi yang terancam Papi cabut, tapi tidak apa-apa, anggap saja ini kompensasi atau latihan awal, semoga kedepannya kau bisa melakukannya dengan tulus.” ucap Papinya itu terdengar bangga untuk pertama kalinya setelah maminya meninggal.
‘Kompensasi? latihan awal? Huft, untuk wanita seperti dia, tidak akan!’ pikirnya kesal, meski begitu Ia terus mencoba untuk tersenyum.
“Jadi Papi dan Mama sudah sepakat, kami akan menawarimu dua pilihan, pondok pesantren atau menikah, karena sepertinya kau butuh pembimbing, dan Papi sama Mama sudah kewalahan dengan tingkahmu,” ucap Papinya itu terdengar tenang, tapi sungguh menusuk hati Icha. Ia seperti anak yang benar-benar tidak bisa diatur dan tidak punya akal. Padahal Ia hanya butuh pengertian dan perhatian.
“Tapi Pi, Icha pengen kuliah,” jawabnya sambil setengah membentak.
“Yang kamu butuhkan adalah pendidikan karakter, adab sama orang lain, bukan ilmu dunia,” bentak Papinya itu lagi.
‘Tenang Icha, tenang!’ pikir Icha kemudian menghela nafas panjang.
‘Dengarkan dulu, apa yang akan diomongin orang tua itu!’
“Jadi, apa maunya Papi?” tanyanya dengan nada lebih tenang dan pelan.
Mamamu punya kenalan seseorang di pondok pesantren di Malang, namanya As Salam…”
‘Busyet, jauh banget, Ya etdah!’
“Tapi kalau kamu tidak mau tinggal di asrama pondok karena tidak bisa kemana-mana, mamamu punya calon yang qualified…”
‘Jangan-jangan itu Alex!’ pikir Icha.
“Dia adalah kerabat mamamu sendiri, dan juga teman sekolahmu, Dia sangat kompeten sebagai pemimpin, dan juga ada kemampuan di bidang bisnis.”
‘Rasanya aku pengen muntah!--- bagaimana seorang Satria Adiwijaya, bisa dicuci otaknya oleh istri yang baru seumur jagung itu, sampai pemikirannya setidak masuk akal itu’
“Bagaimana?” tanya ayahnya itu lagi.
‘Oke, It's time to show up!’
“Daripada Alex yang belum terbukti kompetensinya, Icha punya calon lain yang sudah terbukti kompetensinya dan pasti bisa merubah Icha menjadi pribadi yang lebih baik, In sya Allah, karena Icha sudah jatuh hati padanya. Katakan pada Icha apa yang lebih bisa merubah seseorang melebihi cinta, benar kan, Pi?”
Papi dan ibu tirinya itu terlihat saling berpandangan dengan kaget, entah karena Icha sudah punya calon, atau karena ucapan in sya Allahnya.
Dan yang lebih membuatnya senang, ibu tirinya kini terlihat heran sambil menatap matanya bergantian sepertinya wanita itu sedang menebak-nebak apa yang sedang ia rencanakan.
‘Rasain lu, gue kerjain!’ gumam Icha dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments