Pagi pun tiba, di rumah mewah, suara barang-barang dibanting begitu nyaring, pecah di lantai dan berserakan dimana-mana. Seorang pria paruh baya, bertubuh gemuk sedang marah saat polisi lebih dulu membawa putrinya. Dia Bimo, ayahnya Vanya.
”Cari putri saya, cari cepat!” seru Bimo dengan raut wajah murka, dan ingin tahu polisi yang mana yang membawa kabur putrinya.
”Siap pak." Jawab sekertaris nya yaitu Soni. Lalu pria itu melangkah untuk meminta anak buah Bimo menyebar mencari dimana Vanya. Bimo terduduk pasrah, dia memijat keningnya berulangkali, raut wajah lelah, khawatir nampak jelas di wajahnya, sejahat apapun dia, dia adalah seorang ayah. Yang sangat mencintai putrinya.
Kegelisahan pun terjadi di rumah pak kyai, putranya tak ada pulang ataupun memberi kabar, mau dewasa ataupun masih muda, kekhawatiran orang tua tetaplah sama, selalu menganggap anak-anaknya anak kecil, yang hilang harus di cari dan dikhawatirkan.
”Mungkin langsung pulang ke rumahnya mbak Asma." Wulan mengelus bahu suaminya lembut, mencoba menenangkan suaminya yang sedang didera rasa khawatir.
”Pasti Asma ngasih kabar, tapi ini gak ada.” Yusuf berdiri, mondar-mandir tidak karuan dan Wulan menggelengkan kepalanya.
”Ya sudah, aku telepon mbak Asma ya mas. Aku tanya sama dia, Salman ada atau enggak," ucap Wulan. Dan Yusuf mengangguk. Wulan pun menekan panggilan, dan menunggu yang dia telepon mengangkat.
”Halo, assalamu'alaikum?” ucap Asma.
”Wa'alaikumus Salaam, maaf mbak menganggu. Ini saya mau tanya, apa Salman nya ada?” bibir Wulan tersenyum, dia memang sangat ramah dan murah senyum.
”Salman?” ucap Asma terdengar enteng, dan dia tidak tahu dimana putranya.” Bukannya di sana? gak ada disini mbak, ada apa ya?” suaranya terdengar panik.
”Salman pergi, tapi gak ada pulang. Dia bilang cuma beberapa hari. Saya kira pulangnya ke rumah mbak.”
”Pergi kemana?” terdengar kesal.
”Ke luar kota mbak.”
”Ya sudah nanti saya coba telepon Salman."
”Ya sudah mbak, maaf menganggu, assalamu'alaikum."
”Wa'alaikumus Salaam.”
Yusuf menoleh, lalu Wulan menggelengkan kepalanya, Yusuf akhirnya masuk untuk segera bersiap sholat isya.
Asma yang mendengar kabar putranya tak pulang, langsung pergi ke kamar Sairish, mungkin Sairish tahu dan Salman memberitahunya.
”Bunda, bikin kaget!" ucap Sairish keras. Dia usap dadanya, sangat kaget karena Asma tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu.
”Sini sebentar." Asma menarik lengan putrinya, mengajaknya duduk di tepi ranjang tempat tidur bersama.” Mas mu ada ngasih kabar?”
”Enggak bund, setelah dari sini aku sama mas Salman gak komunikasi, aku sempat kirim pesan tapi gak dibales.” Sairish menjelaskan, mimik wajah bundanya langsung terlihat begitu tegang.
”Kenapa mas kamu ya? apa ayah kamu tahu?”
”Coba telepon ayah bund, mas sama ayah kan emang deket walaupun anu eummm.” Sairish menggigit bibir bawahnya kelu, dia keceplosan dan langsung ditatap sinis oleh bundanya.” Maaf hehe,” ucapnya lembut.
Asma akhirnya pergi meninggalkan kamar putrinya, lalu menelepon Satya. Tapi tak kunjung diangkat karena Satya sedang sibuk. Asma hanya bisa mendengus sebal lalu pergi menuju ke kamarnya.
*****
Di hutan, Vanya sudah terlelap kembali, sampai dia tidak sadar pagi sudah datang menyapa, tubuh kotor Salman sudah bersih, wajahnya yang penuh noda hitam di bersihkan, dia baru saja menunaikan shalat subuh. Sambil mencari sinyal tapi tak kunjung dapat. Dia terus beristighfar karena kesal dan bingung, harusnya sudah ada tanda-tanda bantuan datang, tapi ini malah sepi dan membuatnya semakin takut keluarganya curiga.
Salman pun bergegas kembali ke tempat awal, dan dia kini dia melihat Vanya sudah bangun, Vanya terdiam membeku, belum pernah dia melihat pria setampan dan gagah seperti itu sebelumnya, tubuhnya besar, perut yang dia lihat kotak-kotak semalam begitu jelas di benaknya. Lagi-lagi, Salman bersikap tidak perduli. Sampai akhirnya suara perut Vanya membuatnya menoleh kepada gadis itu.
”Aduh,” gumam Vanya. Dia menyentuh perutnya, dan menunduk merasa malu.
”Kita harus keluar dari sini, ayo cepat.” Salman menggerakan tangannya, meminta gadis itu segera bangkit, dan akhirnya Vanya bangkit.
Keduanya melangkah beriringan, Vanya sangat takut memperhatikan sekitar.” Aaaa..!" Jeritnya kencang dan melangkah mendekati Salman, sampai wajahnya menabrak punggung besar itu.
”Berisik!” tegas Salman dan hanya menoleh sekilas.
”Pak, saya takut pak.” Vanya merengek, meminta perlindungan, dia baru sadar jika pria di hadapannya adalah seorang polisi, pasti ayahnya yang meminta pria tersebut, lalu akan di berikan imbalan, jika itu benar dia akan meminta imbalan untuk dinikahkan dengan pria itu, Vanya merasa gila sendiri dengan halusinasinya.
Salman diam membisu, terus melangkah meninggalkan Vanya yang sedang berkhayal. Karena tidak mendengar pergerakan, Salman akhirnya menoleh, dia berkacak pinggang melihat Vanya sedang cengengesan sendiri.
”Woy!” teriak Salman dan Vanya tersentak kaget.
”Bapak, kalem aja bapak." Vanya melangkah dan menghentakkan kakinya berulangkali, Salman mendelik sebal, lalu dia melangkah dan Vanya harus berlari menyusul langkah lebarnya.
Keduanya sampai di pinggir sungai, Vanya diam memperhatikan Salman melepas sepatunya lalu melangkah ke dalam air, dia menggunakan pisau panjang dan runcing itu untuk menangkap ikan, Vanya diam-diam membersihkan wajahnya yang penuh debu,
Setelah membersihkan ikan, Salman memakannya mentah-mentah, Vanya pun mendekat, dan memperhatikan pria itu yang sama sekali tidak mau menatapnya.
”Mau.” Vanya merengek.
Salman menoleh dan menyodorkan pisaunya, yang dia letakkan daging ikan di atasnya. Vanya menggeleng kepala.
”Saya gak suka ikan mentah pak.”
”Saya gak perduli, terserah."
”Tapi saya lapar pak, bapak tega?"
”Ya sudah makan.”
”Saya gak kuat kalau mentah, maunya di bakar terus pakai bumbu kacang."
Salman bangkit dan Vanya panik." Jangan ikuti saya, terserah kamu mau kemana. Malah bikin pusing saya aja, cerewet.” Cibir nya tanpa ragu, dia tidak suka perempuan cerewet.
”Pak tungguin saya pak.” Vanya menangis dan akhirnya Salman berhenti melangkah, dia perlahan-lahan berbalik, dan melihat gadis itu sedang menangis tersedu-sedu.
”Kenapa nangis? punya masalah?”
”Kan bapak yang bikin saya nangis, gimana sih bapak ini. Saya lapar pak, mau makan. Pingsan nih saya." Ancam nya dengan gaya tubuh yang akan ambruk tapi Salman malah tertawa kecil.
”Kamu gila?” serunya mencibir dan Vanya berdiri kembali dengan benar.
”Saya lapar pak.” Memegang perut ratanya dan Salman langsung berpaling.
Selang beberapa lama, Vanya terus tersenyum, mendorong-dorong ranting pohon yang di tumpuk dan asap terus mengepul, ikan di atasnya sebentar lagi matang, Vanya sudah tidak sabar ingin memakannya, sementara Salman, dia sedang duduk di atas batu, menunggu bantuan yang mungkin datang sebentar lagi, dia tidak bisa lebih lama menghilang, dia harus pulang. Vanya diam, memperhatikannya dengan seksama, dia melihat kaki dan tangan Salman berdarah, pria itu tidak mau dia sentuh. Saat melihat Salman Sholat, baru lah Vanya paham ada apa dengan pria itu, pria itu seorang muslim. Berbeda dengannya.
Vanya adalah sosok gadis yang terbuka untuk siapapun, dalam artian, dia bisa berteman dengan siapa saja, dia memiliki sahabat seorang muslimah yang selalu membuatnya iri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
ArnEta Sendy
enk di km neng dpt rejeki nomplok haha
2021-12-02
0
☠ᵏᵋᶜᶟRoss"kita" 𝕱𝖘🏚ᵉᶜ✿
owh mereka beda ternyata..... gpp berbeda itu indah......
2021-10-07
0
💞💝💖MömÏrÑù💖💝💞
nyampe sini makkin bingung aja, kok baca ini banyak nama baru, nunggu up ceritanya Salma di sebelah harus sabar,
2021-09-12
0