BAB 16

"lantas aku meninggalkan intan di ruang tamu, segera aku berjalan ke arah kamar, pintunya tertutup rapat namun sepertinya tak terkunci. kudekatkan telinga supaya bisa mendengar jelas suara itu,

braak

"apa-apaan kamu, Dina?"

teriakku.

aku membuka pintu dengan kasar, saat mendengar suara desahan seseorang. Dina terkejut bahkan hampir melempar ponsel dari genggamannya.

segera aku menutup pintu kamar, kemudian menguncinya, secepat kilat aku merebut paksa ponsel milik Dina.

"sejak kapan kamu punya ponsel ha? lalu, untuk apa kamu menonton tayangan seperti itu Dina!"

sekuat mungkin aku mencoba agar tak berteriak kepadanya, namun kekesalanku sudah berada di puncak, Dina masih diam, dengan ekspresi yang datar. tatapan matanya nampak tak mau mem pedulikan aku yang tengah emosi kepadanya.

"dari mana kamu punya uang ha? dari mana kamu bisa membayar pengobatan hijrah? jawab Dina!"

Daru nafasku memburu, tanganku mengepal erat kemudian tanpa aba-aba melampiaskannya kepada tembok kamar. Dina berjangkit kaget, bahkan ia menghindarkan mataku terkena buram mentahan.

"jawab, Dina!"aku memegang kencang kedua bahunya.

"ayah..... mama...!"

tiba-tiba saja intan berteriak dari luar kamar, sejenak aku membuang nafas kasar, hampir saja aku tak bisa menahan emosiku. Dina kemudian turun dari ranjang, hendak menghampiri intan.

"kamu pulang bahkan nggak ngucap salam, pantas saja kelakuannya kayak setan"desis dina seraya mendelik ke arahku. iya kemudian membuka pintu, nampak intan berdiri di depannya, ibu dan anak itu terlibat obrolan, dan mereka beranjak ke kamar sebelah.

setengah jam kemudian, Dina akhirnya kembali menghampiriku yang masih berdiam diri di tepi ranjang. aku menoleh ke arah Dina yang kini berdiri di depan pintu seraya melipat kedua tangan.

"intan sudah tidur kalau kamu mau teriak, lebih baik jangan di sini"

"aku butuh penjelasan!"

"kamu terlalu banyak memberi pertanyaan, lalu mana yang harus lebih dulu aku jelaskan, ucap Dina, dia duduk denganku. raut wajahnya terlihat tenang, tak seperti aku saat aku memergokinya di dalam kamar.

"dari mana semua ini...?"

"warisan."

"apa? warisan? kamu pulang kampung?"

"kalau iya memangnya kenapa, mas?"

aku nggak ada cara lain selain minta tolong ke bapakku"

"kenapa kamu nggak sabar, sedikit saja, ingat ucapan kedua orang tuamu saat aku mengajakmu pindah untuk ikut denganku? kalau sampai bapakmu tahu aku belum bisa membahagiakan putrinya, aku harus segera....

"ssssttt...! bapak nggak ada ngomong seperti itu, dan aku pun nggak menceritakan kesulitanku"

"tapi itu nggak mungkin, Dina, kamu datang ke sana tanpa aku, jelas mereka akan!"

sudahlah, mas. kenapa kamu jadi repot begini, harusnya kamu senang dong, bukannya malah marah-marah"

"tapi caramu itu bisa membuat harga diriku hancur Din"

"harga diri yang mana? ya nggak bisa mencukupi kebutuhan anak dan istrinya? yang malah menambah hutang ke lintah darat ha?"bentak Dina.

darimana lagi kalo bukan dari orang tua aku meminta bantuan untuk membayar hutang -hutang di warung,tetangga,

Aku tidak tahan mas dengan ejekan mereka setiap hari,melihat intan,dan hijrah melihat teman teman ya makan jajan,serta kalo mereka juga meminta makan sedangkan beras habis mas,apa mas kira duit yang mas kasih 2 ratus ribu itu cukup buat makan kami.

Mas Budi hanya tertunduk,dan tak berani' berkata-kata lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!