"Tanpa kamu suruh, aku juga bakal cepat-cepat pergi dari rumah yang cuma bisa bikin aku sengsara ini mas!!"
Tak lama setelah itu, Vina berjalan dari arah dapur sambil menyeret dua koper besar bersamanya. Rupanya dia memang benar-benar sudah menyiapkan segalanya untuk segera pergi dari rumah itu.
"Aku harap, kamu nggak bakal pernah kembali lagi ke rumah ini," Gevan menyusul dari arah belakang, seraya berucap demikian dengan kilatan emosi di kedua bola matanya.
Wanita itu menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Gevan sebentar. "Sesuai permintaanmu mas. Aku bahkan bersumpah, nggak bakal mau balik ke rumah ini. Bagaimana pun keadaanku nanti, aku bersumpah!!"
"Ma, pa. Ada apa dengan kalian, kenapa jadi ribut-ribut begini? Nggak seperti biasanya."
Geo yang kebingungan atas keributan itu akhirnya berani membuka suaranya, memecah ketegangan di antara kedua orang tuanya. Sedangkan Lauren, gadis itu hanya bisa diam membeku seraya berdiri di belakang Geo. Sungguh, gadis yang masih berumur 14 tahun itu sama sekali tidak mengerti dengan apa yang tengah terjadi di hadapannya sekarang.
Vina beralih menghadap Geo, kemudian mendekati anak laki-laki tersebut. "Kamu bertanya ada apa dengan kami? Nggak seperti biasanya? Memangnya seperti apa biasanya kami menurutmu?"
Geo tak mampu menjawab pertanyaan wanita yang biasa dia panggil mama itu. Entah kenapa, dia merasa wanita di hadapannya itu seperti bukan wanita yang selama ini dia kenal. Seperti wanita itu baru saja membuka sikap aslinya yang selama ini disembunyikannya di balik topeng.
"Tanpa kalian tau, apa yang selama ini kalian lihat itu hanyalah pencitraan. Terutama untukku yang seumur hidup nggak bakal bisa mencintai pria itu," Vina menunjuk ke arah di mana Gevan berada tanpa mengalihkan pandangannya dari Geo. "Dan juga kalian."
Lagi. Geo hanya mampu terdiam, namun kali ini hatinya seakan-akan dihujani ribuan anak panah. Baru kali ini dia merasakan sakit yang teramat sangat sakit, dan rasa sakit itu ditimbulkan oleh sosok yang selama ini dia hormati dan sayangi. Rasa sakit itu pun turut mempengaruhi emosi Geo, kini dia sudah menatap Vina dengan tatapan tajam.
"Cukup Vina, berhenti bicara omong-kosong. Cepat keluar dari rumah ini!" Gevan kembali bersuara seraya berjalan mendekati ketiga orang yang berdiri di dekat pintu. Mau tidak mau Gevan harus bergegas menyuruh Vina keluar dari rumah, sebab dia tidak ingin kedua anaknya mendengar setiap ucapan Vina yang dapat menyerang mental tersebut.
"Sebentar, mas. Apa aku nggak boleh pamitan dengan kedua anakku sendiri?"
"Apa-apaan kamu, masih berani menyebut mereka anakmu?"
"Lalu dengan sebutan apa aku harus menyebut mereka, mas. Bukankah mereka anak kita berdua?" entah apa yang ada di dalam pikiran Vina sekarang, wanita itu tersenyum miring setelah berucap seperti itu.
"Sudahlah. Kamu udah banyak ngucapin omong kosong. Aku muak, Vin," Gevan yang sudah lelah menghadapi tingkah laku Vina, dengan gerakan cepat mencengkram pergelangan tangan Vina, bermaksud agar wanita tersebut cepat-cepat pergi dari rumah sekarang.
Namun saat baru saja Gevan ingin menarik Vina. Geo yang berada di sampingnya menghentikan tindakannya itu, lalu perlahan melepaskan cengkraman tangannya. Alhasil Gevan hanya bisa menatap Geo dengan tatapan heran, tanpa mampu bertanya kenapa anaknya itu bertindak demikian.
"Tuh, Geo aja nggak ngelarang aku buat pamitan sama dia."
Tidak berniat menanggapi ucapan Vina, Gevan hanya mendengus napas kesal.
"Mama mau ngomong apa?"
"Nggak banyak-banyak sih," Vina mengedikkan kedua bahunya tak acuh. "Aku cuma mau bilang. Besok, setelah urusanku selesai. Aku bakal bebas, dan nggak akan lagi ngehadapin kalian semua," wanita itu tersenyum dengan bangga, seraya menepuk-nepuk bahu sebelah kiri Geo. Tak lupa dia juga melirik gadis yang bersembunyi di belakang anak laki-laki tersebut. "Kalian tenang aja, aku nggak akan repot-repot ngurusin hak asuh kalian. Karena kalian bakal aku serahin sepenuhnya ke mas Gevan. Selamat buat kalian, bisa hidup enak dan nikmatin warisan almarhum ayah aku".
Mendengar ocehan Vina, Geo mengepalkan kedua tangannya. Kenapa bisa wanita tersebut dengan mudah mengucapkan setiap bait kata itu tanpa merasa ragu dan bersalah. Apakah ini benar-benar wujud sebenarnya dari wanita tersebut?
"Udah cukup omong kosongnya?" Tanya Gevan yang rupanya sudah membuka pintu. "Sekarang cepat pergi dari rumah ini. Aku mohon!"
"Dengan senang hati, mas. Nggak usah repot-repot sampai kamu memohon gitu," Vina terkekeh kecil dan kembali melangkahkan kakinya. Namun baru beberapa langkah, dia tiba-tiba berhenti. Sebab Vina merasakan sebuah tarikan di tangan sebelah kirinya.
"Mama jangan pergi," rupanya si kecil Lauren lah yang menarik tangannya Vina. "Lauren mohon, mama jangan pergi."
"Lepasin tangan aku!"
Lauren menggelengkan kepalanya. "Lauren mohon, jangan pergi. Lauren nggak mau kehilangan mama," seraya memohon gadis itu terus menggelengkan kepalanya. Air mata yang mengalir dari kedua matanya sudah tak terbendung lagi.
"Aku bilang lepasin!" Dengan kasar, Vina menarik tangannya. Akibatnya Lauren sedikit terhuyung ke depan, untungnya ada Geo yang dengan cepat menahan tubuh adiknya tersebut. "Dasar anak tidak berguna."
"Vina. Jaga omongan kamu!!"
Seketika Vina terlonjak kaget akibat suara keras Gevan. Bukan hanya Vina, Geo dan Lauren pun ikut terkejut. Sangat jarang bagi mereka mendengar Gevan bersuara sekeras itu.
"Aku mohon sekali lagi sama kamu, Vina. Cepat keluar dari rumah ini!" Setelah itu, Gevan menatap anak laki-lakinya. "Geo, cepat bawa adik kamu ke kamarnya. Sekarang juga!"
Tanpa ragu, Geo menganggukkan kepalanya dan perlahan menarik tubuh Lauren. "Kita ke kamar ya, dek."
Namun tidak semudah itu, Lauren malah memberontak dan semakin menangis keras. "Lauren nggak mau bang. Lauren mau cegah mama, biar mama nggak pergi".
"Nggak bisa, dek."
"Apanya yang nggak bisa bang? Kita masih bisa kok, cegah mama biar nggak pergi." Lauren semakin memberontak saat melihat Vina yang benar-benar sudah melangkah keluar, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang untuk melihatnya. "Memangnya abang mau mama pergi begitu aja!!"
"Nggak mau, dek. Abang juga nggak mau sampai mama pergi. Tapi bagaimana lagi, nyatanya selama ini mama nggak sayang sama kita, dan milih buat pergi ninggalin kita."
Ingin rasanya Geo ikut memberontak sambil mengucapkan semua kalimat tersebut. Tapi itu semata-mata hanya keinginannya Geo, semua kalimat tersebut hanya tercekat di tenggorokannya. Sebagai kakak laki-laki yang harus melindungi adik perempuannya, untuk sekarang dia harus tetap kuat. Bersikap seakan-akan dia tidak mempedulikan tindakan ibunya saat ini, dan memilih untuk lebih fokus kepada Lauren saja.
"Biarkan mama pergi, dek. Karena itu udah pilihannya buat pergi ninggalin kita," setelah berucap demikian, Geo mengangkat tubuh Lauren dan dengan paksa membawa adiknya itu naik ke lantai atas menuju kamarnya.
"Nggak mau, bang. Lauren nggak mau. Lauren nggak mau mama pergi!!" Lauren berusaha memberontak seraya menangis dengan keras. Namun itu semua sia-sia, karena sejatinya Geo lebih kuat darinya. "Mama jangan pergi!!" Gadis tersebut terus berteriak, seraya menatap punggung Vina yang sudah menjauh dan menghilang di balik pintu.
"Geo, Lauren, ayah minta maaf," setelah tak lagi melihat Geo dan Lauren di tangga, Gevan tak dapat lagi menahan tubuhnya. Pria itu menjatuhkan tubuhnya dengan perlahan, duduk bersandar di pintu. "Maafin ayah, karena udah nggak bisa mempertahankan keluarga kecil kita."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Kak Dsh 14
Kasian anak2nya🥲
2024-12-30
0
sean hayati
vina bakalqn nyesal ninggalin suami sebaik Gevan
2024-09-14
0
yeopo yeojaaaa
ya ampun😭
2024-09-02
0