Bab 4. Pindah Rumah

Hari demi hari masih terus Deswita lalui penuh dengan luka dan sayatan yang tak kasat mata. Dia bahkan rela menahan luka itu sendiri dan mencoba mengobatinya dengan mengadu pada Sang Pencipta.

Air mata tak ada hentinya membasahi kedua pipi, tetapi hal itu takkan terlihat ketika sedang bersama sang suami. Dia menutupi segala sakit dan pedih di hatinya dengan senyuman yang selalu menghiasi wajahnya.

"Zi, kamu dapat undangan pesta ulang tahun dari Silvia. Kamu bisa datang 'kan?" tanya Mama Riana ketika sedang berada di meja makan.

"Nanti Zidan lihat jadwal dulu, Mah. Soalnya Zidan sibuk di kantor, kemungkinan juga bakal lembur," jawab Zidan mencoba menghindar ajakan sang mama.

"Terus mama harus pergi dengan siapa kalau kamu lembur? Mama 'kan nggak enak kalau nggak hadir."

"Mama 'kan bisa ajak Wita pergi, sebagai pengganti karena Zidan nggak bisa datang," usul Zidan.

Mama Riana memutar bola matanya kemudian menatap sinis pada Deswita yang langsung tertunduk mendapati tatapan itu. "Mending mama nggak usah ke sana dari pada harus pergi sama dia."

"Ma ... Apa salahnya, sih, Mama bersikap baik dan menerima Deswita seperti Zhia?" sela Papa Fikar.

"Jelas beda, dong, Pah. Zhia itu berasal dari keluarga terpandang yang sepadan dengan kita, sedangkan dia ... Asal-usul aja nggak jelas," ujar Mama Riana dengan tatapan sinisnya.

"Cukup, Ma! Mau seperti apa pun kehidupan Deswita, dia tetaplah pilihan Zidan. Karena yang Zidan lihat bukan dari kasta maupun harta, tapi dari sikap dan akhlaknya," pungkas Zidan lalu menarik tangan Deswita menuju kamar.

Selera makannya mendadak hilang setelah mendengar hinaan yang keluar dari mulut sang mama. Sementara Deswita hanya bisa diam dan pasrah mengikuti langkah kaki suaminya.

**

Ketika di dalam kamar, Zidan duduk di sofa dan mendudukan Deswita di pangkuannya. Tangannya melingkar di pinggang sang istri sambil menenggelamkan kepala di dada istrinya.

Deswita sangat mengerti dengan perasaan suaminya, sudah pasti sebagai seorang anak, Zidan merasa diperlakukan berbeda dengan sang kakak.

Mendadak Deswita terdiam saat menyadari pakaian yang dikenakannya basah. "Mas, kenapa nangis?"

"Maafin mas, Ta. Mas belum bisa menjadi suami yang baik buat kamu, belum bisa melindungi dan membahagiakanmu," ucap Zidan.

"Mas, kamu ngomong apa, sih? Bagiku kamu sudah menjadi sosok suami yang sangat baik dan bertanggung jawab. Semua yang terjadi bukan sepenuhnya salahmu, mungkin memang inilah jalan hidup yang harus aku lalui. In Saya Allah, aku masih bisa menahan semua asalkan kamu masih tetap ada di sampingku."

Deswita menangkup wajah sang suami lalu menghapus air mata yang masih mengalir di kedua pipi. "Mau seperti apa pun perjalanan hidup kita, aku hanya minta satu hal dari kamu, Mas."

"Apa?"

"Tetaplah di sampingku dan percaya padaku. Jangan pernah goyah di saat badai datang menerjang karena kunci kekuatan hubungan ini ada pada diri kita sendiri," tutur Deswita.

"Iya, Ta. Mas janji akan selalu di sampingmu dan selalu percaya padamu."

"Aku pegang janjimu, Mas. Selebihnya hanya bukti tindakan dari kamu yang aku butuhkan." Deswita kembali memeluk erat sang suami, pun dengan Zidan yang juga membalas pelukan sang istri.

......................

Saat Deswita sudah terlelap, Zidan beranjak bangun dari ranjang menuju sofa. Dia mencoba menghubungi sang kakak untuk meminta bantuan.

"Ya, Zi. Ada apa?" tanya Revan setelah menjawab panggilan telepon sang adik.

"Kak, aku mau minta bantuan kamu," ucap Zidan.

"Bantuan apa?"

"Tolong carikan rumah yang jaraknya nggak terlalu jauh dengan kantor."

"Rumah? Buat kamu?"

"Iya, Kak. Setelah aku pikir-pikir, sebaiknya aku tinggal di rumah sendiri dengan Deswita. Aku nggak mau mental dan batin Deswita semakin terganggu karena mama," ungkap Zidan.

"Apa mama masih belum berubah juga?"

"Iya." Zidan pun menceritakan kejadian saat makan malam tadi dan ucapan sang mama yang sudah sangat keterlaluan terhadap Deswita.

"Baiklah, nanti coba kakak cari info lewat teman kakak, semoga ada yang cocok sama kamu."

"Iya, Kak. Makasih sebelumnya dan maaf udah ganggu waktu istirahat Kakak."

"Enggak apa-apa, Zi. Selagi kakak bisa bantu, pasti akan kakak bantu. Kamu nggak perlu sungkan," ujar Revan.

"Iya, Kak."

Usai menghubungi Revan, Zidan menyimpan ponselnya di atas nakas kemudian dia kembali berbaring di samping Deswita.

"Sabar, ya, Ta. Mas akan mengusahakan yang terbaik untuk kenyamanan kamu," gumam Zidan lalu mengecup kening Deswita.

***

Keesokan paginya, Zidan sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Sementara Deswita masih di dapur menyiapkan bekal sarapan untuk sang suami. Zidan sengaja tak ingin sarapan di rumah karena masih terngiang perkataan mamanya semalam.

Dia hanya tak ingin moodnya pagi ini jadi berantakan karena masalah yang tak ada ujungnya.

"Mas, ini bekal sarapannya." Deswita masuk kamar dan meletakkan bekal tadi di meja dekat sofa.

"Iya, Ta. Makasih," ucap Zidan lalu mendaratkan kecupan di kening sang istri.

"Nanti siang kamu makan di rumah atau diantar kayak biasanya?" tanya Deswita seraya memasangkan dasi Zidan.

"Kayaknya nanti aku makan siang di luar, Ta. Soalnya ada pertemuan dengan klien di hotel."

"Ya sudah kalau begitu."

Zidan pun langsung berangkat ke kantor dan diantar Deswita sampai pintu depan.

Sesampainya di kantor, Zidan segera masuk ruangannya dan mulai menyelesaikan pekerjaan yang masih menumpuk di mejanya.

Tak berselang lama, Revan datang menemui Zidan di ruangannya.

"Sibuk, Zi?" Revan menarik kursi yang berseberangan dengan Zidan.

"Nggak juga, Kak," jawab Zidan.

"Semalam kakak udah minta bantuan teman, dia bilang ada satu rumah yang dijual dan jaraknya sekitar 30 menit dari kantor. Kalau kamu mau, nanti siang atau sore kita ke sana buat lihat-lihat dulu," terang Revan.

"Boleh, Kak. Nanti sore kita ke sana, soalnya siang ini aku ada pertemuan di luar."

"Oke, nanti kamu telepon aja kalau mau ke sana," ucap Revan lalu bangkit dari duduknya dan berlalu keluar dari ruangan Zidan.

**

Malam harinya, Zidan menemui Papa Fikar di ruang kerjanya. Dia ingin mengatakan niatnya untuk pindah rumah dengan Deswita.

"Pah, boleh Zidan masuk?" tanya Zidan setelah mengetuk pintu.

"Masuk aja, Zi," sahut Papa Fikar.

Zidan membuka pintu lalu menutupnya kembali, dia berjalan menghampiri sang papa yang sedang membaca buku di sofa.

"Pah, Zidan mau ngomong sesuatu," ucap Zidan setelah duduk di samping papanya.

"Soal apa, Zi?" Papa Fikar langsung menutup buku yang dibaca dan mulai memerhatikan Zidan.

"Zidan mau pindah rumah, Pah."

"Pindah rumah? Kenapa memangnya?"

Zidan menghela napas panjang lalu mengeluarkan segala uneg-unegnya. "Papa tau sendiri, dua tahun hidup seatap di sini Deswita selaku tertekan batinnya karena sikap mama. Zidan nggak mau terjadi hal buruk pada kesehatan mental dan batin Deswita, Pah. Zidan tahu selama ini Deswita mencoba menyembunyikan semua rasa sakitnya sendirian."

Papa Fikar menyandarkan tubuhnya lalu pandangan lurus menatap langit-langit ruangan. "Maafkan sikap mamamu, Zi. Papa sendiri sudah mencoba menasihati mamamu, tapi tetap saja tak digubris. Semua keputusan ada di tangan kamu, kalau memang itu yang terbaik untuk kelangsungan hubungan kalian, papa izinkan kamu untuk pindah rumah."

"Apa? Pindah rumah?"

Zidan dan Papa Fikar langsung menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Mama Riana sudah berdiri di ambang pintu dengan sorot mata tajam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!