Menantu Yang Tak Dianggap
Suara benda jatuh terdengar begitu keras, Zidan dan mamanya yang sedang di ruang tamu langsung berlari ke sumber suara.
"Astaga! Kamu bisa kerja nggak, sih! Lama-lama bisa habis semua barang di rumah," teriak Mama Riana.
"Kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Zidan yang menghampiri istrinya.
"Enggak apa-apa, Mas. Maaf, aku nggak sengaja nyenggol vas bunga punya mama," ucap Deswita.
Mama Riana semakin bertambah geram ketika melihat Zidan yang bersikap biasa saja.
"Kamu lihat sendiri, kan. Bagaimana kelakuan istri kamu yang nggak becus ini? Tiap hari kerjaannya cuma buat ulah dan bikin mama naik darah," ketus Mama Riana.
"Mah, udah. Deswita nggak sengaja nyenggol vas bunga Mama, nanti biar Zidan beliin yang baru."
"Terus aja belain istri kamu, biar makin besar kepala dan berbuat seenaknya."
Mama Riana berlalu pergi meninggalkan Zidan dan Deswita yang tertunduk dengan menahan tangisnya.
Zidan yang mengerti akan perasaan sang istri langsung memeluknya. Dua tahun menikah, mamanya sama sekali tak pernah bersikap baik pada Deswita.
Entah alasan apa yang membuat mamanya begitu membenci Deswita. Karena sejak dia memutuskan untuk menikah dengan sang istri, orang pertama yang menentang adalah mamanya.
"Kamu duduk dulu! Biar aku bersihin pecahan vasnya," ucap Zidan, tapi ditolak oleh Deswita.
"Biar aku yang bersihin, Mas. Kamu temenin mama aja di ruang tamu."
"Ya sudah. Hati-hati kena pecahan vas!"
"Iya, Mas."
Setelah Zidan kembali ke ruang tamu, Deswita segera ke belakang mengambil sapu dan pengki. Dia segera membersihkan lantainya, agar tak ada orang yang terluka karena menginjak pecahan vas bunga.
Sementara itu di ruang tamu, Zidan mendekati mamanya yang masih terlihat memendam amarah.
"Mah! Mau sampai kapan Mama benci Deswita?" tanya Zidan dengan nada pelan.
"Sampai mati mama nggak akan pernah menganggap wanita itu sebagai menantu. Lagi pula, apa yang kamu lihat dari wanita itu? Asal-usul keluarganya aja nggak jelas."
"Cukup, Mah! Selalu saja itu yang Mama ungkit. Untuk apa keluarga jelas, tapi akhlak dan sifatnya tak baik? Jangan hanya karena Zidan menolak perjodohan dari Mama, Mama menjadikan Deswita sebagai pelampiasan."
Setelah mengatakan itu, Zidan beranjak pergi menuju kamarnya. Sementara sang mama, diam menahan amarah dengan kedua tangan yang terkepal kuat.
"Aku harus bisa menyingkirkan wanita si*lan itu dari hidup Zidan. Aku sama sekali nggak rela Zidan memiliki istri dari keluarga yang tak jelas," gumam Mama Riana.
**
Di balkon kamar, Zidan tengah duduk termenung sambil menghisap sebatang rokok. Sebenarnya, itu bukanlah kebiasaannya, tapi di saat suasana hatinya sedang tidak baik, dia akan melampiaskannya pada benda itu.
"Mas, kamu kok ngerokok, sih!" tegur Deswita yang baru masuk, kemudian dia merebut rokok yang dipegang Zidan lalu mematikannya.
"Udah berapa kali aku bilang? Kesehatan itu lebih penting, tapi kenapa kamu malah ulangi lagi?"
Zidan merengkuh tubuh Deswita yang berada di sampingnya. Kecupan hangat di kening, dia berikan pada sang istri.
"Maaf." Hanya satu kata itu yang bisa Zidan katakan. Dia merasa gagal menjadi suami yang baik, dia tak bisa melindungi istrinya dari kedzoliman sang mama.
"Aku nggak mau lihat kamu sakit, Mas. Rasa trauma kehilangan bapak masih sangat aku rasakan. Dan aku nggak mau hal itu sampai terjadi ke kamu."
"Iya, maaf. Mas janji nggak akan ulangi lagi."
Zidan pun memeluk erat tubuh Deswita, dia sangat merasa bersalah telah membuat sang istri bersedih.
................
Anggota keluarga Zidan kini berkumpul di ruang makan. Ada Papa Fikar, kakak Zidan beserta istrinya, sedangkan Deswita menyiapkan makan malamnya.
"Mama mana? Tumben belum ke sini," tanya Revan, kakak Zidan.
"Biasalah, mamamu masih sibuk teleponan dengan teman arisannya," jawab papa.
"Biar aku panggil mama dulu." Zhia beranjak dari kursi lalu menuju kamar Mama Riana.
Tak berselang lama, Zhia dan Mama Riana sudah datang. Mereka pun segera mengambil makanan yang sudah dihidangkan Deswita sejak tadi.
Di saat semua telah menikmati makan malam, Mama Riana justru hanya diam memandangi isi meja dengan raut wajah tak berselera.
Papa Fikar yang melihat sang istri hanya diam langsung menegur. "Jangan dilihat aja, Mah! Ayo, makan nanti keburu dingin."
"Papa aja yang makan, mama nggak berselera lihat makanannya karena sudah bisa ditebak siapa yang masak," ucap mama dengan ketus.
"Mah, jangan gitu! Hargai jerih payah Wita yang sudah masak ini semua." Zidan mencoba membujuk sang mama agar mau makan.
"Lebih baik mama makan di luar daripada makan masakan dia," ujar mama lalu beranjak pergi dari ruang makan.
Deswita hanya bisa menundukkan kepalanya, sebenci itukah ibu mertuanya. Bahkan menyentuh masakannya saja enggan.
"Maafin sikap mama, Ta. Doakan saja, mama bisa berubah." Papa Fikar meminta maaf atas nama istrinya, beliau sangat tahu betul dengan perasaan Deswita selama ini.
Usai makan malam, Deswita pun membereskan peralatan makan lalu dibawa ke dapur.
"Biar aku aja yang cuci piringnya, Ta. Kamu tadi 'kan sudah masak," ucap Zhia yang menyusul Deswita di dapur.
"Enggak apa-apa, Mbak. Biar aku saja, lebih baik Mbak Zhia buatkan teh untuk papa dan yang lain."
"Baiklah."
**
Keesokan paginya, saat tengah sarapan tiba-tiba Mama Riana meminta Zidan agar ikut ke acara pesta ulang tahun teman arisannya.
"Zi, nanti malam ikut mama ke pesta ulang tahun teman mama, ya."
"Malam ini Zidan nggak bisa, Mah."
"Kenapa? Kamu lembur?"
"Enggak, malam ini Zidan mau ke luar sama Deswita."
Mama Riana mendengus kesal, tapi beliau tak kehabisan akal untuk membujuk Zidan.
"Kamu tunda besok aja. Temen mama pengen kenal kamu, siapa tahu anak-anak mereka mau menjalin kerjasama dengan perusahaanmu."
Papa Fikar dan Revan sudah tahu maksud Mama Riana yang kekeh membujuk Zidan, apalagi jika bukan untuk dikenalkan dengan anak perempuan teman arisannya.
Sudah berulang kali Papa Fikar mengingatkan agar tak mengurusi rumah tangga Zidan, tapi sifat keras kepala sang istri yang tak bisa dilawan.
"Sudahlah, Mah. Kalau Zidan nggak bisa jangan dipaksa, lagi pula dia sudah ada acara sendiri dengan Wita." Revan berusaha menghentikan pembicaraan mamanya.
Untung saja, Deswita masih di dapur untuk menyiapkan bekal makan siang Zidan. Jika tahu sudah bisa dipastikan, dia akan memilih mengalah dengan Mama Riana.
Mendengar ucapan putra sulungnya, Mama Riana pun hanya bisa diam. Karena Revan tipe anak yang sangat tegas, meskipun itu pada keluarganya sendiri.
Revan sangat tidak suka jika ada yang memaksakan kehendak, demi kepentingan sendiri. Termasuk mamanya yang kekeh membujuk Zidan agara mau ikut ke acara pesta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments