Bab 2. Tak Dianggap

Seperti yang sudah dijanjikan Zidan sebelumnya, malam ini dia mengajak sang istri untuk makan malam di luar. Dengan penampilan sederhana, tetapi masih terlihat sangat anggun, Deswita menghampiri sang suami yang menunggu di sofa kamar.

"Aku sudah siap, Mas. Mau berangkat sekarang atau nanti?"

Mendengar suara sang istri, Zidan segera mengalihkan perhatiannya dari ponsel di tangannya. Dia terpaku melihat penampilan istrinya yang tak pernah membuat dia bosan untuk selalu memandanginya.

"Kayaknya kita nggak jadi pergi, deh." Zidan berdiri lalu menghampiri sang istri yang mengerutkan keningnya karena ucapannya.

"Kenapa? Padahal aku udah selesai bersiap," tanya Deswita sambil mengerucutkan bibir, layaknya anak kecil yang gagal mendapatkan mainan kesukaannya.

Zidan terkekeh lalu mendekap tubuh sang istri. "Karena kamu terlalu cantik malam ini, Sayang. Dan aku nggak mau ada pria lain yang memandangi kecantikanmu ini."

"Kamu bisa aja, sih, Mas," ucap Deswita tersipu malu.

"Jadi gimana? Nggak jadi pergi kita?" tanya Deswita.

"Jadi, dong. Yuk, berangkat." Zidan menggandeng tangan Deswita dan berlalu pergi untuk makan malam di luar.

Sementara dari balik jendela kamar yang mengarah ke luar, Mama Riana menatap kepergian Zidan dan Deswita penuh kebencian.

"Bersenang-senanglah dulu, sebelum nantinya kamu menangis darah karena Zidan akan meninggalkanmu dan membuangmu seperti sampah," gumam Mama Riana lalu menarik gorden dan menutupi jendela kamar.

Di sebuah restoran, Zidan dan Deswita sedang menikmati hidangan yang sudah tersaji. Sesekali Zidan menyuapi sang istri dengan makanan di piringnya.

"Hai, Zi." Sapaan seorang wanita mengalihkan perhatian Zidan dan Deswita. Di dekat mereka sudah berdiri seorang wanita cantik dengan penampilan sedikit terbuka.

"Silvia," gumam Zidan.

"Kamu di sini juga? Tau gitu aku ikut gabung aja tadi." Dengan sikap angkuh tanpa menghiraukan keberadaan Deswita, Silvia menarik kursi di dekat Zidan lalu duduk.

Zidan sendiri merasa tak nyaman dengan kedatangan Silvia, dia bahkan melirik sang istri yang terdiam menunduk sambil menikmati makanan di piring.

"Maaf, Sil, kita harus pergi dulu," pamit Zidan dan beranjak berdiri.

"Mau ke mana, Zi? Makanan kamu aja masih banyak," tanya Silvia mencoba menghalangi Zidan yang ingin pergi.

"Ada urusan yang harus aku selesaikan dengan istriku." Usai mengatakan itu, Zidan menarik tangan Deswita agar berdiri dan melangkah pergi mengikutinya.

Sementara Silvia terlihat sangat kesal karena diabaikan oleh Zidan.

"Awas aja kamu, Zi. Aku bakal bikin kamu bertekuk lutut di hadapanku," gumam Silvia lalu beranjak pergi dari restoran itu.

**

Di dalam mobil, Deswita tak berani bersuara karena sang suami yang terlihat sedang menahan amarah. Mobil yang dikendarai Zidan memasuki area hotel berbintang.

"Mas, kenapa ke sini?" tanya Deswita.

"Malam ini kita nginap di sini, anggap aja bulan madu," jawab Zidan seraya tersenyum.

"Tapi 'kan kita nggak pamit dulu kalau mau menginap, nanti kalau mama atau papa khawatir gimana?"

Zidan menggenggam lembut tangan sang istri. "Kamu tenang aja, Ta. Mas udah kirim pesan ke papa kalau malam ini kita menginap di hotel."

Akhirnya, Deswita mengangguk dan mengikuti kemauan sang suami. Dia tahu jika menginap di hotel hanyalah alasan Zidan untuk menghindari cecaran sang mama sekaligus menenangkan diri karena kehadiran Silvia tadi.

Setelah melakukan check in dan menerima kunci, Zidan dan Deswita bergegas menuju kamar yang dituju sesuai nomor yang ada di kunci tersebut.

Setibanya di kamar, Zidan langsung menutup pintu dan menguncinya. Dia berjalan mendekati sang istri yang berdiri di dekat jendela, melihat lalu lalang kendaraan.

"Mau main berapa kali malam ini?" tanya Zidan seraya melingkarkan kedua tangannya di perut Deswita.

"Main apa?" Deswita pura-pura tak tahu maksud perkataan suaminya.

Zidan melepas pelukannya kemudian membalikkan tubuh Deswita agar menghadapnya. "Ta, jangan tinggalin aku. Berjanjilah, apa pun yang terjadi tetaplah di sampingku dan percaya padaku."

Deswita menatap sang suami yang sudah berlinang air mata, dia pun segera mengusap pipi sang suami. "Bukankah, kita sudah pernah berjanji untuk selalu bertahan meski.badai menerjang? Lalu, apa lagi yang Mas khawatirkan? Aku akan tetap bersamamu, menemanimu berjuang sampai kita bisa menemukan apa itu kebahagiaan yang sesungguhnya."

Zidan merengkuh tubuh Deswita dalam pelukannya, tak hentinya dia menciumi puncak kepala sang istri yang terbalut hijab.

***

Keesokan harinya, Zidan dan Deswita sudah berada di rumah sehabis subuh. Pagi ini Zidan harus ke kantor karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari itu juga.

Deswita lantas menyiapkan keperluan sang suami seperti kemeja, jas, dasi, dan celana. Selesai menyiapkan pakaian yang akan dikenakan suaminya, dia pun beranjak keluar dari kamar menuju dapur untuk membuatkan segelas susu hangat dan sepiring roti yang sudah dioles selai.

"Enak bener hidup kamu, ya. Alasan makan malam, nggak tahunya menghabiskan uang putraku hanya untuk menginap di hotel mewah. Jadi istri itu yang berguna, dong. Jangan bisanya cuma menghabiskan dan menghamburkan uang suami," hina Mama Riana yang masuk dapur dan melihat Deswita sedang membawa nampan yang berisi segelas susu dan sepiring roti.

"Wita nggak pernah minta untuk menginap di hotel, Ma. Apalagi sampai menghabiskan uang," ucap Deswita membela diri atas tuduhan dan hinaan ibu mertuanya.

"Halah, orang kampungan kayak kamu gini mana mungkin bisa dipercaya. Pantasnya kamu itu jadi pembantu, bukan nyonya di keluarga ini."

Puas melontarkan kalimat yang penuh dengan hinaan, Mama Riana langsung pergi meninggalkan Deswita yang mencoba menahan air mata agar tak jatuh.

Hinaan ibu mertuanya kali ini sudah sangat melukai hati dan harga dirinya. Dia memang berasal dari keluarga biasa, tetapi dia tak serakus dan setamak itu akan harta.

Deswita berpikir jika setelah menikah dengan Zidan, dia akan hidup bahagia dengan keluarga barunya. Namun, harapan tinggallah harapan sebab sang ibu mertua amat membencinya hingga detik ini.

Ingin rasanya Deswita menyerah, tetapi dia teringat dengan janji yang telah terucap bahwa tak akan meninggalkan sang suami apa pun yang terjadi.

"Sarapan dulu, Mas." Deswita meletakkan nampan yang dibawanya tadi di atas meja, sedangkan Zidan masih sibuk memasang dasi.

Selesai memasang dasi, Zidan langsung menghampiri sang istri yang duduk di sofa.

"Kamu habis nangis, Ta?" tanya Zidan saat menyadari mata Deswita terlihat memerah seperti habis menangis.

"Enggak, Mas. Tadi cuma kelilipan aja, kok," elak Deswita agar sang suami tak bertanya lebih.

Zidan pun mempercayai ucapan istrinya, meski dalam hati dia yakin telah terjadi sesuatu pada sang istri. Dia segera menyantap roti yang dibawa Deswita hingga habis lalu meneguk segelas susu hangat.

Setelah selesai sarapan, Zidan berpamitan berangkat ke kantor dan akan pulang saat makan siang nanti. Agar Deswita tak perlu mengantar makanan ke kantor.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!