bab 5.

Ku langkahkan kakiku ke depan untuk membuka pintu rumah sebelum orang yang ada di luar nekat mendobraknya.

"Nara, berhenti...jangan buka pintu nya." Cegah kakakku panik.

Aku tidak mengindahkan peringatannya, dari pada pintu rumah ibuku di dobrak lebih baik aku buka saja pintunya.

Aku yang hendak memutar anak kunci, ku lihat kakak ku segera lari ke dalam kamar.

"Ada apa dengan kakak ku, aneh." Pikir ku tidak habis pikir dengan kelakuan nya.

Begitu pintu terbuka, mataku langsung tertuju pada seorang perempuan yang berdiri di depan pintu dengan penampilan yang sangat mencolok. Rambutnya diwarnai dengan beberapa warna, dan make-up tebal melapisi wajahnya. Ia tampak angkuh dengan tatapan matanya yang tajam dan bibir yang terkatup erat. Di belakangnya, dua pria berbadan kekar dan wajah sangar siap mendukung setiap perintah perempuan tersebut.

Sebelum aku sempat membuka mulut untuk menanyakan maksud kedatangan mereka, perempuan nyentrik itu melontarkan pertanyaan dengan suara keras dan nada yang tinggi. "Mana Tika, kakak mu? Suruh dia keluar!" ujarnya dengan nada penuh amarah dan ketidak-sabaran.

Aku merasa terkejut dengan tiba-tiba kedatangan mereka dan merasa tidak enak dengan situasi yang terjadi. Namun, demi menjaga situasi agar tidak semakin memburuk, aku mencoba menjawab dengan tenang. "Tika sedang tidak ada di rumah, Mbak. Ada yang bisa saya sampaikan?" tanyaku dengan suara lembut, berusaha untuk tidak memancing emosi perempuan tersebut.

Namun, tampaknya perempuan itu tidak puas dengan jawabanku. Ia menghentakkan kakinya, lalu mendekatiku dengan langkah cepat dan tegas. Dengan jarak yang sangat dekat, ia menatapku dengan tatapan tajam dan penuh ancaman. "Jangan berbohong padaku! Aku tahu dia ada di sini! Sekarang suruh dia keluar, atau akan kuambil paksa!" bentaknya dengan suara keras dan tegas.

Aku merasa terintimidasi dengan sikap perempuan nyentrik itu, namun aku tetap berusaha menjaga ketenangan dan mencari jalan keluar dari situasi ini. Aku tahu Tika sedang berada di kamarnya, dan aku harus melindunginya dari perempuan ini yang nampaknya memiliki niat buruk terhadapnya.

"Cepat suruh dia keluar, atau ke dua anak buahku yang akan bertindak." Ucap perempuan itu lagi.

"Ibu, apa yang terjadi?" tanya ibu ku dengan wajah bingung, melihat Jeng Siska yang tiba-tiba muncul dengan sikap angkuh dan nada bicara yang keras. Jeng Siska, seorang perempuan berpenampilan nyentrik, langsung menunjuk ke arah kamar Tika, kakakku.

"Aku tahu Tika ada di dalam, suruh dia keluar jeng sebelum anak buahku berbuat nekat," ancam Jeng Siska dengan wajah yang tak ramah, membuat suasana menjadi tegang.

Ibu mengcode kepada ku agar aku segera masuk ke dalam kamar, sepertinya ibu tidak ingin aku mendengar percakapan antara jeng Siska dan ibu. Walaupun sebenarnya aku tidak rela meninggalkan ruang depan, aku terpaksa masuk ke dalam kamar.

Tapi, dari sini aku masih bisa mendengar percakapan  percakapan mereka.

Ibu mencoba menenangkan situasi dengan mengajak Jeng Siska duduk di ruang tamu. "Sabar dulu jeng, ayo duduk dulu kita bicarain ini baik-baik jeng," ajak ibuku dengan nada lembut, berusaha meredam emosi Jeng Siska.

Aku yang bersembunyi di balik pintu kamar, penasaran dengan alasan Jeng Siska mencari kak Tika. Dari balik pintu, aku bisa melihat ibu dan Jeng Siska duduk berhadapan, berbicara dengan serius. Namun, suara mereka terlalu rendah, sehingga aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

Tiba-tiba, pintu kamar Tika terbuka dan kakakku itu keluar dengan wajah pucat pasi. "Ada apa ini, Jeng Siska? Kenapa kamu mencari aku?" tanya Tika dengan nada ketakutan, berusaha menyembunyikan rasa cemas yang muncul di wajahnya.

Jeng Siska menatap Tika dengan tajam, lalu bangkit dari duduknya dan mendekati kakakku. "Kamu tahu persis apa yang kamu perbuat, Tika. Sekarang waktunya kamu menanggung akibatnya," ucap Jeng Siska dengan nada dingin, membuat seluruh ruangan terasa semakin mencekam.

Aku, yang masih bersembunyi, merasa takut melihat Jeng Siska yang begitu menakutkan. Namun, rasa penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi antara kak Tika dan Jeng Siska membuatku tetap ingin mengintip dan menyaksikan adegan tersebut.

Tersembunyi di balik pintu kamar ku, aku terkejut mendengar suara keras jeng Siska dari ruang tamu. Wajahnya tampak merah padam, matanya melotot tajam ke arah kak Tika yang berdiri di depannya dengan tubuh gemetar.

"Kapan kamu akan bayar hutang kamu Tik, setiap saya datang ke rumah kamu, kamu selalu bersembunyi." Sepertinya jeng Siska itu kesal. Aku baru tahu kalau kakakku rupanya punya hutang ke perempuan itu. Tapi hutang itu buat apa, bukankah kata kakakku suaminya gajinya besar?

Kak Tika menundukkan kepalanya, rambut panjangnya menutupi wajahnya yang pucat. "Maaf jeng, saya belum punya uangnya. Beri saya waktu lagi," ucapnya dengan suara lirih dan bibir yang bergetar.

Tangan jeng Siska mengepal, kemarahan terpancar dari setiap inci tubuhnya. "Kamu pikir saya punya waktu untuk menunggu? Saya sudah cukup sabar dengan kelakuanmu ini. Kalau minggu depan kamu belum juga membayar, saya akan datang lagi, dan kali ini saya tidak akan segan-segan untuk menagih hutangmu di depan suamimu!" ancamnya dengan nada menggertak.

Aku merasa iba melihat kak Tika yang seperti itu. Keringat dingin mengucur deras dari keningku, jantungku berdebar kencang, takut jika jeng Siska mengetahui keberadaanku di balik pintu kamar ini. Namun, aku juga penasaran mengapa kakakku berhutang pada perempuan seperti jeng Siska dan untuk apa hutang tersebut digunakan.

Ruang tamu terasa hening dan sunyi, seakan jeng Siska dan anak buahnya sudah pergi meninggalkan rumah itu. Di pojok ruangan, ibu dan kakakku, Tika, tampak serius dalam pembicaraan mengenai hutang yang menimpa Tika.

Suasana menjadi semakin tegang ketika ibu menatap tajam ke arah Tika, "Uang itu buat apa sih Tik, sampai kamu berbuat hutang pada rentenir yang bernama Siska itu?" desak Ibu.

Kak Tika tampak mengepalkan tangannya, menahan emosi. "Udahlah Ibu, nggak perlu tahu. Tika berhutang buat apa," sahutnya enggan untuk mengungkapkan alasannya berhutang.

Ibu terlihat cemas, namun ia berusaha untuk menenangkan hatinya.

"Lebih baik Ibu bantu bayar utangku, daripada ibu buat aku pusing." Ucap kakak ku tidak masuk akal.

Wajah ibu berubah, seolah ia merasa terbebani oleh permintaan anak ke duanya. Ibu menghela napas panjang, menatap Tika dengan mata berkaca-kaca.

"Ibu, dapat uang dari mana Tik. Ini aja ibu bingung mau buat nikahan adik mu aja duet dari mana, pensiunan bapak mu aja udah habis buat bayar arisan ibu." Ucap Ibu ku terduduk lesu di ruang keluarga.

Sebenarnya aku kasian melihat ibu yang kebingungan untuk biaya pernikahan Hani, karena gengsi mereka menginginkan pernikahan yang mewah.

"Bantu aku dong Bu, aku juga kan anak ibu. Jangan Hani saja yang di pikirin." Ucap kakak ku dengan ketua.

"Gak bisa enak saja mau minta uang ibu buat bayar utang mbak Tika,

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!