bab 2

"Bu...., ibu....!" Panggil Hani adik bungsu ku, ia berteriak memanggil ibu seperti rumah ini hutan saja.

"Mbak, di mana ibu?" Tanya adik ku yang sudah berdiri di ambang pintu dapur.

"Ibu ada di kamarnya Han," jawabku sambil menunjuk kamar ibu.

Hani melengos dan bergegas ke kamar ibu, memang seperti itu lah adik bungsu ku.

Tok.... Tok....

"Ibu, Ibu....!" Panggil Hani sambil mengetuk pintu kamar ibu.

Cklek.

"Bu, mana uang seragamnya?" Todong Hani langsung saat melihat sang ibu yang sudah berdiri di depan pintu.

"Cek," ibu berdecak dengan sebal sambil menepis tangan Hani yang menodongnya.

"Mana uang seragam nya bu, buruan Hani sama mas Pras mau ambil baju seragamnya." Desak Hani yang melihat ibu nya malah melewati begitu saja.

Hani berdecak dengan sebal, ia pun lalu mengikuti kemana ibunya pergi.

"Nara,"

Aku yang tengah membuat susu buat Tiara terpaksa menghentikan gerakan tanganku yang sedang menuang air ke dalam gelas berisi susu, ku lirik ibuku yang sudah berdiri di depan pintu dapur dan di belakangnya ada Hani.

"Ada apa Bu?" Tanya ku.

"Itu Hani mau ambil baju seragam buat kami," ibu menjeda ucapannya.

Sebenarnya aku tahu maksud ibu apa, namun ku pura-pura saja tidak tahu apa maksud dari ibu ku.

"Terus, apa hubungan nya seragam itu dengan Nara bu ?" Tanya ku yang pura-pura tidak tahu.

"Kok masih juga nanya apa hubungan nya dengan kamu, ya tentu saja ada hubungan nya." Sahut ibu ku dengan kesal.

Ku tatap ibu dengan dahi yang mengernyit, ku pura-pura saja tidak tahu apa hubungan seragam itu dengan ku.

"Ma, susu Tiara mana? Ara sudah haus ni ma."

Ku lihat Tiara yang baru masuk ke dapur.

Ku abaikan ibu dan Hani yang masih berdiri di depan pintu dapur, ku lanjut kan kembali membuat susu untuk putri ku. Setelah itu aku menyerahkan susu itu ke tangan Tiara, Tiara tersenyum menerima susu yang baru saja ku sodorkan ke arahnya.

"Mana uangnya Nara, adik mu mau ambil seragam." pinta ibu ku setelah cukup lama terdiam.

"Uang apa Bu?" Tanya Nara.

"Perasaan Nara tidak pegang uang milik Hani atau milik Ibu." Lanjutku lagi pura-pura berpikir.

"Siapa juga yang bilang duit ibu atau duit Hani," ujar Ibu yang sudah mulai jengah.

"Lalu uang siapa yang ibu maksud?" tanya ku masih terlihat sesantai mungkin.

"Udahlah mbak, buruan mana uang nya. Mas Pras udah nungguin sejak tadi tu." Hani yang sejak tadi diam saja akhirnya buka suara juga.

"Embak gak ada duit Hani," Ucap ku berbohong.

Enak saja mereka mau memakai uang ku untuk membeli baju seragam, sedangkan aku dan keluargaku tak akan di kasih baju seragam itu.

"Bu gimana ini, mas Pras sudah nungguin sejak tadi." Rengek Hani.

Ku abaikan mereka, ku lanjutkan pekerjaan ku yang sempat tertunda setelah membuat susu untuk putri ku.

"Ayo lah Nara, kamu pasti ada uang." Bujuk Ibu ku.

"Nara dapat uang dari mana bu?" Tanya ku sambil menyunggingkan senyum tipis.

Tak ingat kah ibu, ke dua kakak ku dan adikku yang menghina suami ku seorang pengangguran. Dengan tidak tahu malu nya ibu merengek minta uang pada ku.

"Apa ibu sudah lupa jika suami Nara pengangguran," ucap ku sehingga ibu tidak bisa berkata-kata lagi.

****

"Assalamualaikum ," suami ku mengucapkan salam saat baru pertama masuk ke dalam rumah.

"Waalaikumsalam mas," balas ku sambil mengambil tangan suami ku untuk aku cium punggung tangan nya.

"Bawa apa itu mas?" Tanya ku yang melihat suamiku membawa kantong kresek yang entah apa isinya.

"Oh ini tadi dari teman mas, dek." Jawab suamiku sambil menyerahkan bungkusan kresek yang ada di tangan nya ke tangan ku.

Aku yang penasaran langsung membuka kantong kresek berwarna hitam itu, mata ku melotot saat melihat isinya. Sebuah boneka yang selama ini Tiara inginkan, dan hanya ada di jual di kota. Tiara menginginkan boneka itu sejak lama, dan baru sekarang Tiara bisa memiliki boneka itu.

Saat bermain Tiara selalu memandangi boneka milik kakak sepupunya, Eka tidak memperbolehkan Tiara untuk memegang boneka itu.

"Mas, pasti Tiara senang ini," ucap ku tersenyum menatap suami ku.

"Ara nya sekarang kemana dek?" Tanya suamiku.

"Bawa apa kamu Rud?" Tanya ibu ku yang baru keluar dari dalam kamar.

"Bawa boneka buat Tiara, bu." Bukan mas Rudi yang menjawab, melainkan aku yang menjawab nya.

Tiara yang mendengar jawaban ku, langsung berlari mendekat ke arah kami.

"Bu, Tiara dengar bapak beliin boneka buat Ara ya?" Tanya Tiara antusias.

"Iya sayang, itu boneka buat Tiara." Ucap mas Rudi sambil mengeluarkan boneka dari dalam plastik.

"Ini boneka yang Ara mau pak," ucap Tiara sambil mendekap erat boneka di dalam pelukan nya.

"Dapat dari mana kamu Rud, uang buat beli boneka mahal itu?" Tanya ibu ku dengan tatapan menyelidiknya.

"Di kasih teman bu, katanya hadiah buat Tiara." Jawab Mas Rudi santai.

"Wajar saja sih bu di kasih sama temannya, mana mungkin si Rudi bisa beli boneka yang harganya mencapai ratusan ribu. Si Rudi kan pengangguran, bedalah sama suamiku yang pegawai." Sindir mbak Tika yang baru masuk ke dalam ruang tengah.

Ku lihat mas Rudi menanggapinya dengan tersenyum, mas Rudi sama sekali tidak tersinggung dengan sindiran dari kakak ku itu.

****

Malam harinya tepat nya jam 7, semua keluarga ku di buat sibuk. Terutama diriku yang sibuk membuat minuman, beruntung bukde dan anak nya membantu ku. Dan jangan tanyakan ke dua kakak ku, mana mau mereka menginjakkan kaki nya di dapur. Terlebih kakak ipar ku, yang takut kukunya rusak jika berkutat dengan dapur.

Hani cemberut karna keluarga nya dan keluarga calon suaminya tidak jadi memakai seragam yang sama.

"Perlu bantuan dek?" Tanya mas Rudi yang melihat ku sibuk di dapur.

"Gak usah mas, sebentar lagi juga selesai." Tolak ku.

"Dok, kue ini taroh mana?" Tanya bukde Ratna sambil memegang kue yang masih separo di atas loyang.

"Tarok sana saja bukde." Tunjuk ku pada rak piring yang ada di pojok ruangan.

Setelah selesai kami semua keluar dari dapur, niat kami ingin melihat pertunangan adik ku.

Samar-samar kami mendengar keributan di ruang tengah, kami saling berpandangan. Menerka-nerka apa yang terjadi sebenarnya, sehingga membuat mereka ribut-ribut.

"Ada apa ya bukde?" Tanya ku yang di balas gelengan kepala sang bukde.

"Ayo Nara, kita lihat apa yang terjadi." Ajak Bukde.

Aku dan Bukde melangkah ke ruang tamu, Aku dan Bukde terkejut saat melihat apa yang terjadi di ruang tamu.

Beruntung keluarga calon suami adik ku masih di dalam perjalanan, jika tidak pasti keluarga calon suami adik ku tahu jika kami kedatangan rentenir.

Ku lihat ibu ku duduk di kursi sambil memijat pelipis nya, Entah apa yang di bicarakan suamiku pada ke dua orang berbadan kekar itu sehingga ke dua orang itu segera pergi.

Saat aku ingin bertanya pada suamiku, niatku terhenti saat melihat rombongan keluarga calon suami adik ku telah tiba.

Kami semua menyambutnya dan melupakan kejadian tadi untuk sementara, walaupun rasa penasaran ku lebih besar kenapa ke dua pria berbadan kekar itu datang ke rumah di saat waktu yang tidak tepat.

Hani keluar dari dalam kamar bersama kakak ipar ku, Hani melempar senyum kepada semua orang yang ada di ruangan itu.

Hani duduk di kursi di apit oleh ibu dan kakak laki-laki ku, di depan nya calon suaminya yang duduk di apit oleh ke dua orang tuanya.

"Nara cepat ambilkan minum untuk keluarga calon suami adikmu," bisik ibu ku.

"Baik bu,"

"Mau kemana dek?" Tanya suamiku yang melihat aku ingin berdiri dari duduk ku.

"Mau ambil minum mas," jawab ku.

Ku langkahkan kaki menuju dapur, Aku mengambil nampan dan menata minuman di atas nampan itu.

"Mbak,"

Aku terlonjak kaget saat seseorang memanggil ku, beruntung minuman yang ada di tangan ku tidak tumpah.

Ku lihat seorang pria muda sudah berdiri di belakang ku, ku letakkan kembali nampan yang sudah tertata minuman ke atas meja kembali.

"Iya, ada yang bisa saya bantu?" Tanya ku

"Kamar mandi nya di mana ya mbak?" Tanya pria muda itu.

"Kamar mandi di sebelah sana," Tunjuk ku pada ruangan kecil yang ada di ujung.

"Terima kasih mbak,"

Ku balas menganggukkan kepalaku, aku pun bergegas melanjutkan langkah ku membawa minuman.

Kuletakkan minuman di atas meja, tidak lama kemudian ku lihat pria yang izin ke toilet sudah kembali bergabung dengan keluarganya lagi.

Acara lamaran pun di mulai, ku lihat ibu nya Pras mengeluarkan kotak cincin berwarna merah dari tas tangan yang di bawanya.

Hani tersenyum saat ibu nya Pras membuka kotak cincin itu, ibu nya Pras lalu mengambil dari kotak itu dan memakaikan di jari manis adik ku itu.

Aku memicingkan mataku saat melihat cincin yang baru saja di pake oleh adikku, cincin itu berbeda dengan cincin yang aku pake .

"Bu, besan surat cincin nya mana ya?" Celetuk ibu ku yang tiba-tiba menanyakan surat dari cincin itu.

"Aduh maaf besan, tadi karna terburu-buru surat nya tertinggal di rumah." Jawab Ibu nya Pras.

"Besok biar Pras yang memberikan surat itu pada Hani." Lanjutnya lagi.

Setelah mendengar penjelasan dari ibunya Pras, ibu ku tidak lagi mempermasalahkan soal surat emas itu.

Acara lamaran pun akhirnya selesai, dan kesepakatan ke dua belah pihak acara pernikahan dua bulan lagi.

Aku dan Bukde pun pamit ke belakang untuk menyuguhkan makanan, percuma juga minta bantuan pada ke dua kakak ku. Pasti mereka ada saja alasan nya, mereka cuma asik dengan ponsel masing-masing.

Setelah selesai, ku panggil mereka semua untuk makan.

Satu persatu dari mereka mengambil makanan yang sudah terhidang di atas meja, tanpa rasa malu dan sungkan mereka mengambil lauk yang banyak.

"Ndok lihat itu," ucap Bukde menyikut lengan ku.

"Ada apa bukde?" tanya ku sambil menatap Bukde.

"Lihatlah itu dok, mereka tidak tahu malu." Bukde menunjuk dengan dagunya.

Ku alihkan pandangan ku menatap arah tunduk Bukde, aku terkejut di buatnya. Ku lihat ibu serta saudaranya Pras memasukkan lauk yang ada di piring ke dalam plastik, setelah itu memasukkan lauk itu ke dalam tas.

"Biarin aja Bukde," sahut ku pura-pura tidak melihat.

"Itu hampir satu piring loe ndok, daging rendang nya di pindah kan ke dalam plastik." Bukde ku itu geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan kelakuan orang tua Pras.

"Wajar saja lah Bukde, di kampung selalu ada yang bawa pulang jatah nya pas kondangan." Jawab ku santai yang memang benar apa adanya.

"Benar sih dok, palingan yang di bawa cuma satu atau dua biji. gak hampir satu piring di bawa pulang dok."

"Sudah lah Bukde, kita pura-pura saja tidak melihat." Sahut ku dan menghentikan percakapan ini.

Setelah acara makan-makan nya selesai, keluarga dari Pras pamit pulang.

****

Setelah keluarga Pras pulang, ibu langsung ke dapur. Saat itu aku bersama bukde sedang mencuci piring kotor, cuma aku dan bukde saja yang menyelesaikan pekerjaan di dapur.

"Nara, dimana sisa daging nya ?" Tanya ibu ku celingukan di depan lemari.

"Sudah habis bu, la ini tinggal piring dan mangkok ya saja." Jawab ku sambil menunjuk pring dan mangkok bekas daging rendang.

"Masa sudah habis Nara, pasti kamu dan bukde pasti yang sudah menyembunyikan daging itu." Tuduh Hani yang tiba-tiba berdiri di depan pintu dapur.

Astaghfirullah, Aku dan Bukde saling berpandangan. Aku cuma bisa mengelus dada atas tuduhan dari adik ku itu, aku cuma tidak enak pada bukde ku yang di tuduh oleh Hani.

"Eh, Hani. Walaupun bukde miskin, bukde tidak mungkin menyembunyikan daging itu. Asal kau tahu saja, daging rendang itu di bawa oleh keluarga calon suamimu." Ucap bukde sambil berapi-api mengeluarkan uneg-uneg nya.

"Gak usah fitnah keluarga calon suami ku bukde, mereka tiap hari makan enak. Beda jauh dengan bukde yang bisa di hitung menggunakan jari kapan terakhir kali bukde makan enak." Hina Hani sambil berkacak pinggang.

"Mbak Ratna kamu sembunyikan di mana sisa daging rendang itu?" tanya ibu sambil matanya melotot dan berkacak pinggang.

"Ya allah Ratmi, udah berapa kali aku bilang. Aku tidak menyembunyikan daging rendang itu." Bela budhe Ratna.

"Pasti, bukde sembunyiin daging itu di rumah nya Bu." Ucap Hani mengompori.

Dada bukde Ratna terlihat kembang kempis, Bukde pasti sakit hati dengan tuduhan yang di lontarkan ibu dan adik ku itu.

"Sabar bukde," ku elus lengan bukde agar emosinya tidak meledak.

"Bu Nara saksinya kalau bukde tidak mengambil dan menyembunyikan daging itu, Nara juga lihat keluarga Pras yang mengambil daging itu bu." Ucap ku membela bukde Siti.

"Sudah bu, masalah daging saja di permasalahkan." Lerai suami ku yang tiba-tiba masuk ke dalam dapur.

"Malu bu, di dengar sama tetangga." Lanjut mas Rudi lagi sambil menunjuk luar rumah.

Hani melengos, gadis itu lalu pergi begitu saja dari dapur.

"Maafin keluarga Nara bukde," ucap ku menatap bukde Siti dengan tatapan menyesal.

"Kamu gak salah ndok, mereka itu yang kebangetan." Jengkel bukde Siti.

Awalnya aku menyuruh bukde untuk pulang saja, lagian suasana hati bukde sedang tidak tidak enak.

Namun bukde yang kasian padaku, tetap ingin membantu ku menyelesaikan cucian piring yang menumpuk itu.

Akhirnya selesai juga pekerjaan ku yang di bantu oleh Bukde, Setelah itu bukde pun pamit pulang.

"Bukde, tunggu." Suruh ku menghentikan langkah bukde.

"Ada apa Nara?" Tanya bukde menatap ku.

"Ini bukde, ada sedikit kue." Ku angsurkan kresek berwarna hitam berisi kue.

Aku sengaja menyisikan kue untuk bukde ku itu.

Awalnya bukde ku menolak, namun atas bujukan dari ku akhirnya bukde pun menerima nya.

****

"Bukde sudah pulang dek?" Tanya mas Rudi saat aku baru saja masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

"Sudah mas, baru saja." Jawab ku sambil menghampiri suamiku yang tengah duduk di atas ranjang.

"Mas aku mau tanya?"

"Tanya apa dek?" Tanya Mas Rudi menatap wajah ku.

"Tadi siang dua laki-laki itu siapa mas?" Tanya ku kepo.

"Dua laki-laki itu rentenir dek," jawab mas Rudi yang membuat aku terkejut.

"Rentenir mas?" Tanya ku memastikan kalau aku tidak salah dengar.

Mas Rudi cuma mengangguk kan kepalanya.

Ternyata siang tadi rumah kami kedatangan rentenir, tapi yang menjadi pertanyaan ku siapa yang sudah meminjam ke rentenir.

"Siapa yang berurusan dengan rentenir mas?" Tanya ku penasaran.

"Mas Aldi dek," jawab mas Rudi.

"Mas Aldi, suami nya mbak Tika?" Tanya ku yang tidak menyangka jika suami mbak Tika berurusan dengan rentenir.

"Mas bilang apa pada mereka, sehingga mereka cepat pergi sebelum keluarga Pras datang?" Tanya ku lagi-lagi penasaran.

"Mas cuma bilang pada mereka untuk meminta waktu, dan mas juga bilang jika di rumah akan ada acara." Jawab suami ku.

"Mas yakin bilang begitu?" Tanya ku yang tidak percaya sepenuhnya ucapan suamiku.

Karna setau ku, Rentenir itu akan pergi jika sudah mendapat apa yang mereka inginkan.

"Iya sayang, mana mungkin mas bohong." Jawab suamiku sambil memegang dagu ku.

Saat suami ku memajukan wajah nya ke hadapan ku, reflek saja aku memejamkan mata.

Belum sempat suamiku melabuhkan ciuman nya, putri kecil ku terlebih dahulu membuka pintu.

"Ayah, bunda lagi apa?" Tanya putri ku polos.

Sontak saja membuat kami salah tingkah, saat kepergok oleh putri ku sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!