Bee terkejut saat mendapati dirinya terbangun di tengah hutan. Dia tertidur dalam posisi duduk, tubuhnya bersandar pada sebuah batu besar. Bingung dengan keadaan tersebut, Bee mencoba mengingat bagaimana dia bisa berada di sini. Hal terakhir yang dia ingat adalah berada di taman dandelion di kotanya. Kini, dia berada di hutan yang asing.
Bee terdiam sejenak, mencoba mengingat sesuatu sambil memandangi sekelilingnya hingga matanya tertuju pada sebuah tebing yang tidak jauh dari tempatnya terbangun. Dengan perlahan, dia melangkah mendekati tebing yang tinggi, dan mata Bee membelalak saat melihat pemandangan yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Di kejauhan, terlihat tembok besar yang mengelilingi banyak bangunan, termasuk sebuah kastil megah layaknya istana dalam dongeng. Kastil tersebut terletak tepat di tengah tembok besar, sementara sungai indah mengalir di sekelilingnya. Tembok besar itu terhubung dengan tembok lainnya yang berbentuk lorong menuju wilayah dalam tembok.
Rasa penasaran Bee belum sempat memuaskan ketika dia terkejut mendengar teriakan dari arah belakangnya.
“Mata-mata!! Kami menemukan mata-mata!!” teriak seorang pria berpakaian zirah kuno.
“Syutttt, dduuuarr!” Seorang prajurit menembakkan meriam bambu kecil sebagai sinyal.
Bee panik dan hendak berlari, tetapi seorang prajurit lain langsung menodongkan pedangnya ke wajah Bee. Tubuh Bee bergetar, tidak mampu melawan.
“Saya lihat, dia tidak seperti mata-mata, dia hanya gadis kecil yang tersesat di hutan ini,” kata salah satu prajurit mencoba membela Bee.
Bee segera menganggukkan kepalanya, berusaha terlihat polos dan membenarkan perkataan prajurit tersebut. Namun, saat memandangi wajah prajurit itu, Bee merasa tidak asing dengan sosoknya.
“Tidak! Siapapun yang berada di luar tembok adalah mata-mata. Lihat saja pakaiannya, sangat berbeda dengan kita,” sahut prajurit lain.
Bee kembali panik dan menatap wajah prajurit yang membelanya dengan penuh harap. Mereka saling berpandangan, tetapi prajurit itu segera pergi, tidak memiliki bukti cukup untuk membela Bee lebih lanjut.
“Ikat dia, seret, dan satukan dengan tawanan lain!” perintah salah satu prajurit yang tampaknya adalah komandan regu.
Bee mencoba melawan, tetapi tenaganya tidak sebanding dengan beberapa prajurit yang mengelilinginya. Tangan Bee diikat dan dia dibawa oleh prajurit berpakaian zirah.
Mereka tiba di sebuah benteng yang corak dan warnanya sama dengan tembok melingkar yang Bee lihat sebelumnya. Beberapa prajurit berdiri menjaga benteng. Rombongan Bee berjalan menyusuri tanah berpasir di dalam benteng.
“Kami menemukan satu lagi mata-mata, tuan,” lapor salah satu prajurit sambil mendorong tubuh Bee hingga terjatuh dekat seorang pria berbaju zirah keemasan. Dia adalah Jenderal Cosmos, seorang jenderal yang sangat disegani di kerajaan Geranium, yang berada di dalam tembok besar.
“Kumpulkan dia dengan yang lainnya, besok pagi kita berangkat ke istana,” perintah Jenderal Cosmos.
“Baik, tuan!” jawab seluruh pasukan.
Bee diseret dan digabungkan dengan para tawanan perempuan yang lain di luar benteng. Dia dimasukkan ke dalam sekat bambu yang mirip kandang hewan ternak. Di dalam sekat tersebut, terdapat tiga perempuan lain yang sudah kotor dan lusuh, tampak seperti telah berhari-hari di sana.
“Masuk!!” prajurit yang mengantar Bee mendorongnya dengan kasar, membuat Bee jatuh dan dagunya terluka karena membentur tanah. Tiga gadis di dalam sekat hanya diam, dengan dua dari mereka menatap sinis ke arah Bee. Setelah prajurit itu pergi, Bee tak kuasa menahan tangis. Darah mengalir dari dagunya, dan dia merasa sangat lelah dan bingung dengan situasi ini.
Malam semakin larut, dan para tawanan terlelap dalam tidur mereka, seolah kekhawatiran lenyap dalam mimpi malam. Namun, tidak bagi Bee. Dia terbangun dengan badan lemas akibat kehilangan banyak darah, kelaparan, dan dehidrasi. Langkah kaki semakin dekat. Bee tersadar seseorang mendekati sekatnya.
Dalam kegelapan malam, seseorang berpakaian serba hitam dengan tudung dan cadar mendekat. Bee tidak terkejut atau takut; tubuhnya yang lemah sudah tidak memiliki kegelisahan. Perlahan, wanita itu membuka cadarnya dan mengeluarkan sepotong roti gandum serta sebotol air putih.
“Minumlah dulu, setelah itu makan sedikit roti ini,” kata wanita itu lembut. Bee tidak bergerak, terus memperhatikan wanita tersebut. Wajahnya tidak jelas karena gelap, tetapi dari suaranya, Bee bisa menduga bahwa wanita itu adalah seorang perempuan.
“Jangan takut, aku tidak akan melukaimu. Biar aku bantu,” ujar wanita itu dengan suara setengah berbisik, mencoba membujuk Bee dan menyuapinya.
Bee menurut. Dengan tubuh lemah, dia berusaha menggeser tubuhnya agar wanita itu bisa menyuapinya dengan mudah. Dalam gelap malam, wanita tersebut memberikan Bee minuman dan potongan roti.
“Hei, ayo, beberapa prajurit akan melakukan patroli,” bisik seorang prajurit, menarik lengan wanita itu dengan terburu-buru.
“Iya, iya. Pelan-pelan, nanti aku jatuh,” jawab wanita itu, segera berdiri dan menjauh dari Bee.
Mereka pergi tanpa sepatah kata pun kepada Bee. Dia heran dengan apa yang terjadi. Siapa mereka? Kenapa mereka memberinya makan dan minum? Kenapa hanya dia yang diberi perlakuan seperti itu? Pertanyaan-pertanyaan ini membelenggu pikirannya.
“Kamu gadis yang beruntung,” kata salah satu tahanan tanpa menatapnya. Bee hanya diam.
“Dari banyaknya tahanan mata-mata, tidak satupun dari mereka mendapatkan perlakuan yang kamu dapatkan tadi,” lanjut wanita itu dengan suara parau.
“Hanya aku?” tanya Bee.
“Mungkin. Aku tidak selamanya menjadi tahanan. Aku beberapa kali kabur, tapi selalu tertangkap lagi,” jawab wanita itu.
Mendengar kata "kabur", Bee merasa semangat dan berusaha bangkit dari duduknya.
Tak lama lagi fajar menyingsing, mencerahkan hati yang merintih. Di saat tetesan embun semakin rapuh, saat tidak ada batas antara kecewa dan kesedihan. Entah seberapa rentan jalan itu, tak peduli mengapa harus menepi, terlanjur di sini, di jalan ini. Tak ada alasan lagi untuk terus menunggu. Udara semakin menipis, tak ada kehangatan, hanya kebekuan dan ketidakpastian, yang kian menyudutkan…
“Byuuur!”
Para tahanan, baik pria maupun wanita, terbangun gelagapan ketika mereka disiram air dari penampung besar yang berada tidak jauh dari tempat mereka ditahan. Beberapa dari mereka tidak sadarkan diri.
“Potong tangan mereka yang tidak sadarkan diri! Biar kita tahu siapa yang berpura-pura mati di antara mereka!” perintah Komandan Celos dengan kejam.
“Hah, jangan!!” teriak beberapa tahanan yang terbangun ketakutan.
“Buuggg!” Para prajurit langsung menendang dan memukul tahanan yang ketahuan berpura-pura mati.
Beberapa tahanan, termasuk salah satu wanita, telah meregang nyawa, meninggalkan hanya tiga tahanan wanita termasuk Bee. Mereka dipaksa berdiri dalam keadaan lemah, dengan ikatan tangan yang dijadikan satu dan diseret bersama.
Kini rombongan prajurit berpakaian zirah membagi tugas: mencari mata-mata, menjaga benteng, dan membawa para tahanan ke istana. Bee diikat di barisan paling belakang, matanya terus mencari wanita yang memberinya makan dan minum semalam.
Setelah beberapa kali mencari, Bee akhirnya menemukan wanita tersebut. Dia berada di antara rombongan wanita yang berjalan tepat di belakang kuda Jenderal Cosmos. Semua wanita di kelompok itu mengenakan setelan berwarna ungu dan biru muda, dengan rambut diikat tali merah muda. Mereka mengawal Jenderal Cosmos, yang hanya ditunggangi dua ekor kuda, sedangkan satu ekor lagi adalah kuda cadangan yang dituntun oleh prajurit biasa.
Bee mencoba mendekati gadis itu, tetapi seorang prajurit segera menarik tangannya dan membungkam mulutnya.
“Jangan gegabah atau kau dan dia akan mati di sini,” bisik prajurit tersebut pada Bee.
“Ada apa? Apa dia mau kabur?” tanya salah seorang prajurit yang berjaga di depan.
“Tidak, kakinya hanya tersentak batu dan dia hampir jatuh, jadi aku menahannya,” jawab prajurit itu.
Bee terdiam sejenak, heran mengapa prajurit itu berbohong dan maksud dari perkataannya. Dia menyadari suara prajurit itu familiar. Dia melirik ke arahnya.
“Lihat kedepan!” bentak sang prajurit
Bee menurut dan berjalan sambil tertunduk dan masih berkutat dengan rasa penasarannya.
Terik panas matahari menyelimuti perjalanan mereka kembali ke istana, peluh keringat ditubuh tidak menghalangi gerak langkah kaki yang seolah menahan rindu kepulangan mereka dipelukan tanah kelahiran. Umpan yang sudah mereka tebar selama ini berhasil memancing para gerombolan tahanan untuk dijadikan santapan nikmat untuk memperkuat pertahanan mereka nantinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments