Denting Waktu

Siang ini, awan menepi di tepian mendung. Bocah-bocah kecil berjalan sambil bercerita riang tentang pagi mereka. Suasana kota Magnolia terasa dingin lebih dari biasanya. Angin bertiup kencang, menyapu dedaunan yang berguguran. Bee menoleh ke arah jam dinding kafe yang masih menunjukkan jam 2 siang. Hari ini terasa begitu panjang, pikirnya.

Denting lonceng yang digantung berbunyi, menandakan satu atau dua pengunjung datang dan pergi dari kafe. Aroma roti menyeruak dari bilik dapur. Seorang pria dengan setelan jas berjalan gontai menuju kursi yang biasa ditempatinya. Pria ini adalah pelanggan setia yang selalu menikmati kopi hitam dan roti khas kafe.

Tak lama, segerombolan mahasiswa dan mahasiswi datang dengan candaan riang, membuat gaduh kafe yang sebelumnya sepi. Beberapa di antaranya adalah teman SMA Bee. 

“Bee...” salah satu dari mereka memanggil.

Bee mendatangi mereka dengan sekumpulan buku besar berisi menu andalan. Sebenarnya, Bee tidak begitu antusias bertemu atau melayani mereka, terutama karena mereka membawa Thomas—mantan pacarnya dan orang yang paling tidak disukainya. Thomas adalah kapten tim basket sekaligus ketua OSIS SMA mereka, dan mereka putus dua tahun lalu setelah Bee gagal masuk perguruan tinggi.

Mereka datang berempat: Jihan, Alesia—sahabat Bee, Thomas, dan seorang lagi teman kuliah mereka bertiga. Bee merasa risih karena mereka jarang mengunjungi kafe, dan kali ini mereka membawa Thomas.

“Mau pesan apa?” tanya Bee dengan malas sambil menatap tajam ke arah sahabatnya.

“Dih, galak banget,” jawab Alesia ketus.

“Ini teman kalian? Ketus amat jadi pelayan,” ujar Zahara, teman kuliah Jihan dan Alesia, dengan sinis.

“Iya, dia emang gitu orangnya,” timpal Alesia.

Jihan dan Thomas hanya diam, tidak enak untuk ikut berkomentar.

“Baik, maaf ya... selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” tanya Bee dengan nada yang diubah lebih lembut.

“Nah gitu dong. Alesia sama Thomas mau traktir kita untuk merayakan hari jadian mereka. Jadi, kita minta rekomendasi menu spesial,” Zahara menjelaskan dengan semangat.

Bee terdiam sejenak, tidak percaya, dan melirik Jihan untuk memastikan. Jihan mengangguk membenarkan perkataan Zahara.

“Heh, apaan? Ditanya malah diem kaya patung,” Alesia membentak.

Alesia terlihat berbeda dari biasanya—seperti singa kenyang yang menatap sinis seekor singa kelaparan. Bee merasa sangat sakit hati, terutama karena Alesia, yang selama ini dia anggap sahabat, kini resmi berhubungan dengan mantannya.

“Baik, kita ada menu baru: waffle with chocolate crumble and strawberry sauce. Sangat cocok untuk pasangan baru,” jawab Bee dengan tenang walau hatinya gusar.

“Mau, Beb?” tanya Alesia mesra pada Thomas.

“Ah, iya boleh. Boleh sayang,” jawab Thomas gagap sambil memandangi Bee.

Bee mencatat pesanan mereka satu per satu. Meskipun hatinya sakit dan merasa terhina, ia harus tetap profesional. Bee mengalami masa sulit setelah lulus SMA. Dia gagal masuk perguruan tinggi negeri favorit, dan teman-temannya menawarkan kuliah di kampus swasta, namun Anton—ayah tirinya—menolak membiayai kuliah Bee karena alasan fokus pada bisnis. Ibunya, Laura, hanya bisa diam dan tidak bisa berbuat banyak.

Thomas merasa gerah dengan masalah Bee dan memilih meninggalkannya. Teman-teman dan sahabat Bee pun melupakan dirinya. Bee kini harus bekerja keras seorang diri setelah melewati masa SMA yang indah baginya.

Setelah beberapa menit, Bee mengantarkan beberapa menu. Di kafe ini, Bee bekerja sendiri sebagai pelayan, sehingga seringkali ia harus bolak-balik mengantarkan dan melayani tamu. Untungnya, kafe ini tidak terlalu ramai, jadi Bee masih sanggup melayani. Meskipun sudah beberapa kali meminta tambahan karyawan, permintaan Bee selalu ditolak Manuel, manajer kafe, yang lebih memilih turun tangan sendiri ketika tamu banyak.

"Praaangggg!"

“Aduh, gimana sih, kamu sengaja ya?!” Bentak Alesia, padahal Alesia dengan sengaja menumpahkan air minumnya.

“Maksudnya? Kau yang...” Bee belum sempat membela diri, Manuel datang.

“Maaf, ada apa ini?” Manuel bertanya sopan.

“Ini dia, sengaja sekali nyenggol, sampai gelasnya jatuh dan pecah!” Alesia berusaha menyudutkan Bee dengan wajah merah padam.

“Saya sama sekali tidak menyenggol, apalagi...” Bee belum sempat selesai berbicara, Alesia langsung menggebrak meja dan menuding Bee telah berbuat tidak sopan.

“Kamu nggak mau ngaku, hah!” teriak Alesia.

“Betul, saya lihat sendiri dia berlaku tidak sopan!” Zahara ikut menuduh Bee.

“Itu tidak benar, kan?” tanya Bee kepada Thomas dan Jihan, yang hanya diam menunduk, tidak berani menatap Bee.

Alesia dan Zahara makin di atas angin, karena kedatangan mereka memang sengaja ingin mempermalukan Bee di depan umum. Beberapa pengunjung di kafe mulai memperhatikan keributan ini.

“Sungguh, Pak, saya tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan,” Bee berusaha membela diri.

“Minta maaf dan bersihkan semuanya!” bentak Manuel.

“Ayo bersihkan, anak haram!” Zahara membentak dan mencemooh Bee.

“Apa katamu!” Bee makin tersulut emosi.

“Iya, emang kamu anak haram! Ibumu saja malu punya anak sepertimu,” timpal Alesia.

Bee semakin marah dan dengan sigap menarik rambut Alesia hingga gadis itu terjatuh. Zahara, melihat temannya diperlakukan seperti itu, mencoba menampar Bee, namun Bee segera menangkis dan membalas memukul wajah Zahara.

Alesia bangkit dan berusaha memukul Bee, tapi gerakannya ditahan oleh Thomas. Jihan, Manuel, dan Adam, teman Bee yang bekerja di dapur, mencoba melerai. Suasana semakin gaduh. Bee dan Zahara masih bertengkar dengan saling jambak, tendang dan cakar.

“Hei, lepasin kalian berdua atau saya panggilkan polisi!” teriak Manuel tegas.

“Lepasin!” Zahara yang tersudut berteriak, tapi mereka tetap saling menarik rambut.

“Byuur!” Seorang nenek tiba-tiba menyiramkan air dari ember ke arah mereka.

Semua orang terkejut. Jihan, Manuel, dan Adam juga ikut tersiram air. 

“Tidak baik membuat keributan di tempat makan. Tempat ini adalah tempat orang menikmati makanan, bukan berkelahi!” bentak si nenek sebelum pergi.

Bee dan Zahara akhirnya melepaskan diri, berdiri basah kuyup. Alesia dan Jihan membantu Zahara berdiri, sedangkan Bee dibantu oleh Adam.

“Maaf, sekali lagi kami meminta maaf,” Manuel meminta maaf kepada nenek dan tamu kafe.

“Diam kau! Lebah tidak akan menyengatmu jika kamu tidak menggangu sarangnya,” si nenek membentak Manuel sebelum meninggalkan kafe dengan embernya.

Bee merasa terpojok, ingin tetap bekerja di kafe ini namun tidak bisa meminta maaf kepada Alesia yang telah memfitnah dan mempermalukannya. Jihan dan Thomas hanya diam, padahal mereka mengetahui kebenarannya. Bee memilih meninggalkan mereka dan masuk ke dapur dengan emosi yang tertahan.

"Hei! Mau pergi kemana kau? Minta maaf dan bereskan semua ini!" bentak Manuel.

Bee tidak memperdulikannya. 

"Ya sudah, mending kita pergi saja dari sini," ajak Jihan.

"Iya, ayo Za, Beb," tambah Alesia tanpa rasa bersalah.

“Baik, sebagai permintaan maaf, kalian tidak perlu membayar makanan yang telah kalian pesan,” terang Manuel.

Thomas menarik tangan Alesia keluar dari kafe, diikuti Zahara dan Jihan.

"Kamu apa-apaan sih narik-narik gitu?" tanya Alesia.

"Kamu yang apa-apaan? Ini sudah keterlaluan. Katanya kamu cuma mau buat Bee cemburu, tapi ini sudah di luar rencana,” keluh Thomas kesal.

“Kenapa? Kamu tidak suka? Apa kamu masih ada rasa sama gadis tengil itu?” balas Alesia.

“Terserah kamu lah, semua perempuan sama saja gilanya,” jawab Thomas sebelum pergi meninggalkan mereka.

“Eh, mau kemana? Tunggu!” Alesia mencoba menahan Thomas, tapi Thomas sudah terlanjur emosi dan memilih pergi begitu saja.

“Diihh, kok jadi begini?” Alesia kesal.

“Ya sudah, kita bertiga pulang naik taksi saja,” ajak Zahara.

“Aku pergi duluan, ya. Aku mau ke toko buku dekat sini,” jawab Jihan.

"Kamu juga marah, Han?" tanya Alesia dengan nada menyelidik.

"Ah, eh, enggak kok. Aku sebenarnya sudah ada rencana untuk mampir ke toko buku setelah dari kafe. Aku duluan ya," jawab Jihan sambil pergi meninggalkan mereka berdua. 

Tak lama kemudian, Alesia dan Zahara juga meninggalkan kafe tanpa rasa bersalah, padahal tindakan mereka telah membuat mental dan kehidupan Bee jatuh dalam kesulitan yang mendalam.

"Kamu dipecat! Pergi dan jangan pernah kembali lagi!" bentak Manuel kepada Bee. Bee hanya diam termenung di pojok dapur, sambil membersihkan luka di kakinya akibat pecahan kaca gelas.

"Tapi, Pak, itu tidak adil!" protes Adam. Meskipun tidak melihat kejadian secara langsung, dia yakin Bee tidak mungkin melakukan hal seperti itu.

"Diam! Atau kamu juga mau dipecat?!" bentak Manuel dengan nada mengancam. Adam memilih untuk tidak membalas, merasa tertekan oleh sikap manajernya.

Bee akhirnya mengambil tasnya dan pergi tanpa sepatah kata pun. Ia melangkah gontai menyusuri jalanan kota yang dipenuhi daun-daun berguguran, bingung tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya. Kegagalan demi kegagalan seakan terus menerpanya. Bee merasa seperti gadis paling tidak beruntung di dunia—kehilangan ayah kandung saat masih kecil, hidup tidak bahagia dengan keluarga baru ibunya, dan tidak bisa kuliah.

Semakin jauh ia melangkah, air matanya sudah kering, meninggalkan rasa sakit dalam diam. Ia hanya bisa berharap ada mimpi yang bisa diraih di masa depan, sementara di lubuk hatinya yang lain, rasa sakit yang berkepanjangan membuatnya berpikir tentang mengakhiri hidup.

"Awas!" teriak seorang pengendara motor sambil membunyikan klakson, namun terlambat. Bee terlempar tidak jauh dari lokasi. Beberapa orang di sekitar segera berlari membantu, sementara si pengendara motor juga mencoba menolong. Bee, dengan tubuh penuh luka, mencoba berdiri kembali.

"Kamu tidak apa-apa, kan?" 

"Tunggu, kami panggilkan ambulans," beberapa orang menawarkan bantuan, namun Bee segera melarikan diri, enggan menerima pertolongan.

Dengan langkah gontai, pakaian robek, dan tubuh penuh luka, Bee sampai di taman dandelion. Taman itu terasa sepi dan kosong, mencerminkan perasaan dalam hatinya. Senja tampak mencemooh gadis malang yang duduk di situ, langit belum gelap sepenuhnya dan hawa dingin musim gugur menyentuh kulit Bee yang terluka. Bee duduk dengan tangan kiri menyanggah tangan kanannya, merasa mati rasa dengan keadaan sekitar, hanya ingin diam menikmati senja dan berharap senja akan membawanya menuju kegelapan yang lebih baik.

Suara langkah kaki terdengar di tengah taman yang kian remang, namun kesadaran Bee semakin melemah hingga ia terjatuh tersungkur. Tubuhnya menggigil kedinginan, wajahnya pucat pasi. Seekor lebah mendekat ke arah wajahnya, berdenging di sekitar telinga Bee seolah membisikan sesuatu, disertai langkah kaki yang semakin mendekat. Kesadaran Bee akhirnya menghilang, menutup cerita senja sore itu.

Terpopuler

Comments

Ronaldowati

Ronaldowati

siap, terimakasih

2024-07-26

1

Arjuna Cakra

Arjuna Cakra

Jangan takut untuk bereksperimen, selalu mengagumkan apa yang sudah dicapai sejauh ini!

2024-07-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!